KPK Anggap Putusan Delik Tipikor Persulit Pemberantasan Korupsi
Berita

KPK Anggap Putusan Delik Tipikor Persulit Pemberantasan Korupsi

Yang paling perlu diwaspadai adalah gelombang upaya hukum untuk kasus-kasus yang sedang berjalan dengan dalih Putusan MK.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Kantor KPK. Foto : SGP
Kantor KPK. Foto : SGP
Melalui putusan No. 25/PUU-XIV/2016 yang dibacakan Rabu (25/1) kemarin, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus kata “dapat” dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor).

Menanggapi putusan tersebut, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif mengaku kaget. “Ini mengagetkan kami, lima hakim MK memutuskan seperti itu. Dan, KPK, Polisi, Jaksa tidak dimintai pandangan dalam keputusan ini. Putusan ini akan menyulitkan pemberantasan tindak pidana korupsi,” kata saat dikonfirmasi, Kamis (26/1). (Baca Juga : Begini Alasan MK Ubah Delik Tipikor)

Selama ini, sambung Laode, KPK bisa menetapkan tersangka jika terdapat indikasi kerugian negara. Sementara, penghitungan kerugian secara pasti baru didapat setelah Surat Perintah Penyidikan (Sprindik). Sebab, Sprindik itulah yang dijadikan KPK sebagai dasar untuk meminta penghitungan kerugian negara kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Apabila penghitungan kerugian negara harus didapat terlebih dahulu sebelum KPK mengeluarkan Sprindik, Laode berpendapat, hal itu justru tambah mempersulit langkah KPK. “Tambah susah dong. Kerugian negara dulu dihitung, calon tersangka sudah akan menghilangkan bukti-bukti,” ujarnya.

Karena itu, Laode merasa putusan MK sangat tidak memihak pemberantasan korupsi. Ia memandang aneh jika kata “dapat” dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor malah dianggap bertentangan dengan UUD 1945. “(Langkah selanjutnya) Masih belum tahu. Kami akan rapatkan secara internal di KPK untuk menentukan sikap,” imbuhnya.

Senada, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Susanto Ginting juga mengkritisi putusan MK yang menghapus kata “dapat” dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Ia menganggap putusan MK tersebut tidak tepat, serta menghambat pemberantasan korupsi dan mengaburkan pengertian korupsi itu sendiri.

Menurutnya, tidak ada persoalan norma pada kedua pasal itu. Inti delik (bestandelen) dari Pasal 2 dan 3 UU Tipikor adalah “memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain secara melawan hukum”, bukan pada “dapat merugikan keuangan negara.” Kedua pasal itu hanya menempatkan unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” sebagai elemen delik. (Baca Juga : 4 Perspektif Unsur Melawan Hukum dalam UU Tipikor)  

Terlebih lagi, kata Miko, MK melalui putusan Nomor 003/PUU-IV/2006 sudah menyatakan pemaknaan merugikan keuangan atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi. Dengan demikian, jika suatu tindakan telah memenuhi unsur memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain secara melawan hukum, tindak pidana korupsi sudah terjadi.

Sebaliknya, jika sudah ada kerugian negara tetapi unsur memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain secara melawan hukum tidak terpenuhi, maka tindak pidana korupsi belum terjadi. Miko menilai selama ini interpretasi dan pelaksanaan penegakan hukum turut mengaburkan pengertian kedua pasal itu.

“Seakan-akan harus ada kerugian negara untuk terpenuhinya delik menurut Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Penegak hukum pun cenderung menunggu dan bergantung pada hasil audit pemeriksa keuangan. Hal ini dilakukan hanya untuk tujuan memudahkan pembuktian. Tidak ada persoalan norma dari kedua pasal itu,” terangnya dalam rilis yang diterima hukumonline.

Namun, lanjut Miko, penghilangan kata “dapat” pada Pasal 2 dan 3 UU Tipikor membawa pengertian yang sama sekali jauh berbeda. MK tidak berhasil mendudukkan pengertian kedua pasal itu sebagaimana mestinya, melainkan membentuk norma yang akhirnya mengaburkan pengertian korupsi pada kedua pasal itu sekaligus menyulitkan pemberantasan korupsi.

Dengan adanya putusan ini, Miko khawatir pengusutan kasus korupsi berdasarkan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor sulit sekali dilakukan. Bahkan, hampir mustahil ada Operasi Tangkap Tangan (OTT) meski Pasal 2 dan 3 UU Tipikor terpenuhi. Sebab, KPK dan penegak hukum lainnya akan sangat bergantung pada pemeriksa keuangan (yang menurut SEMA No.4 Tahun 2016 adalah BPK).

“Selain itu, tentu yang paling perlu diwaspadai adalah gelombang upaya hukum untuk kasus-kasus berjalan dengan dalih Putusan MK tersebut. Apabila BPK tidak segera mengeluarkan perhitungan kerugian negara yang nyata (actual loss) atas permintaan penegak hukum, maka dapat dipastikan para terdakwa akan melenggang bebas,” tuturnya. (Baca Juga : Dua Ahli Hukum Ini Bongkar Kelemahan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor)

Sebagaimana diketahui, meski tidak bulat, MK melalui putusan Nomor 25/PUU-XIV/2016, menghapuskan kata "dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan 3 UU Tipikor. Dengan begitu, delik korupsi yang selama ini sebagai delik formil berubah menjadi delik materil yang mensyaratkan ada akibat, yakni unsur kerugian keuangan negara harus dihitung secara nyata/pasti. 

Dalam putusannya, MK menilai penerapan unsur kerugian negara dalam Pasal 2 ayat (1) dan 3 UU Tipikor telah bergeser dengan menitikberatkan adanya akibat (delik materil). Unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss), tetapi harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) dalam tipikor.

Menurut MK, hal ini bisa berakibat terjadi kriminalisasi dengan dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang. Demikian pula dalam praktik bisnis. Ketika kedua pasal itu dipandang sebagai delik formil, maka pejabat publik akan takut atau khawatir mengambil kebijakan karena akan terkena korupsi.

Karena itu, MK menganggap pencantuman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan 3 UU Tipikor menimbulkan ketidakpastian hukum, bertentangan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, serta bertentangan dengan prinsip hukum harus tertulis (lex scripta), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta), dan tidak multitafsir (lex certa).
Tags:

Berita Terkait