DPR Setuju Jaja Ahmad dan Aidul Fitriciada Jabat Komisoner KY
Berita

DPR Setuju Jaja Ahmad dan Aidul Fitriciada Jabat Komisoner KY

Akan disampaikan ke presiden untuk dilantik. Keduanya diharap dapat menjalankan tugas dan kewenangannya sesuai amanat UU tentang Komisi Yudisial.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Komisioner KY saat disumpah di Istana Negara, 18 Desember 2015. Foto: Setkab RI
Komisioner KY saat disumpah di Istana Negara, 18 Desember 2015. Foto: Setkab RI
Setelah menjalani uji kelayakan dan kepatutan, Komisi III DPR memberikan persetujuan terhadap dua calon komisoner Komisi Yudisial (KY), yakni Jaja Ahmad Jayus dan Aidul Fitriciada Azhari. Kedua calon itu mengisi dua kursi di lembaga pengawas esksternal hakim yang kosong.

“Berdasarkan hasil musyawarah, Komisi III menetapkan untuk memberikan persetujuan terhadap dua nama calon anggota Komisi Yudisial periode 2015-2020,” ujar Wakil Ketua Komisi III Trimedya Pandjaitan dalam rapat paripurna di Gedung DPR, Selasa (26/1).

Dalam laporannya, Trimedya menilai kecakapan dan integritas serta kompetensi menjadi prasayarat penting untuk menempati kursi di KY. Ia berharap dengan lengkapnya komisoner KY, setidaknya mampu menjalankan tugas dan kewenangannya sesuai dengan amanat UU No.18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu berpandangan, setelah mendapat persetujuan dari seluruh anggota dewan, maka akan disampaikan ke pihak Presiden. Selanjutnya, Presiden Joko Widodo dapat mengesahkan dan melakukan pelantikan terhadap Jaja dan Aidul.

Jaja dan Aidul melengkapi kursi komisioner KY. Sebelumnya, DPR menerima lima dari tujuh calon yang disodorkan pemerintah yakni Maradaman Harahap, Suka Violetta, Sumartoyo, Joko Sasmito dan Farid Wajdi. Sedangkan dua lainnya yakni Wiwik Awiati dan Harjono tidak mendapat persetujuan DPR.

Dua pengganti itu adalah Jaja dan Aidul. Jaja merupakan incumbent komisoner di periode sebelumnya. Dengan lengkapnya komisoner KY itulah diharapkan dapat menjadikan lembaga pengawas eksternal itu menjadi lebih garang dalam menjawa kewibawaan hakim dalam dunia peradilan.

Jaja dan Aidul saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan yang digelar pada Kamis (21/1) memberikan pandangan dan kritikannya terhadap KY. Jaja misalnya, berpadangan pengawasan yang dilakukan KY dalam menjaga kewibawaan hakim mesti dilakukan lebih mandiri. Pasalnya, kata Jaja, dalam konstitusi pengawasan kehakiman dilakukan oleh lembaga yang mandiri dan tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun. Ia berharap KY tak saja memberikan rekomendasi, tapi juga dapat melaksanakan rekomendasi tersebut.

Ia pun berharap kewenangan KY dapat diperluas, tak saja melakukan pengawasan, namun melebihi dari hal itu demi menjaga marwah kehakiman. Setidaknya cita, visi dan misi Mahkamah Agung dalam menjawa wibawa hakim yang kredibel, berkapasitas dan berintegritas tetap terjaga. Tentunya tanpa mesti bersitegang antara KY dengan MA.

Gagasan lain yang digelontorkan Jaja yakni transparansi putusan. Misalnya, kata Jaja, ketika pengadilan di Papua memutuskan perkara, dua jam kemudian salinan putusan sudah terkoneksi oleh KY. Dengan begitu, KY dapat dengan mudah mempublikasikan putusan, sehingga menyebar ke seluruh Indonesia. “Memang ini persoalan teknis yudisial, karena itu menjadi tantangan KY,” ujar mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung.

Jaja mengaku enggan banyak tampil di media. Alasannya, lebih mengutamakan menghasilkan out come. Ia berharap KY  ke depan lebih bersinergi dengan MA agar tak gaduh. Dengan begitu pengawasan yang dilakukan KY terhadap hakim dapat maksimal. “Saya lebih baik pada pencapaian out come dari pada riak-riak” ujarnya.

Sementara Aidul Fitriciada Azhari  memberikan kritikan terhadap KY. Ia berpendapat keberadaan KY sama halnya dengan ketiadaannya. Menurutnya, banyak penyebab tidak maksimalnya KY dalam mengelola organisasi. Dalam dunia akademisi di perguruan tinggi, kata Aidul, lembaga pengawas eksternal hakim itu dikelola seperti halnya dengan bergaya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Menurutnya, jejaring yang dibangun KY mestinya tak saja terhadap koalisi masyarakat sipil semata, tetapi dengan lainnya. Misalnya, dengan organisasi kemasyarakatan keagamaan, seperti NU dan Muhamadyah. “Jejaring ini jangan dikuasai oleh masyarakat sipil,” katanya.

Ia berpandangan opini yang dibangun oleh KY lebih dominan ketimbang tindakan. Sebagai lembaga negara, KY mestinya bertindak sesuai dengan jabatan kominisoner yang diberikan amah oleh UU. Selain itu, tak saja KY namun di kebanyakan lembaga hanya dijadikan panggung bagi beberapa komisoner. “Yang harus dilakukan tindakan,” ujarnya.

Ia pun bakal membangun komunikasi antara KY dengan MA menjadi lebih baik. Menurutnya sejarah berdirinya KY, komunikasi dengan MA cenderung tarik ulur. Padahal dalam rangka membangun komunikasi antar lembaga mesti saling mendukung satu sama lain. Namun dalam rangka menjalankan fungsi dan tugas pokok KY, perilaku hakim di lembaga peradilan menjadi objek pengawasan dalam rangka menjaga kewibawaan wakil Tuhan di muka bumi.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta itu lebih jauh berpendapat, di kebanyakan negara, lembaga KY memberikan dukungan dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Dengan begitu, KY tak menjadi lembaga rivalitas MK. Tetapi, KY membantu MA. “Posisinya KY membantu MA,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait