Pengamat Kritik Batas Minimum Rekening yang Wajib Dilaporkan
Berita

Pengamat Kritik Batas Minimum Rekening yang Wajib Dilaporkan

Jika pemerintah menggunakan benchmark yang berbeda dalam perhitungan saldo minimal, maka harus memiliki acuan yang jelas.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi: YOZ
Foto ilustrasi: YOZ
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja merevisi saldo minimal kewajiban pelaporan data keuangan untuk kepentingan perpajakan. Aturan minimal saldo yang wajib dilaporkan awalnya adalah Rp200 juta, direvisi menjadi Rp1 miliar diatur dalam PMK No.70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Revisi nilai saldo ini hanya berjarak dua hari saja sejak PMK 70/2017 diterbitkan pada Senin, (5/6) lalu.

Dalam rilis yang diterima oleh hukumonline, Kamis (8/6), perubahan nominal slado tersebut dilakukan dengan memperhatikan masukan dari masyarakat dan pemangku kebijakan agar kebijakan tersebut mengedepankan rasa keadilan, menunjukkan keberpihakan terhadap pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, dan memperhatikan aspek kemudahan administratif bagi lembaga keuangan untuk melaksanakannya.

Perubahan nominal saldo itu juga mempertimbangkan data rekening perpajakan, data perpajakan termasuk dari program tax amnesty, serta data pelaku usaha. Dengan perubahan btas minimum menjadi Rp1 miliar, maka jumlah rekening yang wajib dilaporkan adalah sekitar 496 ribu rekening atau 0,25 persen dari keseluruhan rekening yang ada di perbankan saat ini. (Baca Juga: Implikasi Hukum Peraturan Menteri yang Direvisi Hanya dalam Hitungan Hari)

Bersamaan dengan hal itu, pemerintah juga menegaskan bahwa masyarakat tak perlu khawatir dan resah karena keterbukaan informasi perpajakan tersebut bukanlah serta merta untuk menarik pajak dari pemilik rekening. Tujuan pelaporan informasi keuangan ini adalah untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap sesuai standar internasional sehingga Indonesia dapat berpartisipasi dalam pertukaran informasi keuangan dengan Negara lain.

Namun penetapan dan revisi nilai saldo mimimal tersebut mendapat kritik dari Pengamat Ekonomi, Aviliani. Aviliani mempertanyakan acuan yang digunakan oleh pemerintah dalam menetapkan batas minimal saldo rekening yang dilaporkan ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

“Menurut saya memang, kalau hanya saldo enggak bisa dianalisis sebagai pendapatan sehingga tidak efektif kalau hanya melihat saldo. Karena ada saja orang yang sudah menabung puluhan tahun, yang mungkin pendapatan kecil, karena sudah menabung puluhan tahun jadi punya tabungan Rp1 miliar. Dan belum tentu juga dia punya NPWP karena penghasilan dibawah Rp4,5 juta. Mungkin ada sumber lain yang lebih efektif,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (8/6).

Agar tak menjadi tanya tanya bagi publik, ia meminta pemerintah untuk menjelaskan dasar perhitungan yang digunakan dalam menetapkan saldo minimal tersebut. Jika fungsi keterbukaan informasi data keuangan hanya sekedar untuk melihat saldo pemilik rekening, maka data dari PPATK juga bisa digunakan oleh DJP sebagai profiling. (Baca Juga: Pemerintah Revisi Batas Minimum Rekening yang Wajib Dilaporkan Jadi Rp1 Miliar)

“Yang harus hati-hati memang dari saldo ini tidak akan bisa mencerminkan apakah mereka itu bayar pajak dengan benar atau belum atau mereka harus punya NPWP atau tidak. Jadi, (pelaporan saldo rekening) tidak akan membantu,” tambahnya.

Aviliani menyatakan dukungan terhadap keterbukaan informasi data keuangan. Tetapi, pemerintah juga harus menjamin data-data tersebut aman dan tidak dimanfaatkan secara negatif oleh DJP. Sehingga, penyerahan data haruslah menggunakan sistem yang baik, bukan dilakukan dengan menggunakan media lain seperti flashdisk yang sudah pernah dilakukan sebelumnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati. Menurut Enny, Jika merujuk kepada aturan internasional yang ditetapkan dalam AEoI, maka minimal saldo yang wajib dilaporkan adalah senilai Rp3,3 miliar. Jika Indonesia menggunakan benchmark yang berbeda, maka harus memiliki acuan yang jelas. Adanya perubahan nominal ini, lanjutnya, memberikan sinyal yang tidak baik bagi masyarakat.

“Pemerintah harus punya acuan dan dasar perhitungan yang jelas. Apakah perhitungannya didapat, misalnya, dari pendapatan dan biaya hidup, pendapatan berapa dan biaya hidup habis berapa. Nah dari akumulasi itu bisa jadi proxy untuk menentukan obyek pajak,” kata Enny. (Baca Juga: Mekanisme, Nilai Saldo, hingga Sanksi Terkait Akses Informasi Keuangan di PMK 70/2017)

Menurutnya, adanya pelaporan jumlah minimial saldo kepada DJP juga tak bisa jadi jaminan apakah perilaku kepatuhan pajak antara pemilik rekening yang satu dengan yang lain adalah sama. Artinya, DJP harus memiliki aturan main yang jelas untuk masing-masing individu. DJP tak bisa memberikan perlakuan yang sama terhadap seluruh pemilik rekening. Dan juga, harus diikuti dengan sistem yang baik untuk mendukung pelaporan informasi data keuangan.

Disamping itu, Enny juga menyoroti tujuan diterbitkannya Perppu No 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Jika tujuan utama adalah untuk pertukaran informasi keuangan dengan Negara lain dalam rangka pelaksanaan AEoI, keberadaan Perppu justru menekankan di sektor perpajakan domestik. Hal ini, lanjutnya, justru menimbulkan polemik.

“Dampak dari Perppu ini harusnya bisa mendeteksi kepemilikan harta WNI di luar negeri, dan bisa menjadi database untuk menelusuri apakah mereka selama ini sudah taat pajak atau belum. Nah dari sini, pemerintah juga bisa membuat kebijakan untuk memberikan penawaran kepada WNI, insentif apa yang dibutuhkan agar mereka lebih memilih menyimpan dananya di dalam negeri. Tapi sekarang kok yang ditekankan malah domestik,” jelas Enny.

Jika tujuan pemerintah untuk memaksimalkan potensi penerimaan perpajakan dari domestik, maka pemerintah seharusnya memperbaiki data kependudukan melalui single identity. Single identity bisa digunakan untuk menelusuri kepatuhan masyarakat Indonesia dalam membayar pajak.

Ketentuan Sanksi
Dalam PMK 70/2017, khususnya Pasal 30 ayat (3) dan (4) dijelaskan bahwa sanksi pidana yang dikenakan bagi pejabat yang terbukti menyalahgunakan data informasi keuangan adalah dengan merujuk kepada Pasal 41 UU No 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sementara dalam Pasal 41 UU KUP, hukuman pidana yang dijatuhkan adalah selama 1 tahun dengan denda maksimum Rp500 juta.

Menurut Enny, sanksi pidana bagi pejabat yang menyalahgunakan data informasi perbankan tersebut lebih lunak dibanding dengan sanksi pidana di dalam UU Pengampunan Pajak. Pasalnya, Perppu menyimpan potensi moral hazard yang tinggi untuk disalahgunakan.

“Dominasi sanksi lebih ditujukan ke sektor keuangan dibandingkan kepada petugas pajak. Kalau lihat UU Pengampunan Pajak, sanksi bagi petugas pajak yang melanggar kerahasiaan data bisa dipidana lima tahun,” pungkasnya.

Bunyi Pasal 41 UU KUPBunyi Pasal 30 ayat (3) dan (4)
  • (1)  Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal   sebagaimana   dimaksud   dalam   Pasal   34, diancam   dengan   pidana   kurungan selama-lamanya satu tahun dan denda setinggi-tingginya Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
  • (2)  Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang   menyebabkan   tidak   dipenuhinya   kewajiban pejabat   sebagaimana    dimaksud dalam Pasal 34, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
  • (3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dan  ayat  (2)  hanya  dilakukan  atas  pengaduan  orang  yang  kerahasiaannya dilanggar.
  • (3) Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun pihak yang melakukan tugas di bidang perpajakan, dan tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan, dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/ atau memberitahukan informasi keuangan dan/ atau informasi dan/ atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pihak yang tidak berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
 
  • (4) Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun pihak yang melakukan tugas di bidang perpajakan, dan tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan yang tidak memenuhi kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 41 Undang-Undang Undang-Undang Nomor 6 Tahun 19 83 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 19 83 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
 
Tags:

Berita Terkait