‘Pelabuhan’ Yustinus di Dunia Perpajakan
Profil

‘Pelabuhan’ Yustinus di Dunia Perpajakan

Senang dunia tulis menulis membuatnya bercita-cita menjadi seorang wartawan. Berkat dorongan orang tua, pria asal Yogyakarta itu malah berlabuh di dunia perpajakan.

Oleh:
FITRI N. HERIANI
Bacaan 2 Menit
Yustinus Prastowo. Foto: KOLEKSI PRIBADI
Yustinus Prastowo. Foto: KOLEKSI PRIBADI
Pengalaman adalah guru terbaik. Ungkapan ini mungkin pas untuk menggambarkan keputusan Yustinus Prastowo memutuskan keluar dari Direktorat Jenderal Pajak. Belasan tahun menjadi pegawai pajak, tak membuat segalanya mudah. Tugas-tugas administrasi, penagihan, pemeriksaan, dan pengawasan di bidang perpajakan acapkali mengusik rasa keadilan Yustinus. Dan ketika rasa keadilan itu semakin terusik, ia memutuskan keluar dari profesi petugas pajak.

Tetapi ia tak benar-benar meninggalkan dunia perpajakan. Inilah tampaknya ‘pelabuhan’ tempat Yustinus menambatkan bahtera pengelanaanya. Setidaknya, hingga ia menyediakan waktu berbincang dengan hukumonline di Malang, Jawa Timur, medio Oktober 2016, di sela-sela kesibukannya.

Ketika tax amnesty atau pengampunan pajak menjadi pusat perhatian dan fokus kebijakan Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Yustinus termasuk orang yang sibuk ke sana kemari. Ia menjadi narasumber di banyak tempat untuk menjelaskan apa dan bagaimana UU Pengampunan Pajak. Ketika bertemu hukumonline di Malang, Yustinus juga sedang dalam tugas mengikuti media gathering yang diselenggarakan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan.

Yustinus dianggap menjadi salah seorang narasumber yang fasih berbicara tentang seluk belum pajak, dan bisa menyampaikannya dengan bahasa yang gampang dimengerti awam. ‘Kelebihan’ itu tak lepas dari latar belakang Yustinus. Sejak remaja ia rajin menulis, bahkan karena kebiasaan itu pula yang mendorong Yustinus bercita-cita ingin menjadi wartawan. “Cita-cita saya jadi wartawan. Saya senang menulis, saya senang jadi jurnalis,” ujarnya dalam perbincangan santai.

Apa boleh buat, keinginan itu lambat laun menghilang. Begitu lulus SMA, Yustinus justru memasuki kampus Sekolah Tinggi Akuntansi negara (STAN) di Jakarta. Ia tak menolak untuk melanjutkan sekolah ke kampus pilihan orang tuanya karena masuk akal. Ia tak perlu memikirkan banyak biaya karena pendidikannya gratis. “Karena sekolah di sana gratis,” kenang Yustinus. Tiga tahun kemudian, Yustinus menyelesaikan studi.

Tamat dari STAN, sambil bekerja, Yustinus menggenapkan jenjang strata satu (S1) di Universitas Indonesia (UI). Ia menaruh perhatian kepada sektor public policy di bidang perpajakan. Untuk mempertajam ilmunya, Yustinus kemudian melanjutkan studi pascasarjana di UI dengan mengambil bidang Administrasi dan Kebijakan Pajak. Ia juga tercatat meraih gelar magister dari Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Driyarkara, Jakarta.

Begitu lulus STAN, Yustinus bekerja di Ditjen Pajak. Selama 13 tahun ia mengabdi di sini, sebelum akhirnya memutuskan keluar. Pilihan sulit itu ternyata mendapat dukungan keluarga, terutama dari isteri tercinta.

Ia mengaku rasa keadilannya terusik. Sejak itulah ia bertekad memberikan advokasi perpajakan agar masyarakat paham. Menurutnya, yang memiliki uang banyak harus membayar pajak lebih besar untuk memberikan hak-hak orang miskin agar mereka mendapatkan distribusi yang baik. “(Keluar) Itu pilihan. Saya melihat harus ada sparing partner, harus ada pihak yang mengawasi secara konstruktif,” ungkapnya.

CITA dan Tax Amnesty
Keluar dari Ditjen Pajak, Yustinus sempat bergabung dengan beberapa organisasi masyarakat sipil. Salah satunya Perkumpulan Prakarsa. Ia juga pernah terlibat advokasi isu-isu hukum, politik, dan keuangan. Namun pada akhirnya dunia pajaklah yang nyaman dijadikan pelabuhan. Ada kebutuhan lebih besar untuk mengawal pajak. Itu sebabnya Yustinus mendirikan Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) pada 2014.

CITA adalah pengejawantahan Yustinus dalam mengkritisi public policy menyangkut pajak. CITA menjadi wadah Yustinus untuk menyuarakan keadilan pajak. Ia mengaku memilih untuk mendorong secara kritis terkait isu-isu pajak, salah satunya adalah soal pengampunan pajak.

Pria asal Yogyakarta ini adalah salah satu dari sekian orang yang mendukung program pengampunan pajak. Ia aktif dalam pembahasan rancangan UU Pengampunan Pajak di DPR saat itu. Situasi kebuntuan ekonomi, kebuntuan politik, minimnya data, sistem perpajakan Indonesia yang masih memiliki banyak kelemahan, penegakan hukum yang tidak efektif, membuat Yustinus menjadi pribadi yang lebih realistis. Pemerintah harus segera mengambil jalan keluar dengan memberikan pengampunan pajak bagi semua pihak.

Dalam pandangan Yustinus, amnesti pajak bukanlah kebijakan terbaik. Mengingat beberapa situasi tadi, amnesti pajak menjadi salah satu upaya yang paling mungkin untuk dilakukan oleh pemerintah ketika pilihan reformasi pajak belumlah tuntas. Reformasi pajak menjadi pilihan paling ideal untuk mengatasi persoalan pajak di Indonesia, tetapi hal tersebut membutuhkan waktu yang panjang karena butuh dilakukan revisi UU, perbaikan kelembagaan, dan IT.

“Dan itu (reformasi pajak), bertahun-tahun tidak pernah tuntas. Selalu ada hambatan dan kepentingan. Dengan amnesti pajak semua orang masuk dalam satu arena yang sama, baik politikus, petugas pajak, wajib pajak, siapapun itu sekarang ada dalam platform, situasi, dan tempat yang sama. Saya kira ini menjadi titik tolak untuk merancang sesuatu di masa mendatang, ya duduk bersama,” kata pria kelahiran tahun 1975 ini.

Di tengah kesibukan mengurus CITA, Yustinus masih menyempatkan diri mengajar di beberapa kampus di Jakarta. Di sinilah salah satu wadah berbagi pengetahuan tentang pajak dengan segala seluk beluknya. Jangankan orang awam, sudah duduk di bangku kuliah pun belum tentu bisa memahami pajak. Bagi Yustinus, ilmu perpajakan sebenarnya bisa dipelajari siapapun. Ilmu pajak tak boleh eksklusif. Sebagai organ yang membebankan pajak kepada warga berstatus Wajib Pajak, sudah seharusnya Pemerintah terus memberikan pemahaman melalui sosialisasi, diseminasi informasi atau cara lain.

Menjadikan pajak sebagai ilmu yang popular tak hanya di kampus tetapi juga di masyarakat adalah sebuah tantangan. Literasi tentang tanggung jawab Pemerintah sama pentingnya dengan literasi warga mengenai hak dan kewajiban mereka. Cara memulai nya pun juga sangat sederhana, misalnya memberikan pemahaman jika WP patuh membayar PBB maka mereka juga memiliki hak lebih besar untuk menuntut kepada Pemerintah Daerah jika ada jalan yang rusak, selokan mampet, penerangan tidak maksimal dan sebagainya.

“Itu saya kira cara mengedukasi yang lebih mudah tanpa perlu jatuh ke soal-soal teknis yang rumit. Saya kira tantangannya di situ, (yakni) literasi,” tutur ayah dua anak ini.

Berdasarkan pengalamannya selama ini, memahami pajak dengan mudah tak harus mengikuti kursus-kursus perpajakan. Ilmu ini bisa diperoleh melalui praktik dan interaksi. “Saya juga bukan orang yang secara khusus belajar pajak secara advance, lebih banyak emang dari praktik, pergaulan, interaksi, saya lebih otodidak,” jawabnya.

Ditanya tentang kemungkinan terjun ke dunia kepengacaraan pajak atau membuka kantor konsultan pajak, secara diplomatis Yustinus mengatakan ingin fokus pada kebijakan, bukan pada penanganan kasus.  “Saya mungkin tidak berbakat di pengacara pajak atau konsultan pajak, saya lebih senang analis karena fokusnya ke kebijakan,” ujarnya.

Dari pengalaman itulah, kini Yustinus sering berbagi ilmu perpajakan. Pengalaman memang guru paling baik bagi setiap orang.
Tags:

Berita Terkait