Menaker: Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan Masih Rendah
Berita

Menaker: Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan Masih Rendah

Tiga isu ketenagakerjaan yang perlu digenjot adalah pengupahan dan kesejahteraan pekerja, pelatihan dan kompetensi kerja, serta hubungan industrial.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Menaker, Muh Hanif Dhakiri. Foto: RES
Menaker, Muh Hanif Dhakiri. Foto: RES
Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, mengatakan Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan (IPK) di Indonesia tahun 2015 masih rendah. Nilai IPK rata-rata nasional hanya 55,73 (kategori menengah ke bawah 50,00-65,99). Penilaian itu dilakukan mengacu pada sejumlah indikator bidang ketenagakerjaan seperti Kesempatan Kerja, Pengupahan dan Kersejahteraan Pekerja, Perencanaan Tenaga Kerja dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Dari sejumlah indikator yang digunakan, sedikitnya ada tiga isu yang harus ditingkatkan ke depan yakni pengupahan dan kesejahteraan pekerja, pelatihan dan kompetensi kerja serta hubungan industrial. Hanif menyebut daerah yang mendapat IPK terbaik adalah Kepulauan Riau dan DKI Jakarta. “Kita butuh terobosan agar bisa keluar dari kriteria IPK menengah bawah,” katanya dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Senayan Jakarta, Kamis (10/3).

Hanif menilai salah satu penyebab rendahnya IPK di Indonesia karena bidang ketenagakerjaan belum mendapat perhatian serius. Padahal, isu ketenagakerjaan sangat penting dalam rangka pemerataan hasil pembangunan. Pasalnya, masalah besar yang dihadapi saat ini diantaranya terkait kesenjangan sosial yang sebagian disumbang dari persoalan ketenagakerjaan seperti kesenjangan upah.

“Strategi dan program yang digulirkan pemerintah untuk menggenjot IPK diantaranya mendorong daerah agar bisa memenuhi indikator IPK,” ujar Hanif.

Untuk meningkatkan IPK Hanif berpendapat bidang ketenagakerjaan harus menjadi kebijakan prioritas pemerintah khususnya di daerah. Baik itu dimulai dari perumusan program dan alokasi anggaran. Jika itu dilakukan ia yakin IPK akan meningkat. Dibandingkan IPK tahun 2014 (55,50), tahun 2015 memang ada kenaikan tapi tidak signifikan. “Peningkatan itu belum mampu mendorong kita untuk keluar dari kriteria IPK menengah bawah,” tukasnya.

Anggota Komisi IX DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN), M Ali Taher, mengatakan Komisi IX perlu mendapat rincian tentang indikator IPK yang disebut Menaker. Dengan begitu Dewan bisa mengkaji dengan baik persoalan terkait IPK yang masih berada pada kategori menengah bawah.

Ali juga mengingatkan di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) ini hal penting yang perlu dilakukan yakni menyiapkan dan meningkatkan kompetensi tenaga kerja lokal. Pekerja Indonesia harus punya tingkah laku, pengetahuan dan keterampilan yang terbaik. Selaras itu dibutuhkan regulasi ketenagakerjaan yang mumpuni sehingga mampu menghadapi MEA. “Pemerintah perlu membuat regulasi yang baik sekaligus meningkatkan kompetensi tenaga kerja lokal,” urai Ali.

Anggota Komisi IX fraksi PDIP, Imam Suroso, menilai kondisi balai latihan kerja (BLK) yang dikelola pemerintah terutama di daerah memprihatinkan. Padahal peran BLK penting untuk memberikan pelatihan terhadap tenaga kerja sehingga keterampilannya meningkat.

Wakil Ketua Komisi IX, Ermalena, mendorong agar Menaker di rapat kabinet mengusulkan alokasi anggaran pendidikan ada yang bisa disalurkan untuk menggelar program pelatihan di Balai Latihan Kerja (BLK). Dengan begitu diharapkan dapat mendorong perbaikan program-program yang diselenggarakan di BLK. “Diharapkan ada sebagian dari anggaran pendidikan yang bisa dialihkan untuk mendukung BLK dan pendidikan bagi tenaga kerja kita,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait