Sosialisasikan UU Paten, Ketua Pansus Ungkap Sempat Ada Intervensi Asing
Berita

Sosialisasikan UU Paten, Ketua Pansus Ungkap Sempat Ada Intervensi Asing

Bahkan ada yang mengancam akan menarik 300 perusahaannya dari Indonesia.

CR-20
Bacaan 2 Menit
Kantor Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Foto: SGP.
Kantor Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Foto: SGP.
Mantan Ketua Panitia Khusus RUU Paten, John Kenedy Aziz mengungkapkan bahwa pembahasan RUU Paten yang kemudian disahkan melalui UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU Paten) pada 26 Agustus 2016 sempat mendapat intervensi dari pihak asing.

John Kenedy mengungapkan ini dalam Seminar Nasional Sosialisasi UU Paten yang digelar Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkuman dan Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual (AKHKI) di Jakarta, Rabu (21/9). Acara ini dihadiri oleh para peneliti dari lembaga penelitian dan pengembangan (Litbang), akademisi dari perguruan tinggi, perwakilan perusahaan, konsultan hak kekayaan intelektual, dan aparat pemerintah.

Pada masa perumusannya, lanjut John Kenedy, banyak asosiasi dari negara lain yang ingin memasukkan kepentingannya menjadi muatan dalam UU Paten.Pada masa akhir pembahasan bahkan ada pihak yang mengancam, John Kenedy Azis bercerita, “Ada asosiasi yang tidak setuju dengan substansi UU Paten yang baru dan bahkan mengancam akan menarik 300 perusahaannya untuk angkat kaki dari Indonesia.” (Baca Juga: Disetujui Jadi UU, Ini Hal Penting yang Diatur dalam UU Paten)

Salah satu ketentuan yang tidak ada dalam UU Paten sebelumnya dan banyak ditentang ketika hendak dimasukkan ke dalam UU Paten yang baru adalah ketentuan mengenai sumber daya genetik (SDG). “Ketentuan ini banyak ditentang oleh negara-negara lain yang beranggapan dari mana pun sumber daya itu berasal, tetapi yang penting adalah siapa inventornya. Namun kami bersikeras mempertahankan ini karena ada rujukannya, yakni Nagoya Protocol yang mengatur perlindungan sumber daya genetik dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia,” ujar Direktur Jenderal KI Kemenkumham Ahmad M. Ramli.

Upaya intervensi itu pun tidak berhasil. John Kenedy menjamin bahwa UU Paten teranyar ini sudah sesuai dengan TRIPS (Perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights) dan UU Paten di negara maju. Dalam proses perumusannya, Tim Pansus RUU Paten melakukan kunjungan kerja ke Swiss dan Amerika. Ia berpandangan semakin maju sebuah negara maka semakin maju perkembangan hak patennya. Ia mencontohkan negara yang menjadi markas dari World Intellectual Property Organization (WIPO) yakni Swiss, pemasukan terbesarnya adalah berasal dari hak paten. Menurutnya, Indonesia seharusnya tidak hanya mengandalkan pemasukan negara dari sumber alam, tetapi juga seharusnya mulai menjadikan hak paten sebagai sumber pemasukan negara.

Selain ketentuan mengenai SDG yang sempat diusik oleh pihak asing, UU Paten yang baru mengandung beberapa prinsip dasar yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah hak paten di Indonesia. Salah satu ketentuan yang menjadi katalisator untuk mendongkrak paten nasional adalah perluasan objek perlindungan paten sederhana menjadi pengembangan produk dan proses. Pemaknaan dari perluasan ini adalah hak paten sederhana dapat didaftarkan tidak hanya sebatas produk, tetapi juga pengembangan proses yang telah ada, termasuk diantaranya komposisi, metode, formula, dan lain sebagainya.

Untuk menggiatkan kegiatan riset dan pengembangan di lembaga-lembaga pemerintah, terhadap penemu yang berstatus sebagai ASN/PNS (Aparatur Sipil Negara/Pegawai Negeri Sipil), UU Paten ini memungkinkan mereka untuk mendapatkan royalti atau imbalan dari paten yang didakannya. Jadi, hak paten tidak hanya diberikan kepada lembaga penelitiannya saja, tetapi juga kepada penemunya yang berstatus sebagai ASN. (Baca Juga: Ini Mekanisme Penghapusan Paten)

UU Paten juga mengatur ketentuan mengenai pelaksanaan paten yang dilakukan oleh Pemerintah dengan pertimbangan yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara dan kebutuhan yang sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat. Pelaksanaan paten oleh pemerintah tersebut dilakukan secara terbatas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan bersifat non-komerisal, yakni meliputi: senjata api, amunisi, bahan peledak militer, intersepsi, penyadapan, pengintaian, perangkat penyandian dan perangkat analisis sandi, dan proses dan/atau peralatan pertahanan dan keamanan negara lainnya. Pelaksanaan paten oleh pemerintah juga berlaku untuk obat farmasi yang harganya sangat mahal dan untuk mengobati penyakit endemik, contohnya obat untuk mengatasi virus HIV AIDS.

UU Paten yang baru juga mengatur mengenai mekanisme pengajuan keberatan terhadap hak paten yang telah dikeluarkan, maka dapat diajukan ke Komisi Banding, jadi pengajuan keberatan tidak perlu melalui penyelesaian sengketa di Pengadilan Niaga. Selain itu, UU Paten yang baru juga mengatur mengenai mekanisme penghapusan paten atas permohonan pemegang paten atas invensi yang sama atau pihak ketiga yang berkepentingan.

Lebih lanjut, John Kenedy mengatakan UU Paten teranyar ini telah menyempurnakan kelemahan dalam UU Paten sebelumnya, UU No. 14 Tahun 2001. Setidaknya ada beberapa poin yang dimasukan untuk memperbaiki kelemahan peraturan yang lama, yakni: pendaftaran permohonan paten secara elektronik, pemanfaatan paten oleh pemerintah, sumber daya genetik (SDG), invensi berupa penggunaan kedua dan selanjutnya (second use and second medical use), imbalan bagi peneliti Aparatur Sipil Negara (ASN), pemanfaatan paten oleh pemerintah, dan pengaturan sanksi pidana.

Kekurangan Ahli
Sedangkan, Dirjen KI Kemenkumham, Ahmad M. Ramli, menilai UU Paten adalah undang-undang yang paling introspektif dan mawas diri. Dirjen HAKI secara introspektif mengakui ketentuan dalam UU Paten juga membenahi keterbatasan kemampuan  lembaganya dalam memproses pengajuan hak paten. (Baca Juga: Ini Peran Strategis UU Paten di Berbagai Sektor)

“Kami menyadari bahwa Dirjen Kekayaan Intelektual kekurangan expertise (ahli) untuk melakukan pemeriksaan permohonan hak atas paten. Nantinya pemeriksaan juga akan melibatkan ahli dari luar lembaga Dirjen HAKI untuk diperbantukan dalam memeriksa pengajuan hak paten, bisa peneliti dari Perguruan Tinggi atau lembaga riset terkait,” ujarnya.

Ahmad M. Ramli juga menjelaskan bahwa urgensi lahirnya UU Paten yang baru juga karena mempertimbangkan isu aktual dalam hak paten, yakni perkembangan teknologi, kebutuhan untuk meningkatan invensi (penemuan) secara nasional, menyesuaikan regulasi paten dengan perkembangan regulasi di tingkat Internasional (seperti TRIPS, Paris Convention, dan Nagoya Protocol).
Tags:

Berita Terkait