Peraturan Desa dalam Jenjang Nawiasky
Penelitian MA 2015:

Peraturan Desa dalam Jenjang Nawiasky

Pengujian Perdes adalah pintu masuk bagi hakim agung untuk menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Salah satu papan pengumuman tentang Peraturan Desa di Tongging, pinggiran Danau Toba, Sumatera Utara. Foto: MYS
Salah satu papan pengumuman tentang Peraturan Desa di Tongging, pinggiran Danau Toba, Sumatera Utara. Foto: MYS
Peraturan desa (Perdes) begitu UU No. 6 Tahun 2014 menyebutnya. Undang-Undang tentang Desa itu mengartikan Perdes dalam arti luas meliputi peraturan desa, peraturan kepala desa, dan peraturan bersama kepala desa. Dalam arti sempit, Perdes hanya peraturan yang dibahas dan disepakati bersama kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa.

Dalam ketatanegaraan Indonesia, kedudukan Perdes mengalami dinamika. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perdes dimasukkan dalam jenis dan hierarki perundang-undangan di Indonesia. Ia menjadi salah satu bagian dari Peraturan Daerah (Perda), yakni peraturan ‘yang dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya’.

Setelah lahir Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baru (UU No. 12 Tahun 2011), nama Perdes tak lagi disebut eksplisit dalam jenis dan jenjang peraturan perundang-undangan. Namun UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa ‘kembali’ menghidupkan Perdes. Desa memiliki kewenangan besar membuat Perdes, termasuk mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Sebenarnya jenis dan jenjang peraturan perundang-undangan di Indonesia terus mengalami dinamika. Dulu pada dekade 1960-an, misalnya dikenal Dekrit Presiden, dan Penetapan Presiden (Penpres). Yang bertahan adalah prinsip-prinsip perjenjangan atau hierarki peraturan. Secara teoritis, perundang-undangan Indonesia merujuk pada pandangan Hans Kelsen, dan dikembangkan oleh muridnya Hans Nawiasky. Nama kedua ilmuan Jerman itulah yang sering disebut dalam teori perundang-undangan.

Konsep jenjang norma itulah yang kemudian dianut dalam perundang-undangan Indonesia dan dipakai sebagai pisau analisis pengujian suatu perundang-undangan. Prinsip utamanya, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Undang-Undang dengan menggunakan batu uji UUD 1945 karena kedudukannya lebih tinggi.

Terkait mekanisme pengujian Perdes, UU No. 6 Tahun 2014 memberi peran kepada kepala daerah. Karena itu, mekanisme pengujian Perdes menjadi menarik untuk dikaji. Terutama untuk menjawab bagaimana kewenangan Mahkamah Agung dalam pengujian Perdes.

Sebuah tim penelitian yang dikoordinasi Arifin Marpaung, hakim tinggi yang bertugas di Balitbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung melakukan kajian tentang ‘Urgensi dan Prospek Pengaturan (Ius Constituendum) Penyelesaian Hak Uji Materiil Peraturan Desa’. Tim peneliti sudah melakukan diskusi kelompok terarah dan wawancara dengan para narasumber. Dan hasil penelitiannya kini bisa diakses publik.

Hasil penelitian
Tim meneliti menemukan ambiguitas peraturan desa di antara rezim pemerintahan daerah dan rezim pemerintahan desa. Amiguitas ini bisa dilihat dari produk perundang-undangan sebelum 2014 dan sesudah 2014, yakni setelah UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa lahir. Dengan Undang-Undang ini desa tak lagi masuk rezim pemerintahan daerah.

Kedudukan Perdes juga semakin kuat, dan pengujiannya dilakukan terhadap Undang-Undang. UU No. 6 Tahun 2014 membedakan produk legislasi desa atas (i) peraturan desa; (ii) peraturan kepala desa; dan (iii) peraturan bersama kepala desa. UU No. 10 Tahun 2004 mengggunakan stilah ‘peraturan desa’, sedangkan UU penggantinya menggunakan istilah ‘peraturan kepala desa’. Jika istilah itu dikaitkan dengan UU Desa maka peneliti mengemukakan tiga hal.

Pertama, berdasarkan penafsiran sempit terhadap ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, maka yang menjadi objek hak uji materiil (HUM) Mahkamah Agung adalah ‘peraturan kepala desa’, bukan ‘peraturan desa’. Kedua, berdasarkan penafsiran ekstensif terhadap pasal yang sama, maka objek HUM yang bisa diajukan ke Mahkamah Agung bukan hanya ‘peraturan kepala desa’, tetapi juga ‘peraturan desa’. Ketiga, jika dilakukan penafsiran sistematis, dihubungkan dengan Pasal 69 ayat (12) UU Desa maka ‘peraturan kepala desa’ dalam UU No. 12 Tahun 2011 memiliki makna  dan kualitas yang berbeda dari ‘peraturan desa’  dalam UU Desa. Dalam hal ini, peraturan terbaru mengesampingkan peraturan yang lama.

Dengan melihat pada UU Desa dan perkembangan produk hukum terakhir, terungkap bahwa pola pengawasan Perdes menggunakan kombinasi. DI satu sisi dimungkinkan pengawasan internal (executive preview atau executive review), demikian pula pengawasan eksternal. MA punya kewenangan konstitusional untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, termasuk Perdes.

Berdasarkan Pasal 31 dan 31 A UU Mahkamah Agung (UU No. 3 Tahun 2009) dan Perma tentang Hak Uji Materiil, maka pihak yang aktif melakukan pengawasan terhadap peraturan di bawah Undang-Undang adalah masyarakat yang kepentingan dirugikan dengan jalan mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung.

Pergeseran fokus pengawasan perda (termasuk perdes) dari sifat represif ke preventif, seperti yang dianut UU Desa, dengan sendirinya akan mengurangi potensi banjir perkara HUM Perdes ke Mahkamah Agung. Kalau pengawasan represif didahulukan dan orang bisa mengajukan pengujian Perdes ke MA, asumsinya MA akan kebanjiran perkara mengingat jumlah desa yang begitu banyak. Tetapi tim peneliti yakin asumsi itu tidak akan terjadi. Hingga penelitian dilakukan terbukti belum ada Perdes yang dimohonkan uji.

Kalaupun nanti MA menerima banyak permohonan, maka hal yang patut diperhatikan para hakim pengadil menurut tim peneliti adalah kekhususan dan keunikan Perdes. Dan itu, adalah pintu masuk bagi hakim untuk menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).
Tags:

Berita Terkait