Laporan Gratifikasi Ditolak KPK, Politisi Golkar Malah Jadi Tersangka
Berita

Laporan Gratifikasi Ditolak KPK, Politisi Golkar Malah Jadi Tersangka

KPK menduga gratifikasi yang dilaporkan berkaitan dengan penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi yang saat itu tengah ditangani lembaga antikorupsi tersebut.

Oleh:
ANT
Bacaan 2 Menit
Anggota Komisi V DPR dari Fraksi Partai Golkar Budi Supriyanto usai diperiksa KPK akhir Januari lalu. Foto: RES
Anggota Komisi V DPR dari Fraksi Partai Golkar Budi Supriyanto usai diperiksa KPK akhir Januari lalu. Foto: RES
KPK menetapkan Anggota Komisi V dari Fraksi Partai Golkar, Budi Supriyanto (BSU) sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji dalam proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Pelaksana harian (Plh) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati mengatakan, penetapan tersangka ini merupakan pengembangan perkara yang dilakukan KPK.

"Dalam pengembangan penanganan perkara tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji kepada anggota DPR terkait proyek di kementerian PUPR tahun 2016, penyidik KPK sudah menemukan alat bukti yang cukup untuk menetapkan BSU anggota DPR 2014-2019 sebagai tersangka berdasarkan pemeriksaan saksi dan alat bukti yang dimiliki KPK," kata Yuyuk, Rabu (2/3).

Budi yang berasal dari daerah pemilihan Jawa Tengah tersebut dikenakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Surat perintah penyidikan ditandatangani pada 29 Februari 2016.

"Tersangka BSU diduga menerima janji atau hadiah dari AKH (Abdul Khoir) selaku Direktur PT WTU (Windu Tunggal Utama) agar mendapat proyek di kementerian PUPR," tambah Yuyuk.

Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha mengatakan, Budi pernah juga melaporkan penerimaan uang sebesar Sing$305 ribu kepada KPK. Namun ia menegaskan, pelaporan tersebut tak masuk dalam kategori mengembalikan uang. "Kurang tepat jika dikatakan Pak BSU mengembalikan uang,” katanya.

Awalnya, lanjut Priharsa, pada 1 Februari 2016 Budi melalui kuasa hukumnya melaporkan penerimaan gratifikasi senilai Sing$305 ribu. Dalam laporan tersebut dilaporkan pemberinya adalah Julia Prasetyarini. Atas laporan itu, Divisi Gratifikasi KPK melakukan analisis dan koordinasi.

“Diputuskan bahwa laporan tersebut ditolak karena berkaitan dengan penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi yang saat itu sedang ditangani KPK," ungkap Priharsa.
Menurut Priharsa, uang sebesar Sing$305 ribu itudiketahui merupakan uang sisa dari commitment fee Abdul Khoir kepada Damayanti sebesar Sing$404 ribu. Damayanti, Dessy dan Julia sendiri menerima masing-masing sebesar Sing$33 ribu sehingga seluruhnya uang yang disita KPK dari operasi tangkap tangan pada 13 Januari 2016.

"Laporan Pak BSU tersebut tidak memenuhi Pasal 12 B UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Surat penolakan sudah disampaikan dan dibuat pada 10 Februari 2016 dan pada hari itu juga penyidik melakukan penyitaan terhadap uang tersebut dengan disaksikan oleh penasihat hukum," tambah Priharsa.
Pasal 12 B UU Tipikor
(1)  Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2)  Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Sayangnya, Priharsabelum dapat menjelaskan apakah uang Sing$305 ribu itu ditujukan untuk anggota Komisi V DPR lain atau tidak. "Tentang tujuan pemberian uang akan dilakukan di tahapan penyidikan karena uang tersebut berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka dalam hal ini AKH, nanti akan disampaikan bila ada informasi tambahan," tambahnya.

Sebelumnya, KPK sudah menetapkan empat tersangka lain yaitu para penerima suap Anggota Komisi V dari Fraksi PDI Perjuangan daerah pemilihan Jawa Tengah Damayanti Wisnu Putranti, Julia Prasetyarini (UWI), Dessy A Edwin (DES) dan pemberi suap yaitu Abdul Khoir.

Tujuan pemberian uang adalah agar PT WTU mendapat proyek-proyek di bidang jasa konstruksi yang dibiayai dana aspirasi DPR di Provinsi Maluku yang dicairkan melalui Kementerian PUPR. Pada 2016, di wilayah II Maluku yang meliputi Pulau Seram akan ada 19 paket pekerjaan yang terdiri dari 14 jalan dan 5 jembatan dan masih dalam proses pelelangan.

Sejumlah anggota DPR Komisi V juga sudah diperiksa KPK dalam perkara ini. Anggota Komisi V dari fraksi Partai Hanura Fauzih Amro mengakui ada 22 orang anggota Komisi V yang melakukan kunjungan kerja ke Pulau Seram pada 6-9 Agustus 2015. Dalam kunjungan itu mereka mendengarkan mengenai kebutuhan untuk pembangunan jalan di daerah Pulau Seram dan sekitarnya yang masuk dalam wilayah kerja Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) IX Kementerian PUPR.

KPK juga sudah mencegah Budi Supriyanto dan Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa So Kok Seng alias Aseng berpergian keluar negeri selama enam bulan. Selain itu, KPK juga telah menggeledah ruangan Budi dan rekannya dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Yudi Widiana Adia di DPR.
Tags:

Berita Terkait