M Nuh Al-Azhar, Ahli IT yang Jadi Penegak Hukum
Berita

M Nuh Al-Azhar, Ahli IT yang Jadi Penegak Hukum

Kesadaran untuk mengabdi kepada negara lewat jalur pemerintahan membawanya menjadi penegak hukum.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
AKBP Kasubbid Komputer Forensik Puslabfor Mabes Polri AKBP M Nuh Al-Azhar. Foto: RES
AKBP Kasubbid Komputer Forensik Puslabfor Mabes Polri AKBP M Nuh Al-Azhar. Foto: RES
Di balik perkembangan teknologi yang pesat, kejahatan siber menjadi sebuah ancaman yang cukup serius. Sayangnya, hingga saat ini profesional yang menekuni dunia digital forensik masih sangat terbatas. Akibatnya, banyak penegak hukum dan profesional yang terjun ke digital forensik tanpa latar belakang TI. Akhirnya mereka terbata-bata sehingga kerap mentok saat menganalisa bukti.

“Jumlah pekerja digital forensik masih sangat sedikit. Mungkin dianggap penghasilannya tidak menjanjikan. Padahal kenyataannya tidak begitu. Di London, penghasilan seorang digital forensik bisa mencapai 1-2 miliar tiap bulannya. Saya pun sempat tergoda untuk pindah ke London, tapi saya lebih memilih untuk mengabdi di Indonesia,” kataAKBP Kasubbid Komputer Forensik Puslabfor Mabes Polri AKBP M Nuh Al-Azhar di Jakarta, Kamis (18/2).

Dia melihat kajian ilmu komputer di sebagaian besar perguruan tinggi di Indonesia hanya terbatas pada pemrograman, jaringan, ataupun manajemen informasi dan belum menyentuh forensik digital. Padahal,potensi pasar untuk keahlian tersebut sangat besar di Indonesia, terutama bagi perusahaan-perusahaan. Ahli forensik digital bukan hanya dibutuhkan oleh penegak hukum, melainkan juga perusahaan seperti perbankan.

Di sisi lain, ada tantangan besar yang harus dihadapi oleh para pakar digital forensik, yaitu melawan anti forensik. Menurut Nuh, orang-orang yang berkecimpung di dunia digital ada pula yang menjadi pelaku anti forensik. Umumnya, mereka memahami empat kunci untuk melawan digital forensik. Yakni memahami enkripsi, bagaimana menyembunyikan informasi, menghapusnya secara sempurna dan mengetahui seluk-beluk teknik hacking.

Menurut Nuh, orang yang memahami anti forensik bisa saja menghilangkan bukti digital hanya dalam hitungan detik. Dengan demikian, hal ini akan sangat berbahaya bila dipahami oleh pelaku kriminal. Setidaknya, jika seorang kriminal bersinggungan dengan mereka yang merupakan anti forensik.

"Itu akan menyulitkan untuk melakukan investigasi digital forensik. Tetapi kita harus kerahkan cara bagaimana mengungkapnya. Tapi no crime is perfect. Pasti ada yang bisa kita lacak. Tinggal bagaimana kompetisi digital forensik investigator menanganinya,” ujarnya.

Nuh mengaku, sejak awal dirinya memang memiliki ketertarikan dengan dunia teknologi informasi. Sehingga, ia lebih dulu memahami seluk beluk dunia IT. Barulah, kesadaran untuk mengabdi kepada negara lewat jalur pemerintahan kemudian membawanya menjadi penegak hukum. Sebab, sejak lulus sekolah Nuh mengatakan bahwa yang terpikir di benaknya bukanlah mencari pekerjaan di sektor swasta.

Menurut Nuh, sektor pemerintahan seharusnya bukanlah pilihan kedua. Sehingga, ia bertekad menjadi profesional yang berprestasi untuk mendukung kinerja pemerintah. Terbukti, Nuh merupakan lulusan terbaik bidang akademik Sekolah Lanjutan Perwira (Selapa) Polri tahun 2006. Kemudian, ia juga berhasil mendapatkan beasiswa Chevening untuk melanjutkan studi master bidang informasi forensik dari University of Strathclyde, Inggris tahun 2009 dengan nilai distinction.

Bahkan, Nuh merupakan mendapatkan penghargaan sebagai UK Super Six Alumni bersama-sama dengan mantan menteri luar negeri Marty Natalegawa, sutradara Riri Riza, jurnalis Arif Suditomo, pendiri Mimi Institute Mimi Mariani Lusli  dan pendiri Talk-inc Alexander Sriewijono.

Lebih lanjut,Nuh menuturkanbahwaia menikmati profesinya sebagai penegak hukum di bidang siber. Sejak tahun 2000, ia menjadi salah satu perintis pengembangan kemampuan digital forensik di Puslabfor Bareskrim Mabes Polri.

Akhrinya, pada tahun 2010 kerja kerasnya membuahkan hasil dengan dibentuknya Digital Forensic Analyst Team (DFAT) dan dipercaya untuk memimpinnya. Di samping itu, ia juga memberikan kontribusi dasar digital forensik berupa Standard Operating Procedure (SOP) pemeriksaan dan analisis digital forensik, mulai dari prosedur pemeriksaan, penerimaan dan penyerahan barang bukti elektronik hingga pemeriksaan komputer, handphone, maupun audio forensik.

“Kalau kita bekerja sesuai dengan passion, tentu kita akan menikmati pekerjaan itu,” ujarnya.

Dari tahun ke tahun, jumlah barang bukti yang diperiksa DFAT terus bertambah. Mulai hanya 214 item yang berasal dari 52 kasus di tahun 2010, berkembang menjadi lebih dari 440 item barang bukti elektronik yang berasal dari 60 kasus di tahun 2011. Kemudian, tahun lalu ada 149 kasus dengan 882 barang bukti. Semua itu pun belum termasuk barang bukti elektronik yang diperiksa dan dianalisis dalam tahap penyelidikan. 

Tags:

Berita Terkait