Memahami Kembali Delik Formil Pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor
Berita

Memahami Kembali Delik Formil Pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor

Pasca UU Tipikor diberlakukan, terdapat berbagai masalah hukum khususnya mengenai penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3.

Oleh:
M DANI PRATAMA HUZAINI
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima permohonan pengujian undang-undang (judicial review) terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 UUNo. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UUNo. 20 Tahun 2001, melalui Putusan No. 25/PUU-XIV/2016. Dalam putusan itu,MKmenyatakan bahwa frase “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 bertentangan dengan UUD1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

“Kemudian menjadi permasalahan hukum apakah adanya Putusan MKNo. 25/PUUXIV/ 2016 akan menjadi solusi atas permasalahan penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang ada ataukah sebaliknya akan menimbulkan permasalahan hukum baru?,” terang pengajar ilmuhukum pada Universitas Bina Nusantara, Vidya Prahassacitta, dalam acara diskusi Membongkar Putusan MK Tentang Pasal 2 dan3 UU Tipikor, beberapa waktu lalu di STIH Jentera, Jakarta.

Menurut Vidya, secara historis, ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor ditujukan kepada subjek yang merupakan seorang pegawai negeri atau pejabat publik yang memiliki kekuasaan, meskipun dalam UU Tipikor dan perubahannya, tidak secara tegas menyatakan demikian.(Baca Juga: Ini Kelemahan Putusan MK Terkait UU Tipikor)

Hal ini sebagaimana diungkapkan Oemar SenoAdji, saat menjadi wakil Pemerintah dalam pembahasan dengan DPRyangmenyatakan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf a dan b UU No. 3 Tahun 1971 harus ditujukan kepada pengawai negeri sipil atau kedudukan istimewa yang dimiliki seseorang di dalam jabatan publik sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 1 UU No. 3 Tahun 1971.

Secara historis ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor berasal dari norma hukum yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan huruf b UU No. 3 Tahun 1971 yang kemudian diadposi kedalam UU Tipikor dengan melakukan sedikit perubahan pada beberapa frase.

Menurut Vidya, Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor memiliki tiga unsur,yaitu (a) memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; (b) melawan hukum; (c) dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Perbuatan yang dilarang dalam pasal tersebut adalah perbuatan yang memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi dengan menggunakan sarana melawan hukum tanpa perlu dibuktikan apakah dari perbuatannya tersebut timbul kerugian keuangan atau benar-benar merugikan perekonomian negara. (Baca Juga : Begini Alasan MK Ubah Delik Tipikor)

Pasal tersebut merupakan delik formil (formeel delict)karena perbuatan yang hendak dipidana adalah manifestasi dari perbuatan seorang pegawai negeri atau kedudukan seorang pejabat publik yang secara tidak patut menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan segala akibat hukumnya.

Sementara pada Pasal 3 UU Tipikor juga memiliki tiga unsur yaitu (a) dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi; (b) menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; (c) dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Dari rumusan deliknya, Pasal ini ditujukan kepada pegawai negeri atau pejabat publik yang memiliki kewenangan tertentu. (Baca Juga: KPK Anggap Putusan Delik Tipikor Persulit Pemberantasan Korupsi)

Menurut Vidya, Hal tersebut dapat ditasfirkan dari adanya unsur “menyalahgunakan kewenangan” yang dimana frase tersebut secara inherent selalu menggandung sifat melawan hukum. Selain itu dalam Penjelasan Pasal 1 ayat (1) huruf b UU No. 3 Tahun 1971 yang mengkaitkan unsur menyalahgunakan kewenangan dengan ketentuan Pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP), yang juga hanya berlaku bagi pegawai negeri.

Dalam Pasal ini harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa pegawai negeri atau pejabat publik tersebut memiliki kewenangan untuk kemudian dibuktikan bahwa ada kewenangan yang diselewengkan sebagai sarana dan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Sama halnya dengan rumusan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, perumusan tindak pidana korupsi pada Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 juga dirumuskan secara formil (formeel delict).

Vidya menegaskan, dalam penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tersebut harus dipertimbangkan adanya kesengajaan dan kausalitas antara subjek tindak pidana, unsur melawan hukum, dan unsur mempekaya diri sendiri atau orang lain. Harus ada hubungan kausalitas yang nyata bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seorang pegawai negeri atau pejabat publik yang dilakukan dengan sarana melawan hukum atau menyalahgunakan kewenanagan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan tersebut mengakibatkanpegawai negeri atau pejabat publik atau orang lain yang terkait tersebut memperoleh kekayaan yang tidak wajar. Jika tidak bisa dibuktikan maka perbuatan tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.

Dalam Penerapan

Pasca UU Tipikor diberlakukan, terdapat berbagai masalah hukum khususnya mengenai penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3. Beberapa permasalahan tersebut sebagai berikut:

1.    Penerapan Subjek Tindak Pidana

Dalam praktiknya,Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor diterapkan kepada subjek tindak pidana korupsi dari pihak non pegawai negeri atau pihak swasta, sedangkan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 diterapkan kepada subjek tindak pidana korupsi dari pihak pegawai negeri atau pejabat umum. Seperti dalam Putusan Mahkamah Agung No.334 K/Pid.Sus/2009, dimana Majelis Kasasi membatalkan putusan Pengadilan Negeri Baturaja No. 146/Pid.B/2007/ PN.BTA yang menyatakan terdakwa terbukti bersalah telah memenuhi dakwaan primair Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Ayat (2) (3) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah UU No. 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, untuk kemudian mengadili sendiri dengan menyatakan bahwa terdakwa terbukti telah memenuhi dakwaan subsidair Pasal 3 Jo Pasal 18 Ayat (1) (2) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah UU No. 20 Tahun 2001.

2.    Penerapan Unsur Melawan Hukum

Permasalahan terkait dengan penerapan unsur melawan hukum pada Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 terletak pada permasalahan apakah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku dapat dikualifikasikan sebagai unsur melawan hukum dalam pengertian hukum pidana. Pengertian melawan hukum “wederrechtelijk“ dalam hukum pidana sering dicampuradukan dengan pengertian pengertian melawan hukum “onrechmatigedaad” dalam hukum perdata. Akibatnya,perbuatan dipandang tercela dalam masyarakat yang seharusnya masih dalam area hukum perdata kemudian dikualifikasikan sebagai melawan hukum dalam hukum pidana. Contohnya dalam Putusan MANo. 936K/Pid.Sus/2009 dan Putusan Mahkamah Agung No. 417 K/Pid.Sus/2014.

3.    Penerapan Unsur Memperkaya Diri Sendiri atau Orang Lain atau Badan

Akibat dari perumusan pasal yang luas tersebut perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan menggunakan sarana melawan hukum mengakibatkan banyak perbuatan yang sesungguhnya tidak masuk dalam kualifikasi tindak pidana korupsi dapat dimasukan dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999. Salah satunya dalam Putusan MANo. 787 K/PID. Sus/2014.

Selain itu, dalam unsur memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi secara tersirat terdapat unsur kesalahan. Akibatnya,ketika pentutut umum atau hakim membuktikan unsur ini harus dapat dibuktikan bahwa adanya niat jahat dari dari seorang pegawai negeri atau pejabat umum yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi tersebut. Akan tetapi hal tersebut tidak dibuktikan sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung No. 417 K/Pid.Sus/2014, Majelis Hakim Kasasi tidak membuktikan apakah perbuatan terdakwa Hotasi D.P Nababan yang memperkaya orang lain atau korporasi yang dilakukan secara melawan hukum tersebut dilakukan dengan keinsyafan untuk memperkaya orang lain atau badan.

4.    Penerapan Unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Dalam praktik terdapat, adadua permasalahan yang timbul dari penerapan unsur ini. Pertama,mengenai definisi dari keuangan negara atau perekonomian negara yang tidak jelas. Kedua,mengenai perhitungan dan pembuktian dari kerugian keuangan negara atau perekonomian negara yang tidak ada standartnya.

Penjelasan umum UU No. 31 Tahun 1999 telah memberikan definisi yang panjang mengenai keuangan negara dan perekonomian negara. Terkait dengan pengertian keuangan negara yang berada dalam Penguasaan BUMN, masih terdapat silang pendapat apakah termasuk dalam cakupan keuangan negara dalam kaitannya dengan
aspek hukum keuangan negara.

Terkait dengan permasalahan pembuktian kerugian negara maka mencakup siapa yang berwenang untuk menerbitkan laporan mengenai kerugian negara tersebut. Sebelum adanya Putusan MkNo. 31/PUU-X/2012, perhitungan kerugian negara saat ini menjadi kewenangan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai auditor negara. Permasalahannya tidak ada standart mengenai bentuk audit dan bagaimana perhitungan kerugian negara tersebut yang dapat di dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi.

Untuk lebih jelas permasalahan terkait penerapan pasal 2 dan 3 UU Tipikor dapat dilihat dari putusan-putusan Mahkamah Agung sebagai berikut:
PutusanTerdakwaPerkara
Mahkamah Agung No. 334 K/Pid.Sus/2009John Darwin Bin H. Malison,Menyalahgunakan kewenangan sebagai Kepala
Bagian Keuangan Sekretariat Daerah Kabupaten OKU Selatan yang merugikan negara sebesar Rp. 743.649.816,-
Mahkamah Agung No. 936K/Pid.Sus/2009ST. WidagdoST. Widagdo merupakan Direkur Utama PT Giri Jaladhi Wahan (PT GJW) yang melakukan penandatangan perjanjian kerja sama pembangunan dan pengelolaan Pasar SentraAntasari dengan Pemerintah Kota Banjarmasinyang kemudian diselewengkan dalampelaksanaannya sehingga mengakibatkan
Pemerintahan kota Banjarmasin kehilangan pendapatan uang hasil dari pengelolaan Pasar Sentra Antasari sebesar Rp.7.650.143.645,-
Mahkamah Agung No. 97
PK/Pid.Sus/2012
Sudjiono TimanSudjiono Timan selaku Direktur Utama PT
(Persero) Bahana Pembinaan Usaha Indonesia
(PT BPUI) memberikan pinjaman kredit dan perjanjian kerjasama dengan Kredit Asia Finance
Limited, Festival Company Inc maupun Penta Investment Ltd yang merugikan keuangan negara sebesar USD 178,942,801,93 dan
Rp.369.446.905.115,56.
Mahkamah Agung No. 417
K/Pid.Sus/2014
Hotasi D.P. NababanHotasi D.P. Nababan selaku mantan Direktur Utama PT (Persero) Merpati Nusantara Airlines (PT MNA) melakukan tindak pidana korupsi karena melakukan tindakan penyewaan pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 yang
menimbulkan kerugian pada keuangan negara sebesar USD 1 juta.
Mahkamah Agung No. 787
K/PID. Sus/2014
Indar Atmanto selaku
Direktur Utama PT
Indosat Mega Media
(PT IM2)
Melakukan tindak pidana korupsi karena menyelewengan perjanjian kerja sama antara PT
IM2 dengan PT Indosat, Tbk (PT I) untuk mempergunakan frekuensi 3G milik PT I sehingga pelayanan akses internet PT IM2 dapat lebih cepat, bergerak, dan mencapai segmen pengguna residensial yang merugikan keuangan negara sebesar Rp1.358.343.346.674,-
Sumber: Makalah Vidya Prahassacitta
Tags:

Berita Terkait