Pemerintah Terima 33 Masukan untuk Revisi UU Kepailitan
Utama

Pemerintah Terima 33 Masukan untuk Revisi UU Kepailitan

Materi perubahan UU Kepailitan sudah beberapa kali dibahas. Dianggap menghambat kemudahan berusaha. Apa saja yang berubah?

Oleh:
FITRI N. HERIANI
Bacaan 2 Menit
Ricardo Simanjuntak. Foto: Sgp
Ricardo Simanjuntak. Foto: Sgp
Pemerintah terus menggodok masukan dari para pemangku kepentingan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan). Terakhir, Jum’at (11/3) pekan lalu, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum mengundang kurator, akademisi, praktisi, dan pemangku kepentingan lain untuk mematangkan rencana revisi tersebut.

Direktur Perdata Ditjen AHU Kementerian Hukum dan HAM, Daulat P. Silitonga, menjelaskan Pemerintah sudah menerima 33 topik masukan dari para pemangku kepeningan. Masukan-masukan tersebut, kata dia, akan dibahas kembali sebelum naskah RUU Perubahan UU No. 37 Tahun 2004 diserahkan ke DPR.

Salah satu masukan menyangkut cross-border insolvency. Masalah ini juga mengemuka saat Menteri Hukum dan HAM menghadiri seminar dan reuni akbar yang diselenggarakan Jaringan Alumni Fakultas Hukum USU di aula Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, akhir Januari lalu. Seminar itu juga mengaitkan revisi UU Kepailitan dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Sebelumnya, Kementerian Koordinator Hukum, Politik dan Keamanan juga sudah menggelar diskusi mengenai revisi UU Kepailitan. Dari acara-acara itulah muncul masukan.

“Semua usulan akan dibahas kembali, dan sesegera mungkin kita akan serahkan ke DPR mengingat pemberlakuan MEA. Tetapi butuh waktu yang tidak sebentar karena harus buat naskah akademiknya juga. Sesegera mungkin,” kata Silitonga.

Praktisi hukum kepailitan, Ricardo Simanjuntak, termasuk yang memberikan masukan terkait revisi UU No. 37 Tahun 2007. Berdasarkan pengalamannya berpraktik dan pengamatannya, ada tujuh masalah yang muncul, dan karena itu perlu diperbaiki aturannya.

Pertama, penekanan utama adalah terkait tidak adanya kepastian pelaksanaan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan mengenai ‘utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih’. Menurut Ricardo, tidak ada ukuran yang pasti terhadap pelaksanaan pasal 2 ayat (1). Pemahaman terhadap utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih juga tidak sama.  “Selain itu, teori pembuktian sederhana belum dipahami secara baik oleh Pengadilan Niaga,” kata Ricardo.

Kedua, sebagian hakim niaga tidak memiliki record atau jam terbang keahlian yang cukup dalam memahami dan mendalami esensi hukum kepailitan, baik di tingkat Pengadilan Negeri maupun tingkat Mahkamah Agung. Pendidikan calon hakim niaga dinilai terlalu pendek dan seleksi pemilihan calon hakim niaga tidak jelas. Ricardo mengusulkan perkara niaga sebaiknya diselesaikan di Pengadilan Tinggi, seperti yang dilakukan di Singapura.

“Hakim Tinggi itu memiliki kemampuan yang baik dan jam terbang yang pasti sudah lama. Jadi seharusnya kasus-kasus niaga itu diselesaikan di sana. Kalau Pengadilan Niaga masih digabung di PN Pusat, saya tidak yakin,” imbuhnya.

Ketiga, tidak ada kepastian hukum tentang jangka waktu penyelesaian perkara (time frame). Menurut Ricardo, permohonan pailit diperiksa dan diputuskan (khususnya di MA) tidak sesuai dengan waktu yang diwajibkan oleh UU Kepailitan. Salinan putusan kasasi dan PK di MA selalu dikirimkan tanpa ketentuan waktu yang pasti, dan kurator tidak memiliki kepastian waktu tentang kapan penanganan kepailitan dan PKPU dapat dimulai dan diakhiri.

Keempat, dalam praktik, terjadi kebingungan tentang implementasi ladder of creditor’s claim priority. Tidak ada kepastian hukum terhadap pelaksanaan hak separatis ketika dihadapkan pada hak tagih pajak dan hak tagih buruh. Juga tidak ada upaya pembuktian dugaan kreditor fiktif, dan ada pelanggaran hukum pembuktian dalam hal Pengadilan Niaga mewajibkan ‘kreditor lain’ dalam persidangan. “Pasal 127 UU Kepailitan juga tidak memberikan kepastian terhadap langkah renvoi prosedur,” tutur Ricardo.

Kelima, pelaksanaan hak mengajukan usulan perdamaian oleh debitor tidak realistis. Alasannya, hak untuk mengajukan usulan perdamaian dalam pasal 144 adalah hak debitor pailit, tetapi pengajuan berdasarkan Pasal 145 UU Kepailitan tidak adil bagi debitor pailit yang masih memiliki upaya hukum.

Keenam, tidak ada kepastian terhadap hak eksekusi dari kreditor separatis terhadap boedel pailit yang telah dijaminkan hak kebendaan dihubungkan dengan Pasal 56 dan Pasal 59. Ketujuh, tidak ada kepastian terhadap perlindungan kurator dan juga terhadap tata cara perhitungan fee kurator atau pengurus.

Masukan AKPI
Ketua Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Jamaslin James Purba juga memberikan tujuh masukan terhadap revisi UU Kepailitan. Pertama, tanggung jawab kurator dan perlindungan hukum kurator harus diperkuat dan jelas.

“Sejauh mana batasan kesalahan dan kelalaian kurator dalam melaksanakan tugas pengurusan atau pemberesan harta pailit. Disamping kurator diberi tanggungjawab, juga harus ada perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas,” kata James.

Kedua, kewenangan pengurusan dan pemberesan harta pailit antara kurator dan pemegang jaminan. Masalahnya, bagaimana jika kreditor separatis menolak menyerahkan agunan kepada kurator. Masalah ini belum diatur dalam UU Kepailitan.

Ketiga, akibat kepailitan terhadap sita pidana. Menurut James, dalam Pasal 31 ayat (2) UU Kepailitan segala penyitaan menjadi hapus jika terjadi kepailitan terhadap debitor. Tapi dalam prakteknya, hal ini sering meimbulkan permasalahan jika ada sita pidana atas harta pailit. Permasalahan dimaksud pernah terjadi antara kurator PT SCR melawan Bareskrim Polri.

Keempat, peringkat kreditor (pekerja) agar diatur tegas dalam UU Kepailitan. “Permasalahan yang bisa timbul adalah dalam hal kreditor separatis melakukan eksekusi sendiri benda agunan di mana harta pailit hanya benda agunan tersebut. Apakah dalam hal ini kreditor separatis wajib mendahulukan pembayaran kepada buruh?” ujar James.

Kelima, renvoi prosedur agar tegas diatur, termasuk jangka waktunya. Keenam, menyoal fee kurator. Dalam Pasal 17 ayat (2) UU Kepailitan, majelis hakim yang membatalkan putusan pernyataan pailit menetapkan biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator. “Bagaimana kalau yang membatalkan putusan itu MA dalam kasasi atau PK?,” tuturnya.

Ketujuh, status tagihan kreditor yang dibantah dalam PKPU. UU Kepailitan tidak secara jelas menentukan nasib kreditor yang dibantah oleh pengurus PKPU. Lalu, apakah setelah PKPU tercapai perdamaian maka kreditor yang tagihannya dibantah masih memiliki hak-haknya, atau adakah upaya hukum lain yang diberikan UU Kepailitan. Ingat, Pasal 286 UU Kepalitian menyebutkan perdamaian yang telah disahkan mengikat bagi semua kreditor konkuren.
Tags:

Berita Terkait