Sejumlah Persoalan Membayangi Kebijakan Divestasi Saham Tambang
Meneropong Bisnis Tambang Pasca PP Minerba

Sejumlah Persoalan Membayangi Kebijakan Divestasi Saham Tambang

Tidak seperti yang diharapkan, kepemilkan Indonesia dapat menyebabkan jumlah tenaga kerja Indonesia yang lebih sedikit dan peluang usaha yang lebih sedikit untuk orang Indonesia.

Oleh:
M DANI PRATAMA HUZAINI
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Kebijakan divestasi saham tambang sebagaimana yang diatur dalam UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,berikut sejumlah aturan pelaksananya harus diakui sebagai upaya pemerintah untuk menegaskan kontrol negara terhadap sumber daya mineral. Aturan ini mengamanatkan perusahaan tambang asing  untuk melepaskan sejumlah sahamnya secara berkala, sehingga kepemilikan saham investor tersebut beralih kepada kepemilikan saham oleh perusahaan-perusahan dalam negeri.

Pemerintah berharap aturan tersebut dapat menguntungkan masyarakat Indonesia lewat dua cara. Pertama, hal tersebut memungkinkan masyarakat Indonesia yang memegang saham di perusahaan pertambangan secara langsung mendapatkan manfaat dari bisnis mereka, ketimbang secara tidak langsung melalui penerimaan pajak. Kedua, hal ini memungkinkan perusahaan-perusahaan Indonesia untuk memperoleh teknologi pertambangan baru dan mengembangkan praktik-praktik bisnis baru, mendorong lapangan pekerjaan dan peluang usaha domestik yang lebih besar.

Natural Resource Governance Intitute (NRGI) berpendapat, manfaat yang dikehendaki dari aturan divestasi ini mungkin sulit untuk dicapai. Selain itu, butuh biaya yangsangat besar. “Secara krusial, analisis kami menunjukkan bahwa aturan ini menghalangi investasi asing di masa depan, sehingga dapat mengurangi besarnya keseluruhan sektor pertambangan Indonesia,” katapeneliti NRGI, David Manley. (Baca Juga: Mencermati Konstitusionalitas Kebijakan Hilirisasi Mineral)

Menurut David, dengan Pemerintah mewajibkan perusahaan-perusahaan asing untuk melakukan divestasi, hal itu dapat mendatangkan manfaat bagi masyarakat Indonesia. Namun, melalui penelitian yang dilakukannya, ia mengidentifikasi adanya kemungkinan kesulitan bagi Pemerintah untuk mengejar manfaat yang timbul dari kebijakan divestasi. Kesulitan tersebut antara lain;Pertama, pembelian domestik atas saham divestasi akan menimbulkan peningkatan hutang luar negeri atau setidak-tidaknya mengalihkan jumlah investasi domestik yang besar dari sektor-sektor lainnya.

Dijelaskan David, sebagian besar investasi di Indonesia berasal dari investor asing. Hanya seperempat dari hampir USD 180 miliar (Rp2.394 triliun) yang diinvestasikan setiap tahun di Indonesia berasal dari investor dalam negeri.  Selama 5 tahun terakhir, sektor ekstraktif menarik USD 21 miliar (Rp 279 triliun) investasi asing. Angka ini adalah setengah dari seluruh investasi dari masyarakat ndonesia disemua sektor ekonomi lainnya.

Selanjutnya, aturan divestasi mewajibkan perusahaan asing untuk mendivestasikan 51 % dari equitas modal mereka. Ini merupakan jumlah saham yang mungkin berkali-kali lipat lebih besar dari arus investasi tahunan rata-rata. Jika dalam kondisi ini, masyrakat Indonesia membeli lebih dari 51 % dari equitas masing-masing perusahaan, jumlah yang diperlukan kemungkinan besar berasal dari porsi yang signifikan dari investasi Indonesia di industri lainnya. (Baca Juga: Membongkar Kerancuan Regulasi Minerba di Indonesia)

Dengan kata lain, menurut David, aturan divestasi secara efektif mengharuskan investor domestik untuk menjalankan peran yang sekarang dijalankan oleh investor asing. Namun,data di atas menunujukan bahwa investor domestik kurang nerinvestasi untuk bisa mengambil peran investor asing. Investor Indonesia terus berinvestasi dalam jumlah yang sama seperti saat ini untuk sektor ekonomi lainnya.

David mengilustrasikan opsi yang dimiliki oleh investor domestik apabila ingin membeli saham perusahaan tambang asing:

·         Mengurangi investasi mereka atau menjual aset mereka di sektor lain dalam perekonomian Indonesia kepada pihak asing, dan menukar kepemilikan Indonesia atas manufaktur, pertanian, dan jasa untuk saham tambang.
·         Pinjam dari kreditor asing atau mengundang investor asing untuk membeli saham di perusahaan Indonesia, dan memperoleh saham tambang, tetapi juga mendapatkan liabilitas asing.
·         Mendivestasikan aset asing mereka, dan dengan demikian memegang portofolio yang sangat rentan terhadap risiko komoditas.
·         Mengandalkan Pemerintah untuk membeli saham tambang, dan oleh karenanya juga memaksa Pemerintah untuk berutang ke pihak asing, menaikkan pajak atau mengurangi belanja untuk infrastruktur dan proyek-proyek lainnya yang lebih menguntungkan secara sosial.
“Konsekuensi dari setiap pilihan ini barangkali tidak begitu memuaskan untuk semua masyarakat Indonesia. ini juga bisa berarti bahwa membeli saham tambang tak lebih dari kemenangan hampa,” ujar David.

Kesulitan kedua, imbal hasil dividen dari investasi mungkin dibawah dari yang diharapkan. Menurut David, dengan memiliki saham diperusahaan tambang memberikan kesempatan kepada masayarakat Indonesia atau BUMN untuk mendapatkan dividen. Namun, dividen yang sebenarnya diterima oleh pemilik saham Indonesia dapat mengecewakan karena alasan sebagai berikut; dalam banyak kasus, entitas Indonesia mungkin tidak memiliki dana untuk membeli saham dan justru hanya meminjam. (Baca Juga: Regulasi Labil Berdampak Pada Iklim Investasi Pertambangan)

Pasal 2 ayat (7) Permen ESDM No. 9 Tahun 2017 tentang Tata Cara Divestasi Saham dan Mekanisme penetapan Harga Saham Divestasi Pada Kegiatan usaha Perttambangan Mineral dan Batubara, mencegah perusahaan asing meminjamkan dana untuk pembelian saham. Tentu saja ini berarti pembeli Indonesia akan meminjam dari sumber yang lain. Ada contoh bagaimana kepentingan pihak swasta dapat terjerat dalam proses yang komleks untuk membeli saham di perusahaan tambang.

Kurangnya kapasitas keuangan mengarah ke praktik-praktik penyelewengan:

Salah satu contoh bagaimana aturan divestasi tidak menghasilkan manfaat bagi masyarakat Indonesia adalah kasus pembelian saham Newmont Nusa Tenggara (NNT), sebagai bagian dari kontrak yang ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dan NNT pada tahun 1986, hampir sepertiga saham NNT harus didivestasikan ke entitas Indonesia. pada tahun 2009, Daerah maju Bersaing (DMB) – suatu perusahaan saham gabungan yang dimiliki oleh pemerintah propinsi, dua Pemerintah kabupaten di NTB dan perusahaan swasta nasional bernama Pt. Multicapital yang dikendalikan oelh pengusaha dan politisi Indonesia – mengakuisisi 24 % saham. PT Multicapital memiliki 75 % DMB (dengan demikian memiliki 18 % NNT) sedangkan pemerintah daerah memiliki 25 % dari DMB (atau 6 % NNT).

Untuk membeli 23 % saham NNT, Pemerintah daerah dan PT. Multicapital harus meminjam. Hal ini dilakukan dengan membuat kesepakatan untuk pemilik PT. Multicapital – sebuah perusahaan bernama PT. Bumi Resources Minerals (BMRS) – untuk meminjam USD 300 juta  (Rp. 3,9 triliyun) dari Credit Suisse di Singapura. Untuk membayar pinjaman ini, kesepakatan awal menyebutkan bahwa BMRS harus melunasi pinjaman menggunakan dividen dari kepemilikan sahamnya di NNT. Ini berarti bahwa per 2014, Pemerintah daerah di Nusa Tenggara barat belum menerima uang apapun dari kesepakatan ini meskipun NNT telah membayar dividen sebesar USD 35,75 juta (Rp475 miliar).
Sumber: Makalah David manley dan Emanuel Bria, Memperkuat Kebijakan Divestasi Saham Tambang di Indonesia, Feb 2017, hal. 7
Kesulitan ketiga, tidak seperti yang diharapkan, kepemilkan Indonesia dapat menyebabkan jumlah tenaga kerja Indonesia yang lebih sedikit dan peluang usaha yang lebih sedikit untuk orang Indonesia. Menurut David, ketika pemilik Indonesia menjadi pemegang saham mayoritas usaha pertambangan, hal ini memungkinkan bahwa mereka akan berhasil mengarahkan perusahaan untuk menghasilkan lebih banyak pekerjaan dan peluang bisnis untuk orang Indonesia dari pada jika perusahaan tambang tinggal di bawah perusahaan asing.

“Ini bisa berasal dari penciptaan lapangan pekerjaan perusahaan pertambangan bagi masyakat Indonesia, atau dari perusahaan tambang milik Indonesia yang berkontrak dengan perusahaan jasa Indonesia dari pada perusahaan Internasional,” kata David.

Dia melanjutkan, jaringan bisnis lokal cenderung lebih kuat diantara perusahaan pertambangan milik Indonesia. Secara teoritis, transfer kepada kepemilikan mayoritas Indonesia setalah tahun kesepuluh produksi (amanat dalam aturan) akan membantu koneksi domestik berkembang.

Namun, transisi kepada kepamilikan mayoritas Indonesia kemungkinan besar memiliki dampak yang lebih sedikit terhadap peluang tersebut, berbeda seperti yang diharapkan oleh Pemerintah. Pertama, sebagian besar biaya proyek pertambangan dikeluarkan selama fase pengembangan proyek dan 10 tahun pertama produksi, ketika sebuah perusahaan asing memegang saham pengendali. Kedua, proyek akan membentuk sebuah jaringan pemasok selama tahun-tahun tersebut. Pemilik Indonesia mungkin masih akan menggunakan jaringan ini jika itu berarti oerasi yang lebih efisien.

“Sementara itu, perusahaan asing mungkin tidak ingin menghapus akses ke rantai pasokan ini untuk menjaga imbal hasil dari equitas yang tersisa, dan pasokan yang berlanjt juga dapat menghasilkan bisnis baru bagi perusahaan asing,” tutur David.

Ketiga, tenaga kerja lokal disektor pertambangan kemungkinan besar tidak mengikat secara signifikan sebagai akibat dari perubahan dalam kepemilikan perusahaan. Misalnya, per 2015, PT. Freeport Indonesia mempekerjakan sekitar 32.400 karyawan Indonesia dan 152 ekspatriat, sekitar 1,3 5 dari total pekerja, dan kemungkinan mereka di bayar dengan baik.

“Walaupun demikian, perubahan kepemilikan tidak menjamin bagi meningkatnya jumlah pekerja Indonesia, akan tetapi, jika aturan divestasi menjadi faktor penghambat bagi investasi baru, lapangan pekerjaan untuk masyarakat Indonesia bisa benar-benar menurun,” terang David.
Perlu Lembaga Khusus
Direktur Eksekutif Dewan Pengembangan Industri Pertambangan Indonesia, Priyo Pribadi Soemarno, menekankan perlu adanya lembaga khusus yang bekerja secara independen untuk menilai kelayakan saham sebuah perusahaan yang akan didivestasi. Menurutnya, adaempat aspek yang perlu diperhatikan dalam menentukan kelayakan saham asing sebelum didivestasi. Pertama, aspek nilai saham perusahaan.Kedua, aset perusahaan. Ketiga, cadangan mineral dari galian perusahaan tersebut.Keempat, izin perusahaan.

“Perusahaan seperti Newmont dan Inalum itu yang menilai siapa? Karena penilaian itu dilakukan karena kepentingan. Seperti yang menilai adalah orang yang mau beli, itukan jadi repot. Seharusnya penilai itu independen untuk kepentingan negara, sehingga apa yang yang dibeli bisa sesuai dengan nilainya. Penilai seperti ini, dia harus punya referensi banyak, dan dia juga punya network dengan internasional,” kata Priyo.

Dari sisi saham, menurut Priyo, lebih mudah cara mengetahui nilai saham suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan telah tersedianya informasi harga saham di pasar modal sehingga bisa langsung diketahui nilai saham suatu perusahaan berapa perlembarnya. Kemudian,tinggal dikalikan nilai tersebut dengan jumlah lembar saham yang ada.

“Saham freeport itu sebetulnya berapa nilainya? Kalau di pasar modal kan kta bisa langsung tahu. Perlembar misalnya nilainya 20 sen, sedangkan dia sudah isi saham berapa juta lembar, nah tinggal dikalikan saja. itu kalau nilai saham,” ujar Priyo.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah nilai aset. Menurut Priyo, peran lembaga Independen menjadi penting di sini karena untuk menaksir nilai dari suatu aset perusahaan tambang asing dibutuhkan dukungan jaringan internasional. Hal ini mengingat ketersediaan pakar berpengalaman dan layak untuk dijadikan referensi masih kurang di dalam negeri.

“Menurut saya referensi perlu juga dengan cek dan ricek dengan di luar. Misalnya suatu pabrik besar, nilai bukunya berapa, kan ada nilai buku yang sudah di depresiasi, mungkin  ada kerusakan yang belum diperbaiki, sehingga nilai buku itu di cek dengan nilai riil nya sehingga ketahuan nanti nilai yang betul-betul nilai riil berapa. Jadi nilai saham itu mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Bukan digelembungkan,” terang Priyo.

Selanjutnya, sambung Priyo, kebutuhan akan lembaga penilai independen juga dirasa saat berbicara mengenai ketersediaan cadangan mineral logam dari satu perusahaan tambang. Lembaga independen ini perlu berhubungan dengan pakar dan ahli yang profesional di bidang pertambangan.

Priyo mengatakan, ada dilema yang mengemuka saat berbicara kepemilikan cadangan mineral logam dari suatu perusahaan tambang. Meski UUD 1945 telah mengatur bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, namun perusahaan yang menemukan batubara menganggap sebagian dari cadangan tersebut adalah kepunyaannya.

Oleh karena itu, kata Priyo, diperlukan adanya aturan yang mengatur prosentase kepemilikan cadangan tersebut. Karena dalam praktiknya, pemilik tambang bisa berhutang kepada lembaga keuangan dunia dengan menggunakan cadangan mineral tersebut sebagai jaminan. Menurut Priyo, ada lembaga yang mensertifikasi cadangan mineral yang terkandung dalam perusahaan tambang untuk mengetahui jumlah cadangan sebenarnya.

Priyo berpendapat, pemerintah seharusnya tidak cukup hanya mendapat royalti karenaitu tidak adil bagibangsa dan negara. Menurutnya, harus ada peraturanbahwapenemu itu berhak berapa persen, pemilik yaitu negara Indonesia, berapa persen. “Sekalipun invstasi itu dilakukan oleh perusahaan tambang, berapa nilai investasinya kita nilai juga. Apa yang dia peroleh itu sepadan dengan investasi yang dia keluarkan,” papar Priyo.

Berikutnya adalah izin. Priyo mengatakan, persoalan izin ini memuat jangka waktu beroperasinya perusahaan tambang di dalam negeri. Melalui jangka waktu operasi tersebut, perusahaan tambang bisa memprediksi total keuntungan yang akan diperoleh selama tambang beroperasi. Hal ini oleh perusahaan tambang akan dimasukkan juga kedalam profil perusahaan yang ikut mempengaruhi nilai saham perusahaan.

Bila terjadi divestasi pada pertengahan jangka waktu operasi perusahaan tambang tersebut, maka Pemerintah dan perusahaan lokal akan dikenai nilai biaya ganti sesuai dengan total prediksi keuntungan selama tahun operasi. “Digantinya sesuai dengan pencapaian kamu hari ini, sudah sampai di mana. Jadi begitu yang menilai kan harus orang yang mengerti yang ahli. Bisa diminta sarannya pada waktu penilaian ini berjalan,” terang Priyo.

Meluruskan Tujuan Divestasi
Priyo mengingatkan agar Pemerintah tidak hanya menjadikan kepemilikan saham mayoritas sebagai tujuan divestasi. Hal ini mengingat masih perlu penguatan-penguatan instrumen pendukung divestasi agar keberadaan divestasi tidak menjadi bumerang bagi keuangan dalam negeri.

“Hal ini penting untuk bangsa dan negara. Jangan sampai, meskipun ada divestasi, tapi divestasi itu tidak pernah menguntungkan Indonesia. Boleh Indonesia punya saham lebih besar dari asing. Tapi untuk mendapakan saham segitu, apa yang kamu taruh di situ? Apa yang kamu lakukan, apa yang kamu keluarkan untuk mendapatkan saham sebesar itu? Wajar apa tidak,” kataya.

Priyo menyayangkan ketika tujuan awal adanya kebijakan divestasi, di mana ingin memperkuat peran Pemerintah dan perusahaan tambang lokal, namun harus terbentur dengan harga yang sebegitu mahal.

“Divestasi itu maksud pemerintah apa? apakah ingin memperbesar kepemilikan atau ingin memperbesar kemakmuran bangsa dan negara. Kalau kepemilikan, kita bisa saja salah. Kepemilikan itu tidak berarti kemakmuran kan. Saya memiliki saham mayoritas 51 persen, tapi saya mengeluarkan duit AS$1 miliar sekarang untuk membeli 51 persen. Pertanyaanya, apakah yang 51 persen itu bisa mengembalikan yang satu miliar?,” ujarnya.

Apabila penilaian terhadap saham asing dilakukaan secara wajar oleh penilai independen, tanpa digelembungkan, Pemerintah maupun perusahaan tambang lokal mampu membeli saham asing yang dilepas tersebut.

“Orang survey bisa menaksir nilai dari tanahnya, nilai dari asetnya, nilai dari pabriknya, tapi nilai dari umur dan operasi tambang, dia gak bisa menilai. Sehingga itu harus di integrasikan (dengan penilai independen) baru maksud dan tujuan divestasi itu bisa di capai untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” kata Priyo.
Tags:

Berita Terkait