Khittah Jabatan Hakim
Kolom:

Khittah Jabatan Hakim

Pejabat negara itu sama sekali tidak ditentukan oleh periodesasi masa jabatannya, atau fasilitas apa yang didapatkannya, tapi pada fungsi kenegaraannya.

Bacaan 2 Menit
(Wahyu Sudradjat -kiri- & Abdul Halim -kanan-) Foto: Istimewa
(Wahyu Sudradjat -kiri- & Abdul Halim -kanan-) Foto: Istimewa
Dalam sebuah seminar yang digagas fraksi PPP tentang RUU Jabatan Hakim di DPR RI pada Oktober 2016 yang lalu, ada pernyataan menarik dari dua narasumber untuk dicermati lebih dalam, yaitu dari Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) dan Direktur Harmonisasi Undang-Undang Kementerian Hukum & HAM  yang menyatakan bahwa perubahan status hakim dari PNS ke Pejabat Negara itu mempunyai implikasi logis yang harus dipikirkan  secara matang.

KY berpendapat, sebagai pejabat negara, jabatan hakim harus memiliki masa periode terbatas, seperti halnya pejabat negara lainnya (presiden, anggota parlemen, para menteri, dll) yang setidaknya dibatasi masa periodesasi lima tahunan. Oleh karena itu pula proses rekrutmennya dilakukan secara seleksi.

Kemudian dalam kesempatan yang sama, Pemerintah menyampaikan kehawatiran, yang juga sebenarnya menjadi inti kehawatiran banyak pihak, yaitu jika 8000-an hakim se-Indonesia menjadi pejabat negara maka mereka akan mendapatkan fasilitas seperti pejabat negara pada umumnya, dan kemudian pertanyaan retoriknya, mampukah negara memenuhinya?

Pernyataan dari dua narasumber yang mewakili institusi yang otoritatif dan sangat terkait dengan RUU Jabatan Hakim ini menarik untuk ditelisik lebih jauh. Tulisan ini akan berangkat dari dua isu yang muncul dari uraian di atas, apakah status hakim sebagai pejabat negara mengharuskan adanya periodesasi masa jabatan? dan haruskah status hakim sebagai pejabat negara digantungkan kepada kemampuan keuangan negara?

Kewenangan Atributif
Bagir Manan dalam Teori dan Politik Konstitusi mengkategorikan 3 (tiga) jenis lembaga negara yang dilihat berdasarkan fungsinya, yakni: 1. Lembaga Negara yang menjalankan fungsi negara secara langsung atau bertindak untuk dan atas nama negara, seperti Lembaga Kepresidenan, DPR, dan Lembaga Kekuasaan Kehakiman. Lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi ini disebut alat kelengkapan negara.

2. Lembaga Negara yang menjalankan fungsi administrasi negara dan tidak bertindak untuk dan atas nama negara. Artinya, lembaga ini hanya menjalankan tugas administratif yang tidak bersifat ketatanegaraan. Lembaga yang menjalankan fungsi ini disebut sebagai lembaga administratif.

3.Lembaga Negara penunjang atau badan penunjang yang berfungsi untuk menunjang fungsi alat kelengkapan negara. Lembaga ini disebut sebagai auxiliary organ/agency. Dari pengertian kategori pertama di atas, maka ketiga lembaga negara yang menjalankan fungsi negara secara langsung atau bertindak untuk dan atas nama negara adalah lembaga yang mewakili konsep trias politica tradisional yang pejabatnya masing-masing adalah presiden, anggota parlemen dan para hakim.

Formula Pasal 122 UU No5/2014 tentang ASN, menyebutkan Pejabat Negara yaitu:1. Presiden dan Wakil Presiden;2. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;3. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat;4. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah;5. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;6. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi;7. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;8. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;9. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;10. Menteri dan jabatan setingkat menteri;11. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;12. Gubernur dan wakil gubernur;13. Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan14. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.

Rumusan Pasal ini jelas memprioritaskan pejabat cabang utama kekuasaan dalam trias politika tradisional sebagai pejabat negara yang mendapat mandat dari negara “secara langsung” atau bertindak untuk dan atas nama negara. Sehingga statusnya sebagai pejabat negara ada di posisi atas secara numeratif.

Mengenai jabatan hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasca amandemen menentukan bahwa 1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Dari bunyi konstitusi di atas dapat dipahami bahwa konstitusi memberikan mandat kekuasaan kehakiman tidak hanya kepada kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi tetapi juga kepada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Artinya meskipun badan peradilan itu keberadaannya di bawah Mahkamah Agung tetapi kekuasaan yang dimilikinya bukan kekuasaan yang bersifat delegatif dari Mahkamah Agung melainkan langsung dari UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Kekuasaan yang dimiliki badan peradilan di bawah Mahkamah Agung berbeda dengan kekuasaan Mahkamah Agung dan hal itu berkonsekuensi logis pada tidak dapatnya Mahkamah Agung mengambil alih kewenangan itu sekalipun badan peradilan itu berada di bawahnya.

Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) menyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang undang. Bunyi pasal yang demikian sejalan dengan apa yang pernah disampaikan Koesnoe dalam Kedudukan dan Tugas Hakim Menurut Undang-Undang Dasar 1945 bahwa badan peradilan setinggi apapun hanyalah badan yang abstrak dan baru akan menjelma menjadi nyata ketika kekuasaan yang diembannya dilakukan oleh para hakim. Oleh sebab itu Koesnoe menyatakan in konkreto­-nya kekuasaan kekuasaan kehakiman itu ada dalam diri hakim dan karenanya pula para hakim disebut sebagai pelaku nyata kekuasaan kehakiman.

Mengingat Mahkamah Agung maupun badan peradilan di bawahnya mendapat kekuasaan dari konstitusi maka dapat diartikan kekuasaan seorang hakim sebagai pelaku nyata kekuasaan kehakiman pun bersumber langsung dari konstitusi atau yang biasa disebut sebagai kekuasaan yang bersifat atribusi dan bukan dari kekuasaan delegasi dari pimpinan badan peradilan.

Hakim dan Kekuasaan Negara
Konstitusi adalah wujud kehendak rakyat maka kekuasaan seorang hakim adalah turun langsung dari kedaulatan rakyat, namun demikian yang membuat hakim menjadi jabatan unik adalah meskipun kekuasaan hakim bersumber dari kedaulatan rakyat, hakim tidak langsung bertanggung jawab kepada rakyat melainkan langsung bertanggung jawab pada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini tercermin dari kewajiban seorang hakim dalam setiap memutus perkara untuk memutus demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Selain keunikan tersebut, menurut Jimly Asshidiqie, jika pejabat negara merupakan “political appointe” dan pejabat negeri merupakan “administrative appointe” sehingga pada umumnya para pejabat negara dipilih karena pertimbangan yang bersifat politik sedangkan pejabat negeri dipilih karena alasan administratif maka tidak demikian dengan hakim. Para hakim sebagai pejabat negara tidak boleh dipilih langsung oleh rakyat, karena hal itu akan menyebabkan proses pengangkatan dan pemberhentian mereka sebagai hakim akan diliputi oleh warna politik yang tidak sesuai dengan watak dan cara kerja profesional hakim sebagai penentu keadilan. Prinsip keadilan tidak mengutamakan kuantitas suara orang banyak, sedangkan kedaulatan rakyat mengutamakan kuantitas orang banyak.

Dalam ranah kekuasaan kehakiman, fungsi kenegaraan yang dilakukan para hakim bersifat kasuistik. Jika parlemen membuat hukum yang berlaku untuk setiap warga negara agar terciptanya ketertiban dan kepastian hukum, maka tugas hakim adalah menyelesaikan chaos yang terjadi terhadap hukum tersebut secara kasus per kasus agar ketertiban umum bisa pulih kembali. Itulah mengapa jumlah hakim mencapai 8000-an orang, karena ada ratusan ribu perkara yang harus diselesaikan setiap tahunnya.

Dalam sejarah peradaban manusia, pernah terkenal ucapan raja Louis XIV dari Perancis yang berkata: “l'état, c'est moi”– Negara adalah aku. Ucapan tersebut adalah sebuah ilustrasi bahwa Negara merupakan sesuatu yang abstrak, karena ia adalah suatu gagasan tentang suatu konsep kekuasaan sehingga Negara hanya menjelma menjadi nyata dalam diri para pejabatnya ketika kekuasaan negara itu dilakukan oleh mereka. Meskipun stereotype terhadap ungkapan seperti itu terkesan berbau absolutisme, namun sebenarnya kekuasan seorang pejabat negara saat ini tidak seabsolut itu karena ada hukum dan norma kepatutan yang membatasi.

Masa Jabatan
Agar tidak terjebak pada definisi pejabat negara dan karakteristik profesional hakim yang unik, perlu dipahami bahwa pada asasnya, setiap pejabat negara pun memiliki karakteristik yang unik pula dan berbeda antara pejabat negara yang satu dengan yang lain. Jika dicermati dengan seksama meskipun sama-sama dipilih langsung tetapi pola pemilihan dan syarat-syarat  untuk menjadi Presiden berbeda dengan anggota parlemen. Demikian juga meskipun Menteri adalah pejabat negara tetapi tata cara perolehan jabatnnya berbeda dengan anggota parlemen.

Sama halnya pula hakim pada Mahkamah Konstitusi pun sebagai pejabat negara berbeda cara penunjukannnya dengan penunjukan Menteri oleh Presiden dst. Apakah dengan demikian harus dikatakan Presiden, Menteri, Anggota Parlemen itu adalah pejabat negara tertentu. Tentu tidak demikian bukan? Mengelompokkan hakim sebagai pejabat negara tertentu yang kemudian berimplikasi kepada pembenaran jabatan hakim dikelola dengan sistem kepegawaian negeri sipil, hanya karena masa jabatannya berlangsung lama dan tidak bersifat periodik adalah suatu hal yang salah kaprah dan menyesatkan.

Hal ini pernah terjadi di masa lalu. Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (UU PPK) menyimpan anomali dan menjadikan status hakim sebagai pejabat negara menjadi kabur. Pasal 11 ayat (3) UU PPK, disebutkan bahwa pegawai negeri yang menjadi pejabat negara tertentu tidak perlu diberhentikan dari jabatan organiknya.

Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pejabat negara tertentu antara lain adalah Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda MA, Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada semua badan peradilan, atau dengan kata lain seluruh hakim disemua tingkatan. Ketentuan ini pada akhirnya memunculkan hakim berstatus ganda karena ketika calon hakim yang berstatus PNS diangkat sebagai hakim, maka status PNS-nya tidak lepas. Ia adalah pejabat negara tertentu yaitu pejabat negara yang PNS.

Struktur profesi hukum dan sumber dari mana para hakim itu direkrut, berbeda di setiap negara. Di satu negara rekrutmen hakim berdasarkan sistem karier sedangkan di daerah lain hakim-hakim direkrut dari para praktisi hukum. Masa jabatannya ada yang periodik namun ada juga yang panjang, bahkan seumur hidup. Oleh karenanya pilihan tersebut bisa diterima, namun yang terpenting jaminan perlindungan harus digunakan untuk memastikan pengangkatan hakim yang layak.

Meskipun demikian masa jabatan yang panjang lebih direkomendasikan ketimbang masa jabatan yang periodik. Seperti ditegaskan beberapa artikel dalam Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary, 1995:

Art.18. Judges must have security of tenure.
Art.19. It is recognised that, in some countries, the tenure of judges is subject to confirmation from time to time by vote of the people or other formal procedures.
Art.20. However, it is recommended that all judges exercising the same jurisdiction be appointed for a period to expire upon the attainment of a particular age.
Art.21. A judge’s tenure must not be altered to the disadvantage of the judge during his or her term of office.

New Delhi Code of Minimum Standards of Judicial Independence (1982) juga menggariskan ketentuan yang serupa bahwa pengangkatan hakim sebaiknya untuk masa yang panjang dan hanya tunduk pada ketentuan batasan umur pensiun menurut undang-undang ketika hakim tersebut diangkat, pengurangan usia pensiun tidak bisa dilakukan ketika hakim tersebut sedang menjabat. hal ini bisa dilihat dari ketentuan yang digambarkan dalam artikel berikut: 

Art. 22. (a) Judicial appointments should generally be for life, subject to removal for cause and compulsory retirement, at an age fixed by law at the date of appointment. (b) Retirement age shall not be reduced for existing judges.

Oleh sebab itu lebih penting memikirkan proses rekrutmen hakim ketimbang mengubah masa jabatannya secara periodik agar kompetensi yang terbukti dan integritas yang teruji menjadi dasar keterpilihannya. Sistem harus mendesain mekanisme agar proses rekrutmen benar-benar akuntabel nir hal-hal yang tidak patut sehingga hakim-hakim yang diperoleh adalah betul-betul sosok yang independen dan imparsial.

Kemampuan Keuangan Negara
Banyaknya jumlah hakim menimbulkan suatu hitung-hitungan anggaran yang cukup besar. Hal ini karena berangkat dari asumsi bahwa setiap pejabat negara mempunyai hak atas fasilitas yang sama. Persepsi yang demikian pada akhirnya berakibat pada pilihan mendegradasi status jabatan hakim dari pejabat negara menjadi pejabat negeri, agar negara terhindar dari kewajiban untuk memenuhi hak-hak hakim sebagai pejabat negara.

Kenapa harus berfikir, ketika semua hakim adalah pejabat negara, maka ia harus diberikan fasilitas dan protokol layaknya pejabat negara seperti menteri. Status pejabat negara tidak sepatutnya selalu dihubungkan dengan fasilitas yang diperoleh dari jabatan itu. Yang perlu ditegaskan di sini adalah karakteristik jabatannya seperti yang diungkapkan Suparman Marzuki (Ketua KY 2013-2016) bahwa hakim secara sendiri-sendiri membuat keputusan dan menjatuhkan sanksi atas nama negara. Hakim diberi kewenangan atas nama negara untuk membebani warga negara dengan hak dan kewajiban yang dapat dipaksakan daya ikatnya.

Hal itu berbeda dengan pegawai negeri yang tidak diberi kewenangan semacam itu kecuali atas perintah pejabat negara yang menjadi atasannya. Oleh karena itu, mendegradasi jabatan hakim dari pejabat negara menjadi pejabat negeri atas dasar konsekuensi fasilitas merupakan kekeliruan yang menyesatkan.

Ketika zaman orde lama dan orde baru degradasi status hakim dilakukan karena alasan kontrol kekuasaan, pasca reformasi, degradasi status hakim terjadi lebih dominan karena alasan anggaran. Misalnya, meskipun UU PKK telah secara tegas menyebutkan bahwa hakim adalah Pejabat Negara, akan tetapi kemudian Pemerintah mengeluarkan PP No. 41 Tahun 2002 tentang Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim yang didalamnya status tersebut disimpangi kembali dengan menyatakan bahwa hakim adalah PNS dengan jabatan tertentu. Untuk ke depannya kesalahan seperti ini tidak boleh terulang lagi. Degradasi status jabatan ini akan berimplikasi serius terhadap profil dan mental hakim yang lebih berkarakter loyal kepada birokrasi ketimbang hakim negarawan yang loyal terhadap hukum dan keadilan.

Keseriusan negara ditantang dalam hal ini. hakim-hakim tentu tidak naif untuk menuntut mendapatkan fasilitas yang mewah dan protokoler yang berlebihan, cukup kebutuhan mendasar yang menjamin dirinya untuk melakukan tugas dari jabatan yang serius ini sebaik mungkin. Rasionalisasi juga bisa dilakukan dengan pembedaan fasilitas antara hakim agung, hakim tinggi dan hakim tingkat pertama, dan karena watak masa kerjanya berlangsung lama, pembedaan gaji berdasarkan masa kerja bisa diterima.

Jadi, menjawab pernyataan para narasumber di atas, dan pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan yang sama maka perlu ditegaskan bahwa pejabat negara itu sama sekali tidak ditentukan oleh periodesasi masa jabatannya, atau fasilitas apa yang didapatkannya, tapi pada fungsi kenegaraannya. Diskursus tentang RUU jabatan hakim ini bukan tentang menaikkan status hakim, tapi “hanya” mengembalikan status hakim pada khittah-nya.

*) Wahyu Sudrajat (Hakim PN Magelang) & Abdul Halim Borne (Hakim PA Kota Madiun)
Tags: