Ini Utang Agenda Reformasi di Sektor Hukum
Berita

Ini Utang Agenda Reformasi di Sektor Hukum

Mulai penegakan hukum di berbagai bidang, penegakan HAM, hingga kebebasan berekspresi dan keberpihakan terhadap korporasi dalam aspek agraria.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi ICW, Jumat (20/5). Foto: RFQ
Acara diskusi ICW, Jumat (20/5). Foto: RFQ
Sudah 18 tahun era reformasi bergulir, sejumlah agenda perubahan belum menuai hasil maksimal. Silih berganti rezim pemerintahan menjadi pengelola negara, namun belum mampu mewujudkan berbagai agenda reformasi secara menyeluruh. Setidaknya, utang reformasi di sektor hukum menjadi bagian penting yang mesti segera diwujudkan, antara lain penegakan hukum secara utuh dan maksimal.

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, berpandangan dalam aspek penegakan hukum di bidang korupsi, institusi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan belum mampu maksimal seperti halnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, peran kedua lembaga penegak hukum itu penting untuk dikembalikan fungsi maksimalnya dalam penegakan hukum di bidang korupsi.

Belum maksimalnya kerja kepolisian dan kejaksaan dalam penegakan hukum menjadi utang agenda reformasi yang belum tuntas. Adnan memaklumi di kedua lembaga masing-masing memiliki persoalan internal. Misalnya, belum bersih dari praktik kolusi, korupsi dan nepotisme yang menjadi jargon agenda reformasi. Akibatnya, penegakan hukum tidak dapat bekerja maksimal.

Instrumen penegakan hukum hakikatnya telah cukup lengkap. Mulai UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK, UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri, UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU No.18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial, UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman, serta UU No.31 Tahun 2014 tentang LPSK. Sejumlah UU menjadi upaya pembangunan hukum dalam mendukung pemberantasan korupsi secara legal formal.

Faktanya, ketimpangan antara kaya dan miskin menjadi jurang yang kian melebar. Berdasarkan catatan Bank Dunia, kata Adnan, Indonesia memiliki laju ketimpangan sosial antara kaya dan miskin tercepat di Asia. Ia menilai ada strategi yang salah dalam pemberantasan korupsi hingga tidak maksimalnya pemberantasan korupsi.

“Kemudian, penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi tak kunjung baik karena hanya bertumpu pada KPK. Sedang KPK memiliki keterbatasan. Reformasi hukum terutama perbaikan pada institusi sebagai pilar penegakan hukum. Kepolisian, Kejaksaan dan lembaga peradilan,” ujarnya.

Meski sudah dilakukan reformasi dari aspek peraturan perundang-undangan, lagi-lagi belum juga menuai hasil memuaskan. Padahal, anggaran belanja yang dikeluarkan negara selama 18 tahun era reformasi terbilang besar. “Tetapi tetap saja hasilnya seperti sekarang. Bagaimana kita memastikan refomasi itu bisa kita rasakan,” ujarnya.

Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS, Yati Andriyani menyorot dari aspek penegakan hukum di bidang hak asasi manusia (HAM). Sejumlah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu belum juga diproses. Berkas perkara pun kerap dikembalikan Kejaksaan ke Komnas HAM. Padahal, penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM sudah rampung untuk kemudian dilakukan penyidikan oleh Kejaksaan. Entah kenapa, Kejaksaan kerap mengembalikan berkas perkara.

“Delapan belas tahun penegakan hukum di bidang HAM mengalami kemacetan. Korban masih menunggu, negara harus mengungkap kebenaran dan menghukum pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu,” ujarnya.

Yati setidaknya mencatat tiga fase. Pertama, setelah gelombang reformasi, muncul berbagai kebijakan dan perundangan terkait penanganan pelanggaran HAM berat. Meski saat itu masih terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat seperti Poso. Mulai adanya penyidikan, pembentukan pengadilan HAM berat. Kedua, terjadi masa kompromi antara elit politik dengan penguasa. Meski diboyong ke pengadilan HAM, namun pelaku dapat bebas. Setidaknya pelaku terbukti, namun hanya diganjar hukuman ringan.

Ketiga, di tahun 2007 hingga 2016 penegakan HAM berat macet. Pasalnya, para mantan anggota militer yang dapat dimintai pertanggungjawaban justru masuk dalam lingkaran pemerintahan dan partai politik, bahkan memiliki power yang kuat. Berdasarkan catatan KontraS, hanya dua kasus pelanggaran HAM berat yang diproses, yakni kasus Tanjung Priok dan Timor Leste.

“Kemudian tidak ada lagi. Janji Jokowi soal perlindungan HAM sampai saat ini masih jargon kampanye dan tidak bunyi. Delapan belas tahun reformasi justru mundur dalam penegakan hukum dan di bidang perlindungan HAM,” ujarnya.

Sementara itu, Supriyadi W Eddyono, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyorot terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi. Sejak era reformasi kran keterbukaan informasi, berpendapat dan bersekpresi dibuka luas. Bila era orde baru kran kebebasan berpendapat dan berekresi dibatasi, era reformasi seolah menjadi angin surga.

Sayangnya meski era reformasi, masih digunakan sejumlah pasal dalam KUHP untuk menjerat pelaku yang diduga melakukan ekspresi. Sejumlah pasal dalam KUHP pun dicabut melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun pemerintah menggunakan pasal-pasal pidana UU No.11 Tahun 2008 tentang ITE, yakni Pasal 27 dan 28.

“Namun di tahun ini pemerintah menggunakan pasal-pasal ‘tidur’ di dalam KUHP yakni Pasal 207 terkait makar dan Pasal 107a terkait ideologi negara untuk penyampaian ekspresi politik dan tuduhan komunisme,” ujarnya.

Kini, pemerintah dan DPR sedang membahas Rancangan KUHP. Namun, sejumah pasal yang dicabut dari KUHP produk kolonial Belanda oleh MK, masuk kembali dalam RKUHP. Oleh sebab itu, pekerjaan rumah agenda reformasi ke depan masih perlu diwujudkan oleh pemerintah. “RKUHP masih berupaya mencantumkan pasal-pasal yang dicabut oleh MK. Revisi pidana UU ITE masih tetap menjadi ancaman,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati, menyorot dari aspek mundurnya agenda reformasi agraria. Menurutnya, di era reformasi praktik liberalisasi terjadi secara besar-besaran. Pemainnya adalah pihak korporasi besar. Lahan dan sumber daya alam dikuasai oleh korporasi. Ironisnya, kepemilikan perseorangan sudah ‘dicaplok’ oleh korporasi.

“Pekerjaan rumah dari zaman Soeharto sampai sekarang tidak berubah. Masih soal ketimpangan dan ketidakadilan. Proyek reklamasi hanya mengakomodir kepentingan bisnis property,” ujarnya.

Pemerintahan Jokowi dinilai tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Pemerintah dinilai lebih berpihak kepada pihak korporasi. Menurutnya, model pemerintahan saat ini seolah mengulang proyek orde baru. Mestinya, peran negara hadir dan berpihak kepada kepentingan masyarakat. “Bukannya menimbulkan ancaman dan mendukung korporasi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait