Sultan Yogyakarta Beri Penjelasan di Sidang MK
Berita

Sultan Yogyakarta Beri Penjelasan di Sidang MK

Laki-laki atau perempuan dapat menjadi Kasultanan dan Kadipaten Paku Alam bertahta sesuai amanat Pasal 18B UUD 1945.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Sri Sultan di sidang MK. Foto: RES
Sri Sultan di sidang MK. Foto: RES
Akhirnya, Sri Sultan Hamengkubuwono X yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memberi penjelasan uji materi UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Penjelasan ini merespon permohonan uji materi Pasal 18 ayat (1) huruf m UU DIY yang terkait syarat calon gubernur DIY diwajibkan menyerahkan daftar riwayat hidup yang dipersoalkan 11 warga Yogyakarta.

Dalam keterangannya, Sri Sultan menyebut aturan syarat calon gubernur (Cagub) DIY diwajibkan menyertakan daftar riwayat hidup itu disadur dari Pasal 58 huruf n UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 58 huruf n ini menyebut calon kepala daerah menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, dan keluarga kandung, suami atau istri.

“Tetapi, kata ‘suami’ dihilangkan dan frasa ‘keluarga kandung’ berubah menjadi ‘saudara kandung’, serta menambah kata ‘anak’ ketika diadopsi dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY,” ujar Sri Sultan saat memberi pandangan sebagai Pihak Terkait di sidang pengujian UU Keistimewaan DIY yang diajukan 11 Warga Yogyakarta di Gedung MK, Kamis (17/11).

Pada sidang terdahulu, Pemerintah memang meminta secara langsung kepada Mahkamah agar penjelasan mengenai UU Keistimewaan Yogyakarta diberikan oleh Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alam. (Baca juga: Mengurai Status Hukum Tanah Kesultanan Daerah Istimewa Yogyakarta).

Selengkapnya, Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY menyebutkan “Calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat: …. (m). menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.”

Sebelumnya, 11 warga Yogyakarta yang terdiri dari aktivis perempuan, pengusaha kecil/menengah, dan Abdidalem Keraton Ngayogyakarta mempersoalkan Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY. Intinya, mereka menilai aturan ini bersifat diskriminasi terhadap kaum perempuan. Sebab, adanya kata “istri” ketika menyerahkan daftar riwayat hidup menimbulkan penafsiran seolah-olah harus laki-laki yang bisa menjadi calon gubernur dan wakil gubernur DIY. Hal ini menimbulkan tidak adanya kepastian hukum yang adil. (Baca juga: Keistimewaan Suatu Daerah Harus Keinginan Masyarakat).

Bagi Pemohon, larangan diskriminasi terhadap wanita atau perempuan telah ditegaskan dalam UU No. 7 Tahun 1984  tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Perempuan. Posisi negara seharusnya netral dan tidak terlalu jauh mencampuri proses internal Keraton tanpa menghilangkan keistimewaannya. Para Pemohon meminta Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY khususnya terhadap frasa “yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Sri Sultan menilai syarat penyerahan daftar riwayat hidup lebih tepat diterapkan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung atau tidak langsung. Sebab, dimungkinkan figur calon-calon kepala daerah memang tidak mengenal masyarakat sekitar. Namun, Penyerahan daftar riwayat hidup tidak lazim diterapkan dalam pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY.

“Kasultanan Ngayogyakarta (Sultan Hamengkubuwono) dan Adipati Paku Alam yang otomatis mengemban jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY tidak seharusnya menyerahkan daftar riwayat hidup. Soalnya, seluruh warga DIY dan DPRD DIY telah mengenal keduanya,” dalihnya.

Dia berharap khusus syarat penyerahan daftar riwayat hidup dalam pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY tidak perlu diatur dalam UU Keistimewaan DIY karena ini persoalan internal Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Sebab, Pasal 18 ayat (1) huruf m ini menimbulkan ketidakpastian hukum seolah ingin menyebut tahta Kasultanan hanya boleh diemban laki-laki atau bisa merugikan laki-laki yang belum atau tidak memiliki istri.

“Tak heran, banyak elemen masyarakat menafsirkan ini seolah-olah harus berjenis laki-laki atau harus beristri. Apakah yang bertahta harus laki-laki atau perempuan merupakan urusan internal (otonomi) tahta Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman sebagai pemegang kekuasaan penuh yang dijamin konstitusi,” lanjutnya.

Menurutnya, laki-laki atau perempuan dapat menjadi Kasultanan dan Kadipaten Paku Alam bertahta sesuai amanat Pasal 18B UUD 1945. Karena itu, dia meminta Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY dimaknai cukup menyerahkan daftar riwayat hidup saja tanpa perlu memuat frasa “riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.”

“Kalaupun mau diatur cukup menyerahkan daftar riwayat hidup saja, tidak perlu dijabarkan lebih lanjut,” tegasnya.
Tags:

Berita Terkait