MK Diminta “Legalkan” Penyedia Jasa Transportasi Online Perorangan
Utama

MK Diminta “Legalkan” Penyedia Jasa Transportasi Online Perorangan

Para Pemohon diminta menunggu hasil RPH terkait kelanjutan permohonan ini.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Demo sopir taksi menolak transportasi online perseorangan pada medio Maret lalu. Foto: RES
Demo sopir taksi menolak transportasi online perseorangan pada medio Maret lalu. Foto: RES
Majelis Panel Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan pengujian Pasal 139 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009  tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Pemohonnya, Aries Rinaldi, Rudi Prastowo, dan Dimas Sotya Nugraha yang mengklaim sebagai pengguna sekaligus penyedia jasa angkutan aplikasi online “GRAB” dan “UBER” secara perorangan.

Mereka merasa dirugikan akibat berlakunya Pasal 139 ayat (4) UU LLAJ karena aturan ini mengharuskan penyedia jasa angkutan umum harus berbadan hukum. Bagi para pemohon, usaha jasa transportasi online butu kepastian hukum yang adil dan sarana lapangan pekerjaan untuk mendapatkan penghidupan dan penghasilan yang layak dijamin konstitusi. (Baca: Jika Transportasi Berbasis Aplikasi Dilegalkan, Ini 5 Hal yang Wajib Diatur).

“Kami mempertajam batu uji permohonan dengan menambahkan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), selain Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab, secara harfiah Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak,” ujar Kuasa Hukum Para Pemohon, Ferdian Sutanto, dalam sidang perbaikan yang diketuai Wahiduddin Adams di ruang sidang MK, Senin (10/10).

Pasal 139 ayat (4) UU LLAJ menyebutkan, “Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Dalam permohonannya, Para Pemohon menilai Pasal 139 ayat (4) UU LLAJ seolah mengharuskan penyedia jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha atau badan hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Aturan ini lebih teknis diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek.

Jika aturan tersebut tidak ditaati termasuk dalam kualifikasi melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi hukum (tilang) atau tindakan lain yang dapat merugikan para Pemohon. Padahal, selama ini penyedia jasa tranportasi online tidak berbadan hukum. Selain itu, Para Pemohon dirugikan dengan keharusan pengemudi mengantongi SIM Umum sesuai golongan kendaraan dalam Permenhub tersebut. (Baca juga: Giliran Advokat Minta Transportasi Berbasis Aplikasi Dilegalkan).

Atas dasar itu, Para Pemohon meminta Pasal 139 ayat (4) UU LLAJ dimaknai secara inkonstitusional bersyarat dengan harapan penyedia jasa transportasi online dapat bersifat perorangan. “Dalam petitum, ada tambahan yang Mulia, Pasal 139 ayat (4) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak ditafsirkan penyedia jasa angkutan umum tidak dalam trayek dilaksanakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan/atau Badan Hukum lain serta Perorangan/Pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” harapnya.

“Baik, ini nanti apa yang sudah diperbaiki akan dilaporkan kepada Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Nantinya, hasil RPH akan disampaikan informasi kelanjutan permohonan ini kepada Saudara. Selanjutnya, Saudara tunggu saja informasinya dari Panitera ya,” kata Wahiduddin Adams sebelum menutup persidangan.
Tags:

Berita Terkait