Implikasi Hukum Peraturan Menteri yang Direvisi Hanya dalam Hitungan Hari
Berita

Implikasi Hukum Peraturan Menteri yang Direvisi Hanya dalam Hitungan Hari

Menteri Keuangan merevisi PMK Nomor 70/PMK.03/2017 terkait besaran minimum nilai saldo rekening yang wajib dilaporkan ke Direktorat Jenderal Pajak hanya berselang dua hari setelah konfrensi pers digelar. Bagaimana dampaknya secara hukum?

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Foto: NNP
Foto: NNP
Pemerintah meningkatkan batas minimum nilai saldo rekening keuangan yang wajib dilaporkan pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang semula sebesar Rp 200 juta, kini menjadi Rp 1 miliar. Perubahan jumlah itu dilakukan menyusul masukan dari berbagai kalangan serta pemangku kepentingan kepada pemerintah.

Menariknya, perubahan ketentuan jumlah minimum saldo itu dilakukan selang dua hari setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani menggelar konfrensi pers pada Senin (5/6) terkait penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, yang mana merupakan aturan turunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.

Yang menjadi pertanyaan, adakah implikasi secara hukum atas perubahan nilai minmum saldo dalam PMK Nomor 70 Tahun 2017? (Baca Juga: Pemerintah Revisi Batas Minimum Rekening yang Wajib Dilaporkan Jadi Rp1 Miliar)

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ismail Hasani, mengatakan bahwa penyusunan dan penerbitan Peraturan Menteri (Permen) menjadi kewenangan menteri sepenuhnya, termasuk merevisi subtansi Permen tersebut. Menurutnya, sekalipun suatu Permen direvisi hanya berselang beberapa hari dari tanggal diundangkan atau waktu sosialiasi, hal itu tidak berdampak apapun terhadap status Permen secara umum. Itu berarti, PMK Nomor 70 Tahun 2017 secara formal tetap sah.

“Tidak ada syarat pelaksanaan dulu baru direvisi, itu tidak ada,” kata Ismail melalui sambungan telepon pada Kamis (8/6).

Meski begitu, terkait revisi besaran nilai saldo minimum yang sangat singkat prosesnya itu, Ismail memberikan sejumlah catatan. Bisa diasumsikan, proses penyusunan PMK Nomor 70 Tahun 2017 sebelumnya tidak dilakukan kajian secara mendalam oleh pemerintah.

Jika mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, memang tidak diatur secara detil proses penyusunan Permen. Namun, dilihat dari proses legislasi secara umum, Ismail berpendapat proses perubahan yang singkat ini menunjukkan keganjilan. (Baca Juga: Mekanisme, Nilai Saldo, hingga Sanksi Terkait Akses Informasi Keuangan di PMK 70/2017)

Ia menduga, pemerintah tidak memiliki kajian yang komprehensif dalam menyusun regulasi di bidang keuangan ini yang minimal mengacu pada kajian sosiologis, analisa ekonomi, hingga dampak secara sosial lainnya mengingat regulasi di bidang keuangan ini punya implikasi multidimensional. Selain itu, catatan dari segi tata negara lainnya dalam melihat revisi nilai saldo bahwa pemerintah terlalu mengakomodir aspirasi-aspirasi dari pihak yang bekepentingan.

“Kalau pemerintah tidak punya prioritas dalam membidik pajak, justru saya khawatir wajib pajak yang potensial dibidik malah tidak kena karena dia repot mengurusi dilevel yang kecil itu (kalau masih di bawah Rp 200 juta),” kata Ismail.

Terpisah, Peneliti Institute for Development of Economics & Finance (INDEF), Eko Listiyanto mengatakan bahwa revisi yang dilakukan dalam PMK Nomor 70 Tahun 2017 itu mestinya sekaligus dipakai untuk meluruskan substansi utama dari terbitnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017, yakni pertukaran data keuangan antar negara dalam rangka era pertukaran informasi secara otomatis atau yang lebih dikenal dengan sebutan Automatic Exchange of Information (AEoI).(Baca Juga: Catatan Asosiasi Perbankan Terkait Akses Informasi Data Keuangan)

“Isu yang dibawa itu pertukaran internasional, maka kembalikan dulu disitu. Kalau dapat akses, semua orang itu tahu kalau itu buat mirroring. Tapi, itu terlihat strategi ke dalam, justru strategi ke luar malah tidak terlihat sama sekali,” kata Eko di kantornya.

Eko melanjutkan, dominasi Perppu dan PMK justru banyak membidik pemilik rekening di dalam negeri dibandingkan upaya strategis mengoptimalkan penelusuran WNI yang membuka rekening di luar negeri. Sehingga, hal itu malah berpotensi menimbulkan instabilitas sektor keuangan dan kontra produktif terhadap upaya repatriasi yang sudah dilakukan. Sebaliknya, ia sama sekali tidak melihat ada strategi yang coba dilakukan pemerintah untuk membidik dana WNI untuk direpatriasi ke dalam negeri saat era AEoI.

“Menurut saya, strategi itu harus dijelaskan seperti apa. Lalu langkah-langkah yang dilakukan setelah itu disepakati, itu harus ada. Kita tahu, tantangannya ada dengan Singapura karena diduga banyak uang disana. Tentu harus ada strategi, pendekatannya memang bilateral kembali,” kata Eko.

Eko mengusulkan, sebaiknya pemerintah mesti bisa memastikan bahwa negara lain yang menjadi tujuan permintaan data informasi keuangan itu akan memperlakukan Indonesia sebagai negara tujuan. Pemerintah harus bisa melihat apakah Indonesia menjadi prioritas untuk pertukaran data keuangan itu, misalnya dengan Singapura. Selanjutnya, pemerintah termasuk dengan presiden dapat memperkuat hubungan pertukaran itu, misalnya dengan melakukan pertemuan secara G to G dan bilateral.

“Nah ini ada 100 negara, sama-sama punya kepentingan tukar. Kita harus pastikan kalau kita prioritas oleh negara yang mau disasar. Kalau tidak diprioritaskan, ngapain kita bikin aturan yang bikin gaduh di dalam negeri,” kata Eko.

Direktur INDEF Eni Sri Hartati, di tempat yang sama, berpendapat bahwa soal benchmark saldo minimum yang harus dilaporkan ke DJP ini mestinya menggunakan acuan standar tertentul. Aturan internasional mengatur minimal USD250 ribu atau setara dengan Rp 3,3 miliar. Bila pemerintah menggunakan acuan, perubahan nilai saldo minimum itu tidak akan terjadi. Mesti diingat, tujuan utama dari munculnya Perppu No.1 Tahun 2017 adalah untuk menarik dana repatriasi WNI di perbankan luar negeri berpotensi menjadi bias.

“Ini tidak harus dirujuk, tapi setiap kebijakan publik harus ada dasarnya,” kata Eni.

Tags:

Berita Terkait