Perhimpunan Magister Hukum ‘Gugat’ PP Warga Binaan
Berita

Perhimpunan Magister Hukum ‘Gugat’ PP Warga Binaan

Sudah resmi didaftarkan ke Mahkamah Agung.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Penyerahahan berkas permohonan HUM PMHI ke petugas Kepaniteraan TUN di Mahkamah Agung. Foto: PMHI
Penyerahahan berkas permohonan HUM PMHI ke petugas Kepaniteraan TUN di Mahkamah Agung. Foto: PMHI
Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), perkumpulan yang didirikan berdasarkan akta notaris, secara resmi mengajukan permohonan hak uji materiil (HUM) terhadap PP Warga Binaan. Yang dimaksud dengan PP Warga Binaan adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 99 Tahun 2012  tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 32 Tahun 1999  tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Lima orang pengurus dan anggota PMHI, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, mengajukan Hak Uji Materiil (HUM) atas Pasal 34A ayat (1) huruf a juncto ayat (3) dan Pasal 43A ayat (1) huruf a juncto ayat (3) PP Warga Binaan. PMHI menilai kedua pasal itu bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 1995  tentang Pemasyarakatan dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pasal 34 ayat (1) dan ayat (3) PP Warga Binaan mengatur tentang kesediaan warga binaan untuk bekerja dengan aparat penegak hukum membantu membongkar kejahatan yang dilakukannya. Rumusan senada juga ditemukan pada Pasal 43 ayat (1)  dan ayat (3) PP Warga Binaan.

Ketua Umum PMHI, M. Fadli Nasution, menjelaskan ada beberapa sebab permohonan itu diajukan. Pertama, berkaitan dengan syarat justice collaborator (JC). Kewenangan menentukan seseorang JC atau tidak sebaiknya dipegang hakim yang mengadili perkara. Jika hakim sudah memutuskan seseorang bersalah, maka ia akan menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan. Itu sudah masuk ranahnya Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM.

PMHI khawatir JC disalahgunakan untuk kepentingan yang tidak semestinya. Karena itu, syarat JC dalam PP Warga Binaan sebaiknya dihapus atau diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Selain itu, kebijakan JC tidak adil terhadap orang yang menjadi pelaku tunggal kejahatan. Jika kejahatan dilakukan beberapa orang, pelaku bisa mendapatkan peluang sebagai JC. Ironisnya, pelaku tunggal kejahatan tak mungkin mendapatkan. “Itu tidak adil dan diskriminatif,” kata Fadli.

Jika syarat mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat adalah JC, maka seorang terpidana yang tidak mendapatkan status JC mungkin berpikir tak perlu lagi berkelakuan baik, memperbaiki diri, dan menyadari kesalahan yang dia lakukan. “Itu bertentangan dengan prinsip-prinsip pemasyarakatan,” tegas Fadli.

Dalam permohonannya PMHI meminta Mahkamah Agung menyatakan PMHI punya legal standing mengajukan permohonan HUM; menerima dan mengabulkan permohonan untuk seluruhnya; dan menyatakan pasal-pasal yang dimohonkan uji bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Berkas permohonan PMHI sudah diterima langsung Direktorat Tata Usaha Negara Mahkamah Agung, pada Jum’at (30/9).
Tags:

Berita Terkait