Ini Penyebab Serikat Buruh Kritik Permenaker KHL
Berita

Ini Penyebab Serikat Buruh Kritik Permenaker KHL

Survei KHL ke pasar tak lagi dilakukan Dewan Pengupahan?

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Demo buruh di Jakarta. Foto: RES
Demo buruh di Jakarta. Foto: RES
Pemerintah telah menerbitkan Permenaker No. 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Peraturan yang diamanatkan Pasal 43 ayat (9) PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan itu mencabut Permenaker No. 13 Tahun 2012 kecuali pasal 2 dan Lampiran I. Regulasi itu disorot tajam serikat buruh.

Presiden Aspek Indonesia, Mirah Sumirat, melihat Permenaker itu tidak mencabut 60 komponen KHL sebagaimana tercantum dalam lampiran I Permenaker No. 13 Tahun 2012. Itu berarti 60 komponen KHL akan dijadikan dasar menghitung kenaikan upah minimum setiap tahun, ditambah inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Begitu rumus perhitungannya menurut PP Pengupahan.

Mirah mengkritik PP Pengupahan dan turunannya karena menghilangkan hak berunding antara perwakilan buruh dan pengusaha di Dewan Pengupahan. Ia memahami tak ada lagi perundingan dalam penetapan upah minimum. Padahal, UU Ketenagakerjaan mengamanatkan agar penetapan upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur dilakukan dengan memperhatikan rekomendasi Dewan Pengupahan.

Selain itu peran Dewan Pengupahan daerah dalam proses penetapan upah minimum dikebiri, diantaranya tidak bisa lagi melakukan survei KHL setiap tahun. Dalam aturan sebelumnya, Dewan Pengupahan merekomendasikan hasil survei KHL itu kepada Gubernur untuk menentukan besaran upah minimum. “Terbitnya Permenaker KHL yang baru itu menghilangkan sejumlah peran Dewan Pengupahan seperti hak berunding dan survei KHL setiap tahun,” kata anggota LKS Tripartit Nasional itu di Jakarta, Senin (01/8).

Oleh karena itu Mirah melihat peran Dewan Pengupahan ke depan hanya bersifat seremonial, terutama dalam proses penetapan upah minimum. Selain itu Mirah menolak revisi komponen KHL setiap 5 tahun sekali sebagaimana diatur dalam Permenaker KHL. Menurutnya, evaluasi itu perlu dilakukan setiap tahun.

Sekjen OPSI, Timboel Siregar, mengatakan judul Permenaker KHL itu bertentangan dengan amanat Pasal 89 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang menyebut komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian KHL diatur dengan Keputusan Menteri. Mestinya judul Permenaker KHL itu tentang komponen serta pelaksanaan tahapan 'pencapaian' KHL. Pelaksanaan tahap mencapai KHL itu harusnya diatur karena masih ada sejumlah provinsi yang upah minimumnya belum mencapai 100 persen KHL.

Timboel menduga tingkat akurasi penghitungan besaran KHL akan lemah karena acuan yang digunakan dalam menetapkan besaran upah minimum hanya inflasi nasional, bukan survei langsing di pasar lokal. “Permenaker KHL ini tidak mengakomodasi peran Dewan Pengupahan di antaranya memberikan rekomendasi upah minimum kepada Gubernur,” ujarnya.

Permenaker KHL memberi peran Dewan Pengupahan Nasional meninjau komponen dan jenis kebutuhan hidup setiap periode 5 tahun. Namun, peninjauan itu dilakukan dengan cara mengumpulkan data dan informasi yang sumbernya dari BPS. “Permenaker KHL yang baru ini mengebiri peran Dewan Pengupahan,” imbuh Timboel.

Keppres No. 107  Tahun 2004 sebenarnya sudah memberi kewenangan DPN mendapat data lain di luar BPS. Namun, ketentuan itu dieliminasi Permenaker KHL. Selain itu, kata Timboel, ada ketentuan yang diamanatkan pasal 49 PP Pengupahan tapi tidak diatur dalam Permenaker KHL yaitu proses penetapan upah minimum sektoral tingkat provinsi dan/atau kabupaten/kota. “Saya mendorong Kementerian Ketenagakerjaan meninjau ulang Permenaker KHL ini. Harus sinkron dengan ketentuan di atasnya, seperti UU Ketenagakerjaan, PP Pengupahan dan Keppres No. 107 Tahun 2004,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait