Ini Argumentasi Pemerintah Mengenai Pembatalan Perda
Utama

Ini Argumentasi Pemerintah Mengenai Pembatalan Perda

Perda harus selaras dengan peraturan perundang-undangan yang dibuat Pemerintah Pusat.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Masalah pembatalan Perda diuji di MK. Foto: RES
Masalah pembatalan Perda diuji di MK. Foto: RES
Pemerintah mengklaim wewenang Menteri Dalam Negeri membatalkan peraturan daerah (Perda) tingkat provinsi atau kabupaten/kota bentuk pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Menurut Pemerintah, dalam kekuasaan presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, sesuai Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, meliputi fungsi pengawasan regulasi (Perda). Tujuannya agar Perda selaras dengan regulasi pemerintah pusat.

“Wewenang pembatalan Perda yang diatur UU No. 23 Tahun 2014  tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) bentuk pengawasan berjenjang oleh pemerintah pusat. Jadi, pembatalan Perda oleh Mendagri atau gubernur bukanlah tindakan sewenang-wenang,” ujar  Kepala Biro Hukum Kemendagri, W. Sigit Pudjianto saat menyampaikan pandangan pemerintah di sidang pengujian UU Pemda di ruang sidang MK, Selasa (06/9).

Abda Khair Mufti, Muhammad Hafidz, Amal Subkhan, Solihin, dan Totok Ristiyono mempersoalkan Pasal 251 ayat (1), (2), (7), (8) UU Pemda terkait wewenang Gubernur dan Mendagri membatalkan Perda sepanjang bertentangan peraturan perundang-undangan lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Sebab, faktanya kewenangan ini potensial disalahgunakan pemerintah pusat yang mengarah resentralisasi meski ada proses keberatan pembatalan perda provinsi/kabupaten ke presiden dan Mendagri.

Menurut Para Pemohon wewenang pembatalan perda ini masuk lingkup kewenangan judicial review oleh MA sesuai Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 karena termasuk hierarki peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Para Pemohon meminta Pasal 251 ayat (1), (2) UU Pemda inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai mendagri atau gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan Perda ke MA paling lambat 14 hari setelah ditetapkan. Sedangkan, Pasal 251 ayat (7), (8) UU Pemda minta dibatalkan.

Misalnya, Pasal 251 ayat (1) UU Pemda menyebutkan “Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri.” Ayat (2)-nya, menyebutkan “Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.”

Sigit mengingatkan tidak ada otonomi tanpa sistem pengawasan. Sebaliknya, pengawasan termasuk pengawasan terbitnya Perda (executive review) merupakan kendali terhadap desentralisasi yang berlebihan. “Pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah termasuk mengawasi terbitnya Perda demi keserasian penyelenggaraan pemerintah pusat dan daerah,” tegasnya.

Dengan begitu, menurutnya Pasal 251 ayat (1), (2) UU Pemda tidak bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. Sebab, wewenang judicial review MA tidak mengatur pembatasan instansi lain (eksekutif) mengawasi produk hukum daerah melalui pembatalan Perda dengan batu uji berbeda. Pengawasan Perda tidak hanya menggunakan ukuran bertentangan dengan Undang-Undang, tetapi meliputi kepentingan umum dan kesusilaan.

“Keberadaan Pasal itu juga tidak menghilangkan atau membatasi wewenang MA melakukan pengujian Perda (judicial review) yang bersifat pasif karena menunggu pengajuan kelompok masyarakat,” kata dia.

Dia mengakui wewenang pengawasan Perda oleh pemerintah (executive review) belum diatur dalam UUD 1945. Namun, justru wewenang executive review ini untuk menutupi kelemahan pengawasan Perda melalui judicial review yang bersifat pasif. “Sesuai Laporan Tahunan MA, MA hanya menerima dan memutus 10 permohonan pengujian Perda. Tentu, dari 542 daerah otonom akan sangat banyak (ribuan) Perda yang luput dari pengawasan apabila pemerintah tidak diberi wewenang pengawasan Perda,” katanya.

Saat bersamaan, Majelis MK menggelar sidang perdana pengujian beberapa pasal dalam UU Pemda dan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (MA) yang dimohonkan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK). Permohonan ini juga menyangkut konstitusionalitas wewenang Mendagri dan gubernur membatalkan Perda yang seharusnya menjadi wewenang tunggal MA melalui judicial review terhadap Perda.

Spesifik, FKHK memohon pengujian Pasal 245 ayat (1), (3); Pasal 251 ayat (1-4); 267 ayat (1), (2); Pasal 268 ayat (1); Pasal 269 ayat (1); Pasal 270 ayat (1); Pasal 271 ayat (1); Pasal 234 ayat (1), (2); Pasal 325 ayat (1), (2) UU Pemda dan Pasal 31 ayat (2) UU MA. Pasal-pasal ini menimbulkan ketidakpastian hukum akibat polemik dan problematik akademis mengenai pengawasan pemerintah pusat dan pengujian norma Perda yang selama ini dualisme. FKHK meminta tafsir MK agar kewenangan pembatalan Perda wewenang MA, sedangkan pemerintah pusat hanya sebatas preview terhadap setiap rancangan Perda.
Tags:

Berita Terkait