Yang Bertoga Yang Duduk di Kursi "Pesakitan"
Berita

Yang Bertoga Yang Duduk di Kursi "Pesakitan"

Saya ditangkap dalam status sebagai advokat, menjalankan tugas ketika di aksi buruh sebagai advokat. Saya pun didakwakan dan dibawa ke ruang persidangan sebagai advokat.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Obed dan Tigor di PN Jakarta Pusat. Foto: RES
Obed dan Tigor di PN Jakarta Pusat. Foto: RES
Pengacara memakai toga saat membela kliennya di persidangan mungkin sudah menjadi pemandangan biasa di pengadilan. Namun, bagaimana dengan pengacara yang menggunakan toga saat menjadi terdakwa di persidangan? Mungkin menjadi pemandangan yang tak bisa, mengingat pengacara bertoga tersebut duduk di kursi "pesakitan".

Sebut saja dua pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Obed Sakti Andre Dominika dan Tigor Gemdita Hutapea. Obed dan Tigor harus duduk di kursi "pesakitan" karena didakwa tidak menaati perintah petugas untuk membubarkan diri dalam aksi demo buruh yang menolak PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan pada 30 Oktober 2015.

Obed dan Tigor duduk di kursi terdakwa secara berdampingan sambil mengenakan toga yang merupakan syarat wajib seorang advokat saat beracara dalam sidang perkara pidana. Untuk diketahui, kewajiban menggunakan toga hitam bagi pengacara diatur dalam Pasal 230 ayat (2) KUHAP dan Pasal 25 UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Masih ada beberapa peraturan lanjutan, seperti PP No.27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yang mengatur kewajiban pengacara memakai toga dalam sidang perkara pidana. Adapun pengecualian kewajiban hakim, penuntut umum, dan advokat untuk memakai toga, yakni dalam sidang perkara tindak pidana anak.

Kembali ke kasus Obed dan Tigor yang didakwa melakukan tindak pidana di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Keduanya menggunakan toga meski duduk di kursi terdakwa. Obed beralasan penggunaan toga tersebut karena ia ditangkap Polisi dalam statusnya sebagai advokat yang sedang mendampingi demo buruh.

"Saya (menggunakan toga karena ditangkap) dalam status sebagai advokat, saya diperiksa Polisi sebagai saksi juga sebagai advokat, juga menjalankan tugas ketika di aksi buruh sebagai advokat. Saya pun didakwakan dan dibawa ke ruang persidangan sebagai advokat," katanya usai mengikuti sidang pembacaan dakwaan.

Obed mengatakan dirinya tidak khawatir dianggap mencoreng "jubah kebesarannya". Ia justru menganggap pihak yang mencoreng profesinya adalah Kepolisian dan Kejaksaan. Pasalnya, Kepolisian dan Kejaksaan mengetahui bahwa Obed dan Tigor bertindak sebagai advokat yang sedang menjalankan tugas saat aksi demo buruh.

"Polisi dan Jakssa mengetahui bahwa kami advokat, mempunyai hak imunitas tidak dapat dituntut, baik pidana maupun perdata, saat membela klien di luar maupun di dalam persidangan. Saya hanya melakukan (tugas), di luar massa aksi. Tugas saya waktu itu sedang memantau aksi buruh sebagai pendamping hukum," ujarnya.

Obed menjelaskan, saat peristiwa penangkapan terjadi, posisinya sekitar 50 meter di luar massa aksi, tepatnya di depan Pos Polisi. Akan tetapi, ia malah ikut-ikutan ditangkap Polisi meski sudah memperkenalkan diri sebagai pengacara. Polisi pun tidak menghiraukan dan langsung membawa mereka ke markas Polda Metro Jaya.

Terkait Pasal 216 ayat (1), subsidair Pasal 218 KUHP yang didakwakan kepadanya, Obed berpendapat pasal itu merupakan peninggalan orde baru yang dimunculkan lagi di era reformasi. Padahal, sudah jelas dalam UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Polisi hanya membubarkan aksi massa, bukan menangkap.

Sementara, Tigor mengatakan dirinya kecewa dengan sikap penuntut umum yang tidak bisa menjelaskan secara terang-benderang, mengapa mereka didakwa dengan Pasal 216 ayat (1), subsidair 218 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Tigor menegaskan, sebagai advokat, ia dan Obed dilindungi UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, UU Advokat, dan Pasal 50 KUHP.

Salah sejak surat panggilan
Tigor menganggap proses hukum terhadap dirinya, Obed, dan seorang terdakwa lain yang merupakan mahasiswa FISIP Universitas Mulawarman, Hasyim Ilyas Riciyat Nor merupakan peradilan sesat. Bahkan, dalam surat panggilan pertama, penuntut umum tidak memenuhi aturan pemanggilan secara patut, serta tidak menjelaskan alasan pemanggilan.

Akibatnya, Obed, Tigor, dan Hasyim menolak memenuhi panggilan penuntut umum pada persidangan pertama pada 21 Maret 2016. Kekeliruan pemanggilan terulang lagi pada surat panggilan untuk sidang pembacaan dakwaan pada 28 Maret 2016. Dalam surat panggilan tersebut, tidak ada nomor surat dan mencantumkan pasal dakwaan yang salah.

Apabila mengacu surat dakwaan, Obed, Tigor, dan Hasyim didakwa melanggar Pasal 216 ayat (1), subsidair Pasal 218 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Namun, dalam surat panggilan yang tak bernomor itu, tertulis ketiganya dipanggil untuk keperluan sidang perkara Pasal 268 ayat (1), subsidair Pasal 288 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal 268 ayat (1) dan Pasal 288 KUHP bukan lah pasal yang didakwakan terhadap Tigor, Obed, dan Hasyim. Pasalnya, kedua pasal itu, masing-masing mengatur mengenai pemalsuan keterangan dan perselingkuhan. Mendapati adanya kekeliruan, penuntut umum kembali melayangkan surat panggilan baru.

Kali ini, surat panggilan diberi nomor, tanggal, dan memuat pasal yang sudah dikoreksi, yaitu Pasal 216 ayat (1) subsidair Pasal 218 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam surat yang ditandatangani Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat itu, ketiga terdakwa diminta menghadap kepada penuntut umum Sugih Carvallo atau Domo Pranoto.

Tags:

Berita Terkait