Fadli Zon Pertanyakan Manfaat Pengampunan Pajak
Berita

Fadli Zon Pertanyakan Manfaat Pengampunan Pajak

RUU Pengampunan Pajak disiapkan untuk genjot penerimaan pajak. Caranya tak bisa pragmatis. Penegakan hukum tak bisa diabaikan.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Fadli Zon. Foto: RES
Fadli Zon. Foto: RES
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak (tax amnesty) menjadi harapan pemerintah agar dapat menjadi payung hukum mendongkrak pemasukan negara dari sektor  pajak. Namun kalangan anggota Parlemen masih terpecah tentang keberadaan RUU ini.

“Saya menolak soal tax amnesty, karena kita melihat bahwa ini tidak ada manfaat seperti yang diharapkan,” ujar Wakil Ketua DPR, Fadli Zon di kompleks DPR, Jumat (26/2).

Menurut Fadli Zon, penerapan pengampunan pajak tidak dapat menjamin pemasukan negara dari sektor pajak menjadi lebih baik dibanding tahun sebelumnya. Terlebih rasa keadilan terhadap mereka yang taat membayar pajak diabaikan. Pemerintah, kata politisi Gerindra ini,  mestinya berpikir kreatif dan tidak menggunakan cara-cara instan.

Kendati demikian, Fadli memaklumi betapa berat beban pemerintah dalam menggenjot penerimaan pajak dari sektor pajak. “Kita paham persoalan pemerintah, tapi disitu lah pemerintah harus kreatif. Tahun lalu tak tercapai, sekarang andalkan tax amnesty. Kalau cara pikirnya seperti itu akan kecewa,” ujarnya.

RUU Pengampunan Pajak masuk dalam Prolegnas prioritas 2016, namun belum tentu disepakati seluruh fraksi dalam rapat paripurna. Ia yakin besar kemungkinan RUU Pengampunan Pajak ditolak beberapa fraksi. “Kan masih ada yang setuju dan menolak. Tapi saya kira ini bagian menjadi dinamika di parlemen,” imbuhnya.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg)  Firman Subagyo  berpandangan RUU Pengampunan Pajak menjadi ranah pemerintah. Pasalnya pemerintah lebih mengetahui kebutuhan dalam pemenuhan pemasukan negara dalam rangka membiayai pembangunan negara. Menurutnya bila merujuk peraturan perundangan yang berlaku, maka RUU Pengampunan Pajak mesti berlanjut, terlepas adanya pandangan tak bermafaat. “Yang mengetahui kebutuhan ini pemerintah ketika pengampunan paja tercapai,” ujar anggota Komisi IV dari Fraksi Golkar itu.

Sekretaris Fraksi Partai Hanura Dadang Rusdiana  berpandangan pertumbuhan pendapatan di tahun 2016 dikhawatirkan mengalami penurunan. Makanya diperlukan solusi agar dapat mendongkrak pendapatan negara. Pemerintah pun mesti memiliki alasan rasional ketika dengan penerapan pengampunan pajak dapat menutup kekurangan anggaran sebesar Rp200 triliun.

“Hanura tidak akan serta merta menerima atau menolak, kita ingin kejelasan dulu. Karena yang Hanura perhatikan seringkali pemerintah kita itu over-estimated, ini yang harus dikoreksi,” kata anggota Komisi X itu.

Ketidaktegasan Pemerintah
Anggota Komisi V Muhammad Nizar Zahro  menilai RUU Pengampunan Pajak bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah. Ia berpendapat kebijakan menggenjot penerimaan pajak dan perbaikan tata kelola perpajakan tak melulu menempuh kebijakan pengampunan pajak. Penindakan tegas terhadap para pelaku pengemplang pajak menjadi persoalan mendasar yang dihadapi sektor perpajakan. Kejahatan pajak acapkali dilakukan korporasi dan pengusaha nakal.

“Ini yang mendorong realisasi penerimaan pajak selalu dibawah potensi pajak yang ada saat ini. Kelemahannya ada pada ketidaktegasan pemerintah dalam melakukan penindakan terhadap kejahatan perpajakan,” ujarnya.

Pemerintah bisa menggunakan instrumen hukum tegas terhadap pelaku pengemplangan pajak. Apalagi saat ini sudah ada Satgas Pengamanan Penerimaan Negara. Satgas ini  menjadi instrumen untuk mengejar para korporasi atau pengusaha yang melakukan pengemplangan pajak dan pencucian uang dari pengemplangan pajak. Pemerintah mestinya fokus pada perbaikan sistem kelembagaan, perbaikan sistem administrasi perpajakan dan penataan regulasi.

Nizar berpandangan menggenjot pendapatan pajak tidak dapat dilakukan dengan cara-cara yang sifatnya periodik, dan cenderung pragmatis sejenis tax amnesty, melainkan dengan cara yang komprehensif dan sistematis dari hulu hingga ke hilir. Artinya, mulai dari proses kebijakan yang baik, infrastruktur cukup hingga sumber daya manusia yang cakap.

Pemerintah pernah menerapkan pengampunan pajak pada 1984 dan 2008, namun gagal. Sebab kebijakan tersebut tidak diikuti kebijakan lain dalam rangka perbaikan sistem administrasi perpajakan. Padahal kebijakan lain itu menjadi landasan dasar keberhasilan pengampunan pajak.

“Jika melihat dari aspek kesiapan pemerintah dalam melakukan optimalisasi penerimaan pajak baik secara administrasi, regulasi, dan kapasitas SDM di Direktorat Jenderal Pajak sendiri maka diberlakukannya tax amnesty akan beresiko terhadap pencapaian target penerimaan pajak,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait