Pemohon Minta Perguruan Tinggi Dilibatkan dalam PKPA
Berita

Pemohon Minta Perguruan Tinggi Dilibatkan dalam PKPA

Seharusnya kurikulum PKPA dirancang dan dilaksanakan bersama perguruan tinggi ilmu hukum atau asosiasi dan organisasi profesi advokat.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Ujian advokat. Foto: NNP
Ujian advokat. Foto: NNP
Sidang uji materi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) huruf f UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait penyelenggaraan pendidikan khusus profesi advokat (PKPA) dan ujian profesi advokat (UPA) kembali digelar. Pemohonnya, Pengurus Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) Laksanto Utomo yang kini beranggotakan 198 fakultas hukum atau program studi ilmu hukum seluruh Indonesia.

Inti permohonannya, APPTHI meminta MK memutuskan agar perguruan tinggi dilibatkan dalam setiap penyelenggaraan PKPA dan UPA bersama organisasi advokat. Sebab, selama ini penyelenggaraan PKPA dan UPA hanya ‘monopoli’ organisasi advokat. “Ini semata-mata agar ada standar materi kurikulum penyelenggaraan PKPA dan UPA,” ujar kuasa hukum Pemohon, Arrisman dalam sidang perbaikan di Gedung MK, Rabu (2/11). (Baca juga: Internal AAI Berpolemik Soal Wacana PKPA Mandiri).

Pasal 2 ayat (1) UU Advokat menyebutkan “Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.” Pasal 3 ayat (1) huruf f menyebutkan “Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat.”

Arrisman mengungkapkan APPTHI meminta MK agar Pasal 2 ayat (1) UU Advokat dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana berlatar belakang pendidikan tinggi hukum setelah mengikuti PKPA yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi bekerja sama dengan organisasi profesi advokat.

Selain itu, Pasal 3 ayat (1) huruf f UU Advokat dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai lulus ujian yang diselenggarakan perguruan tinggi bekerja sama dengan organisasi profesi advokat. “Yang dimaksud ‘kerja sama’ ini untuk memberikan standar mutu pendidikan yang sama (standar) bagi para sarjana hukum yang ingin menjadi advokat,” kata dia.

Bagi APPTHI, PKPA merupakan bagian dari pendidikan formal lanjutan yang tidak terpisahkan dengan program strata satu ilmu hukum yang diselenggarakan perguruan tinggi. Karena itu, seharusnya struktur kurikulum PKPA dirancang dan dilaksanakan bersama-sama oleh perguruan tinggi ilmu hukum atau asosiasi dan organisasi profesi advokat. (Baca juga: Profesor Hukum Ini Kritik Penyelenggaraan PKPA).      

Menurutnya, penyelenggaraan pendidikan advokat adalah hak perguruan tinggi ilmu hukum seperti dijamin Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Hal ini diperkuat dengan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyebutkan melaksanakan pendidikan itu adalah universitas atau perguruan tinggi.

“Kedua pasal ini menghambat hak warga negara (calon advokat) untuk mendapatkan standar dan jaminan kualitas pendidikan yang diakui dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” tegasnya.

Apalagi, faktanya, ada beberapa organisasi advokat di Indonesia dan masing-masing organisasi memiliki cara (metode) dan standar berbeda-beda dalam proses pengangkatan advokat. Padahal, merujuk Pasal 1 angka 4 UU Advokat, Organisasi Advokat adalah sebagai organisasi profesi, bukan organisasi pendidikan. “Jadi, segala bentuk penyelenggaraan kegiatan pendidikan formal profesi ini oleh organisasi advokat telah menyimpang dari maksud pembentukan organisasi advokat itu sendiri,” tambahnya.

Ketua Majelis Panel Patrialis Akbar mengingatkan kelanjutan permohonan ini akan diputuskan dalam rapat permusyawaratan hakim. “Perbaikan permohonan ini sudah kita terima. Saudara menunggu pemberitahuan selanjutnya dari Mahkamah,” kata Patrialis sebelum menutup persidangan.
Tags:

Berita Terkait