3 Catatan Jokowi untuk Tingkatkan Indeks Persepsi Korupsi
Utama

3 Catatan Jokowi untuk Tingkatkan Indeks Persepsi Korupsi

IPK Indonesia masih menempati urutan ke-88.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Presiden Joko Widodo. Foto: RES
Presiden Joko Widodo. Foto: RES
Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi membuka Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK) ke-11 bertema "Reformasi Lembaga Penegak Hukum dan Pelayanan Publik yang Transparan dan Akuntabel” yang diselenggarakan di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (1/12). Di hadapan para peserta dan sejumlah pimpinan Kementerian/Lembaga, Jokowi menyampaikan beberapa catatan permasalahan  yang membuat rendahnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia.

Jokowi mengatakan, walau IPK Indonesia masih di urutan 88, fakta menunjukan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia tidak pernah berhenti. Buktinya, sudah 122 anggota DPR/DPRD, 25 menteri/kepala lembaga pemerintah, 4 duta besar, 7 komisioner, 17 gubernur, 51 bupati/walikota, 130 pejabat eselon I-III, serta 14 hakim dipenjara karena korupsi.

"Tapi, jangan diberikan tepuk tangan. Menurut saya semakin sedikit yang dipenjara, semakin berhasil mencegah dan memberantas korupsi. Sebab, pernah datang ke saya 11 congressman dari Amerika bertanya, bagaimana pemberantasan korupsi di Indonesia? Terus terang agak menekan diri saya. Saya jawab seperti tadi. Lalu, saya tanya di Amerika berapa? Tapi sekali lagi ini bukan prestasi," katanya.

Justru, menurutnya, prestasi adalah jika pelayanan publik semakin baik. Apabila pelayanan publik semakin baik, sistem pemerintahan akan semakin baik pula. Ia memberikan tiga catatan permasalahan yang harus segera dibenahi untuk memperbaiki IPK Indonesia. "Tiga hal besar ini harus diatasi bersama. Kalau bisa dikerjakan, kita akan menempati ranking yang baik," imbuhnya. (Baca Juga: Jokowi: Sistem yang Baik Cegah Korupsi)

1. Permasalahan korupsi
Melihat fakta-fakta yang terjadi di Indonesia, Jokowi sering bertanya, mengapa meski jumlah koruptor yang dipenjara banyak, yang tertangkap tangan juga banyak, tetapi korupsi dan perilaku terus terjadi dan berlanjut. "Ini artinya penegakan hukum selama ini belum sepenuhnya memberikan efek jera kepada koruptor," ujarnya.

Jokowi sepakat dengan KPK yang menekankan pentingnya penegak hukum yang berintegritas. Selain penegak hukum yang berintegritas, sangat diperlukan juga pembenahan dan perbaikan birokrasi, sehingga tercipta birokrasi yang efisien. Di samping itu, pencegahan korupsi harus komprehensif, terintegrasi, menjangkau hulu hingga hilir. Penindakan juga harus keras dan tegas.

Terkait pencegahan korupsi, Jokowi meminta Kementerian/Lembaga untuk memprioritaskan reformasi di sektor perizinan dan pelayanan publik. Sebab, kedua sektor itu berkaitan langsung dengan rakyat seperti  layanan administrasi pertanahan, kesehatan, pendidikan, dan pelabuhan. Ia juga telah meminta pembenahan besar-besaran dalam tata kelola perpajakan dan penerimaan negara, terutama di pengelolaan di sektor pangan dan sumber daya alam.

Prioritas itu diberikan pula pada peningkatan transparansi dana hibah, bantuan sosial, pengadaan barang dan jasa karena sektor tersebut rawan korupsi. Jokowi menyatakan dirinya audah memerintahkan agar dana hibah dan bantuan sosial tidak lagi disalurkan secara tunai, tetapi harus melalui sistem perbankan. (Baca Juga: Pungli Perburuk Indeks Persepsi Korupsi Indonesia)

2. Permasalahan inefisiensi birokrasi
Dalam hal ini, Jokowi mengaku pemerintah terus melakukan dergulasi, serta mendorong perbaikan mekanisme dan penyederhanaan birokrasi, termasuk penyederhanaan rezim Surat Pertanggungjawaban (SPJ) Kementerian/Lembaga. Khusus SPJ di tahun 2017, ia sudah memerintahkan Menteri Keuangan untuk menyederhanakan SPJ, melakukan pengawasan dan kontrol terhadap lembur-lembur pegawai pemerintahan.

Pasalnya, Jokowi mendapati lembur-lembur pegawai pemerintah justru digunakan untuk membuat SPJ. Misalnya, PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan). PPL yang seharusnya lalu lalang di sawah untuk melakukan penyuluhan, malah menghabiskan energi untuk mengurus SPJ. SPJ dibuat bertumpuk-tumpuk, bahkan ada yang sampai rangkap 44.

"Guru, kepala sekolah juga sama. Saya lihat lembur katanya untuk menyiapkan kegiatan program belajar mengajar. (Nyatanya) Tidak. Tapi, mengurusi SPJ. Di kantor-kantor lain sama, lembur malam-malam, mengurusi SPJ. Saya tidak tahu laporan seperti itu dibaca atau tidak. Untuk apa? Yang paling penting bagaimana mudah mengontrol, mengecek, bukan laporannya yang diperbanyak. Membingungkan!," tuturnya.

3. Permasalahan ketertinggalan infrastruktur
Untuk pengadaan barang dan jasa, Jokowi telah memerintahkan setiap Kementerian/Lembaga mengoptimalkan pemanfaatan e-procurement, e-catalog, dan e-audit.  Namun, di satu sisi, ia mengakui jika sistem berbasis teknologi informasi (TI) bukan satu-satunya jawaban.

Sebab, meski sudah berbasis TI, masih juga terjadi operasi tangkap tangan oknum pelaku pungutan liar (pungli) di Kementerian Perhubungan. "Memang dengan TI, tapi sistemnya di-off-kan karena tidak ada pengawasan. Jadi, pengawasan harus terus-menerus baru berjalan," terangnya.

Hingga kini, sudah 10 ribu aduan terkait pungli yang ditindaklanjuti Tim Satuan Tugas Pemberantasan Pungutan Liar. Jokowi melihat, masih banyak aparat yang berani melakukan pungli di saat pemerintah ingin berbenah. Ia mendukung penegakan hukum yang dilakukan KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan untuk memberantas korupsi. Tentu, Kepolisian dan Kejaksaan juga harus melakukan reformasi internal agar menghasilkan penegak hukum yang profesional.

Sementara, Ketua KPK Agus Rahardjo menilai, rendahnya IPK Indonesia mengindikasikan lemahnya integritas. Hal itu tidak lepas dari warisan masa lampau. Walau begitu, ia meminta agar masyarakat tetap semangat memperbaiki keadaan dengan mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Beberapa yang menjadi sorotan, antara lain reformasi birokrasi, tumpang tindih kelembagaan, dan belanja pegawai yang cukup tinggi. (Baca Juga: KPK: Praktik Pungli Karena Lemahnya Pengawasan)

Selain itu, Agus menyoroti pula integritas aparat penegak hukum. Ke depan, KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan akan mengintensifkan koordinasi ketiga lembaga untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga lembaga penegak hukum ini juga akan meresmikan sistem SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) online agar dapat memonitor penindakan korupsi supaya lebih baik lagi.
Tags:

Berita Terkait