Restorative Justice Sebagai Viktimologi Postmodern
Berita

Restorative Justice Sebagai Viktimologi Postmodern

Pengakuan tak hanya dalam peraturan perundang-undangan, tetapi juga dunia praktik.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Salah satu sesi acara Mahupiki di Banjarmasin, Mei 2016. Foto: MYS
Salah satu sesi acara Mahupiki di Banjarmasin, Mei 2016. Foto: MYS
Para ahli hukum Indonesia, akademisi dan praktisi, terus mendorong penerapan restorative justice. Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) salah satunya. Bentuk lain adalah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dan alternative dispute resolution (ADR). Ide-ide restorative justice semacam itu juga diakomodasi dalam RUU KUHP.

Menurut Guru Besar Emeritus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Romli Atmasasmita, konsep keadilan restoratif sudah diakui baik dalam peraturan perundang-undangan maupun doktrin dan praktik penegakan hukum.

Pertanyaannya, apakah kebijakan keadilan restoratif yang diatur dalam SPPA sudah benar? Salah satu kritik datang dari Prof. Muhammad Mustofa. Kriminolog Universitas Indonesia ini menilai kebijakan hukum yang mengadopsi konsep restorative justice  dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA tidak terlalu tepat. “Karena sifatnya formal,” kata Mustofa di depan peserta Pelatihan Pidana dan Kriminologi III yang diadakan Mahupiki dan FH Unlam, pertengahan Mei.

Mustofa berpendapat praktik restorative justice sesungguhnya adalah praktik (hukum) adat yang banyak dilakukan oleh beragam masyarakat di Indonesia. Penerapan restorative justice seyogianya sebagian besar diartikan sebagai revitalisasi hukum adat jika terjadi konflik di antara pendukung adat yang sama. Salah satu yang bisa dilakukan dalam rangka revitalisasi itu adalah mencabut ketentuan penghapusa peradilan adat. “Dengan adanya peradilan adat, maka kebijakan tersebut merupakan wujud nyata perwujudan masyarakat yang berbhinneka,” paparnya.

Dalam kajian-kajian akademis, restorative justice adalah teori viktimologi postmodern yang kesohor. Viktimologi adalah kajian ilmiah tentang viktimisasi, termasuk hubungan antara para korban dengan pelanggarnya, interaksi antara korban dengan sistem peradilan pidana dan keterkaitan korban dengan kelompok-kelompok sosial lain seperti media, pebisnis, dan gerakan-gerakan sosial.

Dalam konteks ini restorative justice dipandang sebagai mekanisme penyelesaian konflik non-formal di luar sistem peradilan formal negara yang bertujuan memulihkan hubungan pihak-pihak yang berkonflik seperti keadaan sebelum berkonflik. Lebih lanjut Mustofa mengatakan konsep restorative justice merupakan pengakuan terhadap filsafat hukum oriental yang dalam menyelesaikan konflik apapun selalu berupaya untuk memulihkan hubungan pihak-pihak yang berkonflik. “Konsep restorative justice sebagai bentuk pemikiran hukum oriental tidak dapat dipahami apabila dimaknai dengan mempergunakan konsep-konsep hukum modern Barat yang selama ini mendominasi pemikiran hukum,” jelasnya.

Pengakuan terhadap (hukum) adat sebenarnya bukan tak ada. Konstitusi jelas mengaturnya meskipun dengan syarat tertentu: sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.

Lihat juga misalnya dalam UU No. 6 Tahun 2016 tentang Desa. Kalau ada desa adat yang sudah ditetapkan, maka desa adat itu antara lain berwenang ‘menyelesaikan sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa tersebut asalkan selaras dengan hak asasi manusia dan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah.
Tags:

Berita Terkait