MK Rombak Status Masa Jabatan Hakim Pajak
Terbaru

MK Rombak Status Masa Jabatan Hakim Pajak

Putusan ini juga memberi pesan bahwa urusan Pengadilan Pajak diarahkan pada penyatuan satu atap di MA.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Resepsionis Pengadilan Pajak di Jakarta. Foto: RES
Resepsionis Pengadilan Pajak di Jakarta. Foto: RES
Akhirnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah atau “merombak” status masa jabatan hakim pajak termasuk pembinaan pengadilan pajak yang selama ini masih bersifat dualisme. Lewat putusannya, MK menghapus ketentuan periodeisasi masa jabatan hakim pajak dalam Pasal 8 ayat (3) UU No. 14 Tahun 2002  tentang Pengadilan Pajak. Tak hanya itu, Mahkamah menyatakan usia pensiun hakim pajak disamakan dengan hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).

Menyatakan Pasal 8 ayat (3) UU Pengadilan Pajak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menyatakan frasa ‘telah berumur 65 tahun’ dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pengadilan Pajak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai disamakan dengan usia pemberhentian dengan hormat hakim tinggi pada pengadilan tinggi tata usaha negara,” ucap Ketua Majelis MK, Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 6/PUU-XIV/2016 di Gedung MK, Kamis (04/8).

Sebelumnya, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Cabang  Pengadilan Pajak bersama Pengurus  Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSSUI) mempersoalkan Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pengadilan Pajak terkait dua periode masa jabatan dan masa pensiun hakim pajak ketika memasuki usia 65 tahun.

Pemohon uji materi menilai pasal-pasal itu melanggar prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka termasuk menghambat penegakan hukum dan keadilan bagi wajib pajak dan aparatur pajak yang dijamin Pasal 24 ayat (1), ayat (2), serta ayat (3); dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Kedua aturan itu dinilai Pemohon membatasi dan mengurangi konsentrasi hakim (pajak) dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Bagi para Pemohon konsep manajemen administrasi yang baik berarti ketua, wakil ketua, hakim pajak tidak dibatasi periodeisasi, kecuali memasuki masa pensiun, sehingga kedua pasal seharusnya dibatalkan.

Mahkamah menerangkanPenjelasan Pasal 27 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman mengariskan bahwa pengadilan pajak merupakan pengadilan khusus di bawah lingkungan PTUN, sehingga pengadilan pajak juga menjadi bagian kekuasaan kehakiman yang berpuncak di MA seperti diatur Pasal 24 UUD 1945. Selain itu, putusan pengadilan pajak berfungsi sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir atas sengketa pajak sekaligus pengadilan tingkat banding.

Namun, faktanya ada perbedaan usia pensiun antara hakim pengadilan pajak dan hakim di lingkungan peradilan lain di bawah MA. UU Pengadilan Pajak mengatur usia pensiun hakim pengadilan pajak 65 tahun. Sedangkan, UU Peradilan Umum, UU Peradilan Agama, UU PTUN menetapkan usia pensiun 67 tahun bagi hakim tinggi di lingkungan peradilan umum, agama, TUN.

Menurut Mahkamah hal ini secara nyata memberi perlakuan yang berbeda terhadap hal yang sama, sehingga secara esensi bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan prinsip kepastian hukum yang adil seperti ditentukan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. “Ketentuan pemberhentian dengan hormat hakim pengadilan pajak seharusnya disamakan dengan usia pensiun hakim tingkat banding di lingkungan PTUN,” ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams saat membacakan pertimbangan putusan.

Dengan begitu, lanjut Wahiduddin, terkait periodisasi atau masa jabatan hakim pajak agar tidak menimbulkan perbedaan sudah seharusnya juga masa jabatan hakim pengadilan pajak seperti diatur Pasal 8 ayat (3) UU Pengadilan Pajak tidak mengenal masa jabatan atau periodisasi.

Peradilan satu atap
Dalam UU Pengadilan Pajak, MA tidak bisa sepenuhnya mengatur segala hal terkait Pengadilan Pajak. MA hanya diberi kewenangan pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak. Sedangkan terkait pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan termasuk pengusulan dan pemberhentian hakim pengadilan pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan (sekarang Kementerian Keuangan).

“Menurut Mahkamah hal tersebut justru telah mengurangi kebebasan hakim pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak,” begitu pendapat Mahkamah.

Karena itu, Mahkamah mengusulkan sudah sepatutnya pengadilan pajak diarahkan pada upaya membentuk sistem peradilan mandiri atau dikenal dengan one roof system atau sistem peradilan satu atap. Hal ini demi menjaga marwah lembaga pengadilan pajak dalam upaya mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana yang berlaku di peradilan lain.

Terlebih, telah ada pengakuan bahwa Pengadilan Pajak adalah bagian dari Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga sudah seharusnya ada perlakuan yang sama untuk satu atap terhadap Pengadilan Pajak. Hal ini harus menjadi catatan penting bagi pembentuk Undang-Undang ke depannya. “Pasal 8 ayat (3) UU Pengadilan Pajak harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, sedangkan Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pengadilan Pajak harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat.”

Usai sidang, kuasa hukum Pengurus CSSUI, Tjip Ismail mengapresiasi putusan MK ini seraya berharap dapat dijalankan semua pemangku kepentingan. Sebab, nuansa UU Pengadilan Pajak tidak sejalan dengan prinsip kekuasaan kehakiman yang dijamin UUD 1945. “Kita menyambut baik putusan ini,” kata Tjip.

Menurut dia, putusan ini juga memberi pesan bahwa Pengadilan Pajak diarahkan pada penyatuan satu atap di MA. Sebab, selama ini pembinaan Pengadilan Pajak masih dualisme yakni di bawah Kementerian Keuangan dan MA. “Menurut putusan MK ini, tidak boleh lagi ada dua pembinaan, semua urusan Pengadilan Pajak harus di bawah MA atau peradilan satu atap,” ujar mantan Ketua Pengadilan Pajak ini.
Tags:

Berita Terkait