Putusan MK Berdampak Pada Program Deregulasi Sektor Investasi
Berita

Putusan MK Berdampak Pada Program Deregulasi Sektor Investasi

"Di sisi lain, saya sebagai Mendagri juga sangat tidak yakin MA (Mahkamah Agung) mampu membatalkan perda dalam waktu dekat atau singkat karena harus satu per satu diputuskan. Pengalaman pada tahun 2012, hanya ada dua perda yang dibatalkan oleh MA”.

Oleh:
ANT/FAT
Bacaan 2 Menit
Mendagri Tjahjo Kumolo. Foto: RES
Mendagri Tjahjo Kumolo. Foto: RES
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo angkat bicara terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan, aturan mekanisme pembatalan peraturan daerah (perda) kabupaten/kota oleh gubernur dan mendagri inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Tjahjo, putusan MK ini jelas menghambat investasi.

"Saya sebagai Mendagri jujur tidak habis pikir dengan keputusan MK yang mencabut kewenangan Mendagri membatalkan perda-perda, yang jelas-jelas menghambat investasi," ujar Tjahjo sebagaimana dikutip dari Antara, Kamis (6/4).

Tjahjo menambahkan, akibat putusan MK tersebut, potensi yang mengkhawatirkan adalah program deregulasi untuk investasi dari pemerintah secara terpadu (pusat dan daerah) akan terhambat. Alasannya karena saat ini masih banyak perda yang bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi dan memperpanjang birokrasi perizinan investasi lokal dan nasional serta internasional.

Atas dasar itu, Kemendagri akan mengajak Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) untuk mencari jalan keluar tentang masalah tersebut. Menurut Tjahjo, pembatalan perda adalah merupakan wilayah eksekutif untuk mengkajinya. Selain itu, perda adalah produk pemerintah daerah, yaitu antara kepala daerah dan DPRD.

"Di sisi lain, saya sebagai Mendagri juga sangat tidak yakin MA (Mahkamah Agung) mampu membatalkan perda dalam waktu dekat atau singkat karena harus satu per satu diputuskan. Pengalaman pada tahun 2012, hanya ada dua perda yang dibatalkan oleh MA," katanya.

Terkait putusan MK tersebut, lanjut Tjahjo, ketua APKASI sendiri telah melayangkan pesan singkat kepadanya, yang menyatakan bingung atas putusan MK. Alasannya karena dalam permohonan uji materi, APKASI tidak mempersoalkan kewenangan Mendagri dalam membatalkan perda. (Baca Juga: Dua Ahli Ini Sebut Pembatalan Perda Wewenang Pengadilan)

"Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia sudah SMS ke saya, mereka juga bingung," ujar Tjahjo.

Kewenangan Mendagri membatalkan perda, lanjut Tjahjo, semata-mata bentuk ketegasan pemerintah dalam mengendalikan perda yang menjamin ketaatan dan kepatuhan terhadap peraturan yang lebih tinggi. Upaya ini juga terkait untuk kepentingan masyarakat umum dengan memotong panjangnya birokrasi, khususnya memudahkan perizinan dan investasi yang dapat meningkatkan pertumbuhan daerah.

Dia mencontohkan di bidang keuangan daerah, evaluasi ada pada pemerintah provinsi. Kecuali, lanjut Tjahjo, Perda Pajak dan Retribusi Daerah, Perda Penyertaan Modal, serta Perda Pengelolaan Keuangan dan Barang Milik Daerah, yang dievaluasi rutin setiap tahun oleh Kemendagri.

Menurut Tjahjo, rancangan perda APBD kab/kota se-Indonesia, APBD-Perubahan dan Pertanggungjawaban APBD yang diatur dalam 102 perda, belum termasuk perda pemerintah kab/kota oleh pemerintah provinsi, selalu dicantumkan oleh Kemendagri dapat dibatalkan apabila hasil evaluasi tidak diikuti.

Tjahjo mengatakan,dengan adanya putusan MK yang berimplikasi pada dicabutnya kewenangan Mendagri dalam membatalkan perda, maka akan berpengaruh terhadap format evaluasi perda yang dilaksanakan Kemendagri. Meskipun demikian Tjahjo mengakui bahwa putusan MK telah final dan mengikat.

Untuk diketahui, dalam putusannya, MK hanya mengabulkan pengujian Pasal 251 ayat (2), (3), (4), (8) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang diajukan APKASI bersama 45 Pemkab. MK menyatakan, aturan mekanisme pembatalan perda kabupaten/kota oleh gubernur dan mendagri inkonstitusional alias bertentangan dengan UUD 1945. (Baca Juga: Catat!!! Kini Pembatalan Perda Kabupaten/Kota Wewenang MA)

MK beralasan, Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemda yang memberi wewenang menteri dan gubernur membatalkan perda kabupaten/kota selain bertentangan peraturan yang lebih tinggi (UU), juga menyimpangi logika bangunan hukum yang telah menempatkan MA sebagai lembaga yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Dalam hal ini, perda kabupaten/kota, seperti ditegaskan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.

Lebih lanjut, pembatalan perda kabupaten/kota melalui keputusan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat seperti diatur Pasal 251 ayat (4) UU Pemda, menurut MK tidak sesuai dengan rezim peraturan perundang-undangan yang dianut Indonesia. Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak mengenal keputusan gubernur sebagai salah satu jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Tags:

Berita Terkait