Lima Masalah yang Bikin Risau Pengusaha
Berita

Lima Masalah yang Bikin Risau Pengusaha

Mulai dari biaya kepatuhan hukum, hingga realisasi alokasi infrastruktur.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Regulasi dan kebijakan yang diambil pemerintah rupanya tak selalu sempurna. Bahkan, beberapa diantaranya justru merisaukan para pemangku kepentingan. Berikut beberapa masalah terkait dengan peraturan dan kebijakan yang merisaukan pengusaha yang berhasil hukumonline himpun dari Diskusi Panel Kebijakan Pemerintah Terkini dan Kendala yang Dihadapi Oleh Pelaku Usaha di Jakarta, Selasa (3/5).

1. Biaya Kepatuhan Hukum
Saat ini, suku bunga kredit di Indonesia termasuk yang paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara. Bagi kalangan pelaku usaha, tingginya suku bunga kredit merupakan hambatan utama daya saing. Dampaknya, dikhawatirkan daya saing yang lemah membuat potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia terhambat pula.

Ternyata, salah satu penyumbang tingginya suku bunga kredit yang tinggi adalah sektor hukum. Menurut Hariyadi B. Sukamdani, Ketua Umum Dewan Pimpinan Harian Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), masalah ketidakpastian hukum, biaya kepatuhan hukum, dan tata kelola perusahaan sangat mempengaruhi tingkat suku bunga kredit. Menurutnya, ketidakpastian hukum terkait pengadilan proses kepailitan. Selain itu, proses penyelesaian sengketa yang panjang dan lama juga bisa menambah risiko kredit. Akhirnya, pihak perbankan mengenakan suku bunga kredit yang tinggi untuk mengantisipasi hal itu.

“Biaya untuk kapatuhan hukum juga bisa tinggi mengingat aturan-aturan perbankan yang berbelit yang pada akhirnya bisa berdampak pada biaya tinggi. Kami berharap Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan melakukan evaluasi bebrapa peraturan perbankan yang terkait untuk memastikan tidak adanya biaya kepatuhan yang tinggi,” ujar Hariyadi.

2. Birokrasi Perizinan
Sudah rahasia umum, masalah perizinan menjadi salah satu momok dalam dunia investasi. Hariyadi mengakui, proses dan waktu pengurusan prizinan sangat berpengaruh dalam perputaran roda perusahaan. Ia mengatakan, proses berbelit dan waktu yang lama akan sangat menghambat laju usaha.

Akan tetapi, Deputi Pelayanan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Lestari Indah menuturkan bahwa kini pemerintah sangat memperhatikan upaya peningkatan investasi. Ia pun mengatakan, telah dibuat beragam kebijakan dan regulasi yang bisa mendorong hal itu. Salah satunya, dengan melakukan pemangkasan regulasi dan proses birokrasi dalam pengurusan izin.

“Secara kuantitas ada peningkatan yang signifikan dari jumlah izin yang diterbitkan, secara kualitas perbaikan pelayanan perizinan juga terus dilakukan terutama dengan adanya layanan izin investasi 3 jam. Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) cukup kami andalkan. Dalam sebulan lebih dari seribu izin kami tebitkan. Ke depan persaingan menarik investasi akan semakin ketat, namun demikian dengan berbagai kemudahan ditawarkan tersebut, BKPM tetap optimistis menjaga aliran investasi tetap positif,” ujarnya.

3. Prosedur Logistik
Regulasi mengenai tata laksana memindahkan barang antar daerah dalam negeri sekaligus ke dalam dan luar negeri saat ini dinilai masih belum efisien. Menurut Hariyadi, ketentuan dari Kementerian Perdagangan yang mengharuskan perusahaan Indonesia mengeluarkan laporan pra-verifikasi di pelabuhan keberangkatan cukup merepotkan pelaku usaha. Pasalnya, pembuatan laporan itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

“Misalnya, kapal yang berangkat dari Bangkok ke Jakarta hanya butuh waktu tiga hari. Sementara kita buat laporan itu butuh satu minggu. Akibat adanya aturan itu, jadilah kapal harus menunggu lama di pelabuhan,” keluh Hariyadi.

Dia mengatakan, akan lebih efektif jika pemerintah mengeluarkan aturan terkait dengan prosedur pre-clearance. Dengan mempercepat proses pre-clearance, maka dwelling time bisa dipersingkat. Ia yakin, jika aturan itu efektif maka dwelling time bisa ditekan. Sebab, menurut perhitungannya lebih dari 85% barang yang tiba di pelabuhan Tanjung Priok tidak dilakukan pre-clearance sebelum barang tiba.

4. Revisi DNI
Pada bulan Februari lalu, pemerintah resmi merilis revisi Daftar Negatif Investasi (DNI) yang menjadi poin dalam Paket Kebijakan Ekonomi Jilid X. Dalam revisi DNI tersebut, ada 35 bidang usaha yang dicoret dari DNI. Artinya, bidang usaha itu dibuka sepenuhnya untuk penanaman modal asing (PMA).

Bidang usaha tersebut, di antaranya industri karet (crumb rubber), lemari penyimpanan (cold storage). Beberapa kegiatan di bidang pariwisata juga boleh sepenuhnya diusahakan oleh PMA. Selain itu, bidang usaha yang terbuka 100% untuk asing adalah penyelenggara transaksi perdagangan secara elektronik yang bernilai Rp100 miliar ke atas.

Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) yang juga menjabat sebagai Komisaris Utama PT Telkom Indonesia, Hendri Saparini menegaskan bahwa kebijakan tersebut membuat risau kalangan dunia usaha dalam negeri. Pasalnya, kebijakan itu akan membuat Indonesia lambat laun kehilangan pasarnya sendiri. Ia pun mengingatkan, pasti ada yang dikorbankan dari kebijakan itu.

"Kebijakan kita itu enggak saling mendukung. Yang satu mau bikin ini maju, lah yang satu ini membolehkan asing masuk. Nanti lama-lama pasar kita habis di negeri sendiri, karena kita digempur oleh barang-barang asing yang murah sekali,” tandasnya.

5. Anggaran Infrastruktur
Hendri mengatakan, masalah lain yang tak kalah merisaukan adalah daya beli masyarakat. Hal ini berkaitan dengan masih tingginya tingkat pengangguran di Indonesia. Sebagaimana diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data bahwa tingkat pengangguran di Indonesia mencapai 7,02 juta sampai Maret 2016.

"Tentu sekarang ini yang harus didukung pembangunan infrastruktur untuk menciptakan lapangan kerja baru. Nah, kalau untuk meningkatkan tenaga kerja mungkin tergantung juga pada APBN, karena infrastruktur dibangun pakai APBN. Tapi paling tidak, itu bisa megompensasi penciptaan lapangan kerja di sektor lain," ujarnya.

Sementara itu, Hariyadi menjelaskan bahwa sebenarnya dunia usaha berharap banyak dari tingginya alokasi belanja infrastruktur. Namun kenyataannya, menurut Hariyadi, tahun lalu alokasi anggaran tersebut tidak disertai dengan percepatan implementasi proyek. Ia mengatakan, kebanyakan kementerian tak sampai 50% menyerap anggarannya maisng-masing.

Tags:

Berita Terkait