Telah Terbit! Referensi Penting untuk Tiga Istilah Hukum Perdata
Resensi

Telah Terbit! Referensi Penting untuk Tiga Istilah Hukum Perdata

Telah terbit sebuah buku baru dari penulis produktif: J. Satrio. Karya yang bermanfaat.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Buku karya J. Satrio. Foto: LETIZIA
Buku karya J. Satrio. Foto: LETIZIA
Bagi orang yang bergelut di bidang hukum, khususnya hukum perdata, tulisan-tulisan J. Satrio selalu dinanti. Puluhan karya bermutu keluar dari tangan pria yang tinggal jauh dari hiruk pikuk ibukota Jakarta itu. Karya-karyanya bernas dan  bermutu. Buku-bukunya bukan memindahkan norma suatu Undang-Undang, karena selalu ada analisis teoritis dan tautannya pada yurisprudensi.

Kini, telah terbit pula sebuah buku baru dari penulis buku-buku huku produktif itu. Judulnya “Pelepasan Hak, Pembebasan Hutang, dan Merelakan Hak (Rechtsverwerking)”. Penerbit RajaGrafindo Persada menerbitkan edisi perdana buku ini.

Seperti umumnya buku-buku lain yang sudah terbit, karya J. Satrio kali ini juga fokus pada masalah hukum perdata. Namun kontennya lebih fokus pada tiga istilah penting yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Dalam Burgerlijk Wetboek warisan Hindia Belanda itu ada istilah afstand van recht, kwijtschelding, dan rechtsverwerking. Ketiga istilah itu bahkan sering disebut dalam putusan pengadilan.

Lantas, apa sebenarnya arti ketiga istilah itu? Terjemahan resmi KUH Perdata belum ada. Selama ini ketiga istilah itu diterjemahkan berturut-turut sebagai ‘pelepasan hak’ (atau melepaskan hak), ‘pembebasan hutang’, dan ‘merelakan hak’. Konsekuensi tidak adanya terjemahan resmi, siapapun bisa membuat terjemahan yang dianggapnya baik (hal. 2).

Manakala Undang-Undang tak memberikan pengertian yang jelas dan parameter yang jelas, kita bisa berharap pada doktrin dan yurisprudensi. Begitulah J. Satrio mencoba melakukan penelusuran pada dokumen-dokumen pendukung seperti buku dan putusan pengadilan, suatu upaya yang disebut lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1961) itu ‘meraba-raba sendiri’.

Satrio menelusuri lebih dari 100 putusan pengadilan, mulai putusan Hoge Raad tahun 1902 hingga putusan Mahkamah Agung tahun 2011. Rentang waktu yang menggambarkan betapa seriusnya pengerjaan buku ini dilakukan. Hasilnya, sebuah buku setebal 144 halaman kini bisa dibaca dan dijadikan referensi penting.
Pelepasan Hak, Pembebasan Hutang dan Merelakan Hak (Rechtsverwerking)
Penulis J. Satrio
Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta
Cet-1 2016
Halaman 144 + ix

Dalam arti luas, peristiwa pelepasan hak sebenarnya meliputi pula pembebasan hutang dan sikap merelakan hak. Istilah pelepasan hak antara lain dikenal dalam hukum keluarga dan waris. Pasal 132 KUH Perdata menyebutkan hak isteri melepaskan haknya atas persatuan utang. Konsekuensinya ia tidak wajib ikut membayar utang-utang suaminya. Pasal 1063 KUH Perdata menyebut pelepasan hak dalam warisan. Di sini, melepaskan hak mengandung arti tidak mau menggunakan haknya atas warisan (hal. 7).

Jadi, dapat disimpulkan, pelepasan hak adalah suatu pernyataan bahwa yang bersangkutan membuang haknya, tidak mau menggunakannya (lagi), tidak membutuhkan lagi hak itu. Pelepasan hak, karena itu, adalah peristiwa yang sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja, ada beberapa hal yang menentukan benar tidaknya pelepasan hak. Kepatuhan misalnya (hal. 19).

Dalam buku karya J. Satrio ini kita mendapatkan detail bagaimana ketiga istilah itu digunakan, dipahami, dan dijabarkan dalam putusan-putusan pengadilan dan doktrin. Menariknya, ada banyak contoh yang disodorkan yang mungkin tak kita sadari sebagai bagian dari perbuatan melepaskan hak, membebaskan hutang atau merelakan hak.

Sekadar contoh merelakan hak adalah pembelian sebuah barang berupa mesin. Ternyata ada kerusakan pada mesin yang dibeli. Dengan kata lain, penjual diduga wanprestasi. Tetapi pembeli tetap menahan barang, menolak perbaikan oleh si penjual, dan berusaha memperbaiki sendiri kerusakan mesin. Dalam konteks ini bisa disebut bahwa si pembeli telah ‘merelakan (verwerken) haknya’ untuk menuntut perbaikan atau ganti rugi (hal. 114).
Gaya Penulisan buku ini tak berbeda jauh dari karya-karya J. Satrio sebelumnya. Kadang-kadang dimulai dengan sebuah pertanyaan, lalu penulis memberikan jawaban. Poin-poin penting dalam buku ini dituliskan dalam huruf capital, sehingga mahasiswa hukum pun lebih mudah memahami intisari yang ingin disampaikan.

Penyebutan kata ‘keputusan’ untuk putusan pengadilan tak mengurangi kualitas substansi buku ini. Sebuah karya baru yang layak dimiliki para akademisi dan praktisi hukum. ‘Sebuah literasi dan inspirasi yang bermanfaat bagi khazanah kelimuan’.
Tags:

Berita Terkait