Pemberian Dividen Perlu Perhatikan Permodalan Bank
Berita

Pemberian Dividen Perlu Perhatikan Permodalan Bank

BI menilai, bank yang memiliki rasio kecukupan modal, kredit bermasalah atau rasio pencadangan yang buruk sebaiknya tidak memberikan dividen yang terlalu tinggi kepada pemegang saham.

FAT/ANT
Bacaan 2 Menit
Pemberian Dividen Perlu Perhatikan Permodalan Bank
Hukumonline
Bank Indonesia (BI) mengingatkan pemberian porsi dividen dari laba perbankan perlu memperhitungkan dampak penurunan rasio kecukupan modal dan kemampuan bank tersebut dalam mencapai target penyaluran kreditnya di tahun ini. Hal itu diutarakan Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara di Jakarta, sebagaimana dikutip dari Antara, Jumat (17/3).

Menurut Mirza, bank yang memiliki indikator rasio kecukupan modal bank (Capital Adequacy Ratio/CAR), kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) ataupun rasio biaya pencadangan yang lebih buruk dibanding rata-rata industri perbankan, sebaiknya tidak memberikan dividen yang terlalu tinggi kepada para pemegang saham.

Pada akhir Januari 2017, menurut BI, CAR industri perbankan sebesar 23 persen dan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) sebesar 3,1 persen (gross). "Tentu sebaiknya jangan memiliki dividen pay out ratio yang terlalu tinggi karena bisa memakan permodalan," tambah Mirza.

Meskipun demikian, Mirza mengatakan, BI memang belum mengatur besaran spesifik mengenai rasio dividen ataupun parameter lain bagi perbankan dalam memberikan dividen kepada para pemegang saham. Menurutnya, pengaturan pemberian dividen merupakan ranah mikroprudensial yang lebih tepat diatur Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

"Kami tidak bilang usulannya berapa, cuma bagi BI, sebaiknya arahnya seperti itu. Bank bank yang (rasio/indikatornya) kecil, dividennya besar, itu sebaiknya harus diperhatikan," kata Mirza. (Baca Juga: Pelaksanaan Holding Bank Pembangunan Daerah Dinilai Sulit Terealisasikan)

Selain kecukupan pendanaan atau Dana Pihak Ketiga (DPK), lanjut Mirza, perbankan juga harus menjamin kecukupan modalnya untuk mengekspansi kreditnya tahun ini. BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memproyeksikan rentang pertumbuhan kredit perbankan yang cukup ekspansif tahun ini, yakni dengan batas atas 12 persen (yoy). Pada 2016 kredit perbankan hanya tumbuh 7,8 persen (yoy).

Sebelumnya, dalam paparan hasil Rapat Dewan Gubernur BI periode Februari 2017, Gubernur BI Agus Martowardojo pernah menjelaskan bahwa bank sentral berencana untuk menelurkan kebijakan terkait pengelolaan dividen. Pengaturan pengelolaan dividen itu untuk memastikan korporasi memiliki kecukupan dan ketahanan modal yang cukup karena pada 2017 tekanan ekonomi global dan domestik berpotensi meningkat.

"Kami meyakini, pembayaran dividen merupakan sesuatu yang baik. Tapi perlu juga dijaga kesehatan institusi," kata Agus saat itu. (Baca Juga: Begini Hukum Indonesia Memandang Perusahaan ‘Cangkang’)

Catatan hukumonline, dalam Pasal 46 Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum disebutkan, dalam hal OJK menilai terdapat kecenderungan penurunan modal bank yang berpotensi menyebabkan modal bank berada di bawah Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sesuai profil risiko, OJK dapat meminta bank untuk melakukan; a. pembatasan kegiatan usaha tertentu; b. pembatasan pembukaan jaringan kantor; dan/atau c. pembatasan distribuksi modal.

Penjelasan pasal tersebut khususnya pada huruf c, yang dimaksud dengan pembatasan distribusi modal antara lain berupa pembatasan atau penundaan pembayaran bonus dan/atau dividen.

Bukan hanya untuk bank umum, OJK juga telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dalam Pasal 12 POJK itu disebutkan, BPR dilarang melakukan distribusi laba apabila distribusi dimaksud mengakibatkan kondisi permodalan BPR tidak mencapai rasio modal sebagaimana dalam Pasal 2 dan Pasal 4.
Pasal 2
BPR wajib menyediakan modal minimum yang dihitung dengan menggunakan rasio KPMM paling rendah 12% dari ATMR (Aset Tertimbang Menurut Risiko).
Pasal 4
BPR wajib menyediakan modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a paling rendah sebesar 8% dari ATMR.

Sedangkan dalam Pasal 15 POJK yang sama menyebutkan, BPR dilarang melakukan distribusi laba jika; a. distribusi dimaksud mengakibatkan menurunnya modal inti menjadi kurang dari Rp6 miliar; atau b. BPR belum memenuhi modal inti minimum sebesar Rp6 miliar. (Baca Juga: Dividen dan Laba Ditahan BUMN Perlu Payung Hukum)

Distribusi laba dalam pasal ini antara lain pembayaran dividen kepada pemegang saham, pembagian bonus kepada pengurus (tantiem) dan pembayaran insentif yang sifatnya non operasional. Misalnya, apabila dalam suatu periode kepengurusan BPR menunjukkan kinerja yang membaik, namun kondisi permodalan tidak memungkinkan untuk membayar bonus kepada pengurus, maka pembayaran bonus tidak dapat dilakukan sampai dengan kondisi permodalan BPR memungkinkan untuk dilakukannya pembayaran bonus.
Tags:

Berita Terkait