Menakar Efek Jera Para Donatur Kegiatan Terorisme
Fokus

Menakar Efek Jera Para Donatur Kegiatan Terorisme

UU No. 9 Tahun 2013 lebih rinci menjerat korporasi.

Oleh:
FAT/NOV/NNP
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Tindak pidana terorisme masih menjadi masalah pelik di Indonesia. Insiden terakhir yang terjadi di kawasan Sarinah, Thamrin, Jakarta membuktikan bahwa upaya aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, belum membuahkan hasil yang optimal. Hal ini sejalan dengan hasil polling hukumonline edisi Januari 2016.

Tema pertanyaan polling, “Apakah aparat hukum Indonesia sudah bekerja maksimal dalam pencegahan dan penindakan terorisme?” Hasilnya, 48,19 persen responden menjawab “Kurang Maksimal”, 39,15 persen menjawab “Tidak Maksimal”, dan 12,05 persen menjawab “Sudah Maksimal”.

Hukumonline.com 

Hasil polling hukumonline tidak hanya menjadi gambaran efektivitas kinerja aparat penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Aspek regulasi juga mau tidak mau terkait, karena pada prinsipnya aparat hanya menjalankan regulasi yang berlaku.

Saat ini, regulasi yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana terorisme adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Perkembangan terakhir, lahir pula UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (UU Pendanaan Terorisme).

Sebelum UU Pendanaan Terorisme lahir, ketentuan tentang pendanaan terorisme sebenarnya sudah termaktub dalam Pasal 11 Perppu No. 1 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 15 Tahun 2003. Efektivitas pasal ini bahkan sudah teruji dalam perkara dengan terdakwa Pengurus Harian Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) Muhammad Aries Raharjo alias Afief Abdul Madjid alias Afief alias Abu Ridhwan.

Di tingkat pertama, pada Juni 2015, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Afief empat tahun penjara. Afief dinyatakan terbukti turut memberikan dana sebesar Rp25 juta untuk kegiatan Tadrid Askari di Pegunungan Jalin Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Nangroe Aceh Darussalam. Di tingkat banding, hukuman Afief diperberat menjadin enam tahun.

Pasal 11 Perppu menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun.

Bukan hanya berlaku untuk perorangan, Perppu No. 1 Tahun 2002 juga memuatancaman pidana untuk korporasi. Pasal 18 ayat (2) Perppu menyebutkan, pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1 triliun. Sedangkan di ayat (3) disebutkan, korporasi yang terlibat tindak pidana terorisme dapat dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang.

Jika dibandingkan antara Perppu No. 1 Tahun 2002 dengan UU No. 9 Tahun 2013, ancaman pidana untuk pelaku perorangan tak jauh berbeda. Ancaman pidana bagi penyumbang kegiatan terorisme dalam UU No. 9 Tahun 2013 dipidana paling lama 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar. Hanya saja, di UU No. 9 Tahun 2013, orang yang merencanakan dan mengorganisasikan kegiatan pendanaan tersebut dipidana seumur hidup atau 20 tahun penjara.

Namun, untuk pidana yang dijerat kepada korporasi, pada UU No. 9 Tahun 2013 diatur lebih rinci jika dibandingkan Perppu No. 1 Tahun 2002. Pasal 8 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2013 menyebutkan, pidana dijatuhkan terhadap korporasi jika tindak pidana terorisme dilakukan atau diperintahkan oleh personel pengendali korporasi, dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi, dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah dalam korporasi atau dilakukan oleh personel pengendali korporasi dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.

Dalam ayat (4) disebutkan, pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda paling banyak Rp100 miliar. Selain pidana denda, korporasi yang terbukti terlibat dalam kegiatan terorisme juga dijatuhi pidana tambahan berupa pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan korporasi. Pencabutan izin usaha dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang, pembubaran korporasi, perampasan aset korporasi untuk negara, pengambilalihan korporasi oleh negara dan pengumuman putusan pengadilan.

Bahkan, UU No. 9 Tahun 2013 juga mengatur bahwa jika korporasi tak mampu membayar pidana denda, diganti dengan perampasan harta kekayaan milik korporasi atau personel pengendali korporasi yang berkaitan dengan tindak pidana pendanaan terorisme, dengan jumlah yang sama dengan putusan pidana yang dijatuhkan. Jika penjualan harta kekayaan tersebut tak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap personel pengendali korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.

Sudah Waktunya
Jeratan pada UU No. 9 Tahun 2013 hingga kini belum diterapkan kepada pelaku penyumbang kegiatan terorisme. Misalnya, kasus yang menjerat Afief. Pelaku terorisme itu didakwa oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dengan surat dakwaan Reg.Perk No:PDM-10/2/2015 tanggal 3 Februari 2015. Padahal, selain diduga ikut gerakan terorisme, Afief juga tercatat menyumbang untuk kegiatan terorisme. Afief dijerat dengan sejumlah pasal dalam Perppu No. 1 Tahun 2002.

Sekadar catatan, Pusat Pelaporandan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sendiri telah berhasil memetakan tren pendanaan terorisme di Indonesia. Wakil Kepala PPATK Agus Santoso menyebutkan, pendanaan terorisme terus mengalami perubahan, baik dari segi pola maupun metode pengumpulan dana.

Perubahan itu, lanjutnya, disinyalir sebagai upaya untuk terus menghindari kejaran aparat penegak hukum yang terus menelusuri setiap aksi dan kegiatan terorisme di Indonesia. “Dia (teroris) berusaha menyamarkan (dana),” ujar Agus saat dihubungi hukumonline, Senin (25/1).

Dari pemetaan PPATK, ada dua model pendanaan terorisme, yakni cara tidak sah (ilegal) dan cara sah (legal). Untuk cara yang ilegal, biasanya terduga teroris akan melakukan pola-pola yang melanggar hukum seperti perampokan bersenjata hingga melakukan perampokan melalui cara peretasan (hacking) di dunia maya. Namun, pengumpulan dana dengan cara merampok ini terakhir dilakukan pada tahun 2011 sampai 2013.

Menurut Agus, pendanaan dengan cara merampok ini umumnya dilakukan oleh terduga teroris yang berlatar belakang pendidikan rendah. Sedangkan perampokan melalui hacking dilakukan oleh terduga teroris berlatar belakang pendidikan cukup tinggi, seperti akademi atau sarjana di bidang teknologi informasi dan teknik elektro. Untuk pola perampokan dengan cara hacking ini mengincar uang elektronik dalam jumlah yang cukup besar. Bahkan, upaya menghimpun dana lewat hacking juga kerap mengincar uang virtual seperti BitCoin.

Untuk pola kedua yakni legal, biasanya dilakukan dengan menjaring sumbangan dari simpatisan. Pola ini juga yang saat ini masih lazim digunakan untuk menjaring pendanaan terorisme. Bahkan, saat ini, dari hasil pantauan PPATK terdapat terduga teroris yang mencari pendapatan melalui perusahaan, seperti ikut menanam modal di suatu perusahaan.

Selain itu, pola lain yang dilakukan biasanya dengan ikut dalam bisnis Multi Level Marketing (MLM), bisnis obat herbal, bisnis buku, bisnis konveksi, hingga membuka jual beli lewat showroom mobil. Meski begitu, para terduga teroris tetap sadar bahwa pendanaan lewat transaksi keuangan formal mudah ditelusuri oleh otoritas berwenang.

Penelusuran pendanaan terorisme oleh PPATK ini bisa menjadi ‘pintu masuk’ bagi aparat penegak hukum dalam menjerat pelaku teror. Apalagi, pemerintah mengedepankan cara-cara pencegahan sehingga kejadian seperti di Jl. MH Thamrin, Sarinah, tak terulang lagi.

Meski data-data nasabah merupakan bagian dari kerahasiaan bank yang wajib dijaga, namun UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan telah memberikan pengecualian. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 41, 42, 43 dan 44 UU No. 7 Tahun 1992, yakni untuk kepentingan perpajakan, kepentingan peradilan dalam perkara pidana mengenai keuangan tersangka/terdakwa, perkara perdata antara bank dengan nasabahnya dan dalam rangka tukar menukar informasi antar bank.

Atas dasar itu, sudah waktunya bagi aparat penegak hukum untuk turut menjerat pelaku penyumbang tindak pidana terorisme dengan UU No. 9 Tahun 2013 dengan maksud menimbulkan efek jera baik perorangan maupun korporasi.
Tags:

Berita Terkait