Lima Alasan Perpres Listrik Berbasis Sampah Digugat
Berita

Lima Alasan Perpres Listrik Berbasis Sampah Digugat

Aktivis lingkungan akan mendaftarkan permohonan uji materi ke Mahkamah Agung.

MYS
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi tumpukan sampah. Foto: RES
Ilustrasi tumpukan sampah. Foto: RES
Sejumlah organisasi advokasi lingkungan sudah satu kata menolak Peraturan Presiden (Perpres) No. 18 Tahun 2016  tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar (Perpres Percepatan PLTSa).

Sebagai wujud penolakan, sejumlah organisasi kini mematangkan langkah hukum berupa pengujian materi Perpres ke Mahkamah Agung. Batu ujinya adalah UU Pengelolaan Sampah. Materi permohonan sudah disusun dan tinggal dimatangkan. “Segera kami daftarkan,” kata Margaretha Quina, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) kepada hukumonline, Senin (06/6).

Selain ICEL, permohonan uji materi (HUM) ini diajukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), BaliFokus, Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), Greenpeace Indonesia, KRuHA dan Gita Pertiwi. Hingga hari ini, berkas permohonan memang belum didaftarkan, tetapi Quina memastikan langkah hukum itu ditempuh.

Setidaknya ada lima alasan yang mendorong lembaga advokasi lingkungan mengajukan permohonan HUM. Pertama, Perpres Percepatan PLTSa hanya mempromosikan percepatan PLTSa teknologi termal, yang justru tidak ramah lingkungan. Padahal UU No. 18 Tahun 2008  tentang Pengelolaan Sampah, khususnya Pasal 29 ayat (1) huruf g, melarang membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis.

Kedua, lepasan pencemar berbahaya dan beracun dari PLTSa, termasuk pencemar yang bersifat persisten dan sulit dipulihkan kembali, sehingga bertentangan dengan UU Pengelolaan Sampah, UU No. 36 Tahun 2014  tentang Kesehatan, dan Ratifikasi Konvensi Stockholm.

Ketiga, percepatan PLTSa bertentangan dengan asas dan tujuan UU Pengelolaan Sampah, yang secara eksplisit menghendaki perubahan paradigma pengelolaan sampah ke arah pengurangan, komprehensif dan tidak hanya berfokus pada timbunan sampah di hilir.

Keempat, Perpres Percepatan PLTSa yang mengizinkan konstruksi dimulai sebelum pengembang mendapatkan Izin Lingkungan dan Izin Mendirikan Bangunan bertentangan dengan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kelima, berkaitan dengan skema penunjukan langsung terhadap pengembang PLTSa, pembebanan biaya pembangunan proyek dan biaya pembelian listrik, yang sesungguhnya tidak layak secara ekonomi di dalam APBN, terdapat potensi pelanggaran UU Jasa Konstruksi dan UU Ketenagalistrikan.

Senior AdvisorBaliFokus, Yuyun Ismawati, mengatakan tidak mungkin pembakaran sampah dapat dilakukan sesuai peraturan teknis tanpa  menambahkan bahan bakar fosil dan proses pengeringan yang memakan biaya yang cukup signifikan dan memboroskan energi. “Sampah Indonesia pada umumnya basah,” ujar peraih Goldman Environmental Prize 2009 atas kiprahnya dalam pengelolaan sampah dan pembangunan berkelanjutan itu.

Direktur Eksekutif ICEL, Henri Subagiyo mengingatkan Pemerintah agar berhati-hati dalam proyek-proyek percepatan. “Jangan sampai menggunakan alur yang bertentangan dengan logika dan tujuan AMDAL dan Izin Lingkungan, serta berpotensi menempatkan pertimbangan lingkungan hanya sebagai formalitas. Pemerintah harus taat dengan alur perizinan yang dimandatkan perundang-undangan,” ujarnya.
Tags: