Romli Usul Fungsi Pencegahan KPK Dialihkan ke Ombudsman
Berita

Romli Usul Fungsi Pencegahan KPK Dialihkan ke Ombudsman

Agar KPK fokus pada fungsi penindakan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Bandung Prof Romli Atmasamita dan Dosen hukum pidana Universitas Bhayangkara Surabaya Muhammad Sholehuddin saat memberikan pandangan dalam RDPU dengan Panitia Khusus Angket KPK di Gedung DPR, Selasa (11/7). Foto: RFQ
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Bandung Prof Romli Atmasamita dan Dosen hukum pidana Universitas Bhayangkara Surabaya Muhammad Sholehuddin saat memberikan pandangan dalam RDPU dengan Panitia Khusus Angket KPK di Gedung DPR, Selasa (11/7). Foto: RFQ
Keseimbangan dalam pemberantasan korupsi menjadi hal yang mesti dilakukan. Seperti, praktik pencegahan dan penindakan pun mesti saling berhubungan satu sama lain dalam rangka pemberantasan korupsi oleh penegak hukum. Sayangnya, lembaga antirasuah seperti KPK selama ini dinilai hanya mengedepankan aspek penindakan ketimbang aspek pencegahan.

“KPK memang gagal dalam pencegahan,” ujar Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Romli Atmasasmita dalam rapat dengar pendapat umum dengan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK di Gedung DPR, Selasa (11/7/2017).

Pikiran Romli kembali ke belasan tahun silam saat menyusun dan membahas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan pembentukan KPK. Awalnya, KPK dibentuk dan berfungsi dalam rangka melakukan koordinasi dan supervisi. Karena itu, KPK pun diberikan fungsi  pencegahan terhadap tindak pidana korupsi.

Sayangnya, praktiknya KPK dianggap tidak mampu melaksanakan fungsi koordinasi dan supervisi, serta pencegahan. Sebab, selama ini KPK justru hanya mengedepankan penindakan. Menurutnya Romli, bila pimpinan KPK memahami penindakan diikuti dengan pencegahan. Kemudian melakukan koordinasi dan supervisi ke lembaga lain agar tidak kemudian terjadi korupsi lain.

“Tetapi kok pentingkan penindakan daripada pencegahan. Bagi saya, KPK gagal dalam pencegahan,” tegasnya. Baca Juga: Prof Yusril: Gunakan Mekanisme Pengadilan Bila KPK Keberatan dengan Pansus

Atas dasar itu, mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham itu mengusulkan agar DPR mempertimbangkan fungsi pencegahan yang dimiliki KPK dipindahkan ke lembaga Ombudsman RI. Dengan begitu, KPK cukup fokus pada aspek penindakan saja.

Baginya, fungsi pencegahan yang dilakukan oleh KPK hanya sebatas seremonial semata. Padahal pencegahan korupsi yang dilakukan KPK mestinya “membumi” hingga ke masyarakat kalangan bawah hingga atas. Melihat kinerja KPK seperti ini, Romli semakin tertantang ingin mengetahui jeroan KPK. Dengan menerima ‘pinangan’ tersangka Hadi Purnomo dan Budi Gunawan  yang kala itu ditersangkakan oleh KPK.

Romli pun bersedia menjadi ahli dalam persidangan praperadilan. Hasilnya, alat bukti yang dijadikan sandaran KPK tak dapat ditunjukan di muka persidangan. Alhasil, Hadi Purnomo dan Budi Gunawan menang dalam praperadilan yang menyatakan tidak sahnya penetapan tersangka terhadap keduanya oleh KPK.

“KPK memang harus diberi ‘pelajaran’. Saya kecewa dengan KPK. Padahal saya ingin dulu KPK  menjadi lembaga yang terbaik ketika polisi dan kejaksaan tidak efektif,” harapnya.

Sikap kritis Romli terhadap KPK tidak berarti hendak melemahkan KPK. Sebab, Romli menginginkan KPK menjadi lebih baik sebagai lembaga antirasuah. Yakni dengan taat dan patuh terhadap hukum acara pidana. Ia sependapat dengan Pansus Hak Angket yang menyatakan KPK mesti dievaluasi agar tetap on the track.

“Saya tidak mungkin melemahkan KPK. Kecuali KPK melemahkan diri sendiri. Saya melihat KPK harus dibenahi. Saya tidak pro dan kontra, saya melihat apa adanya. KPK harus dikoreksi dan diperbaiki,” tegasnya.

Dosen hukum pidana Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya Muhammad Sholehuddin menambahkan DPR berhak melakukan pengawasan terhadap KPK. Lembaga antirasuah seperti KPK mestinya dapat menjadi lembaga yang taat dan patuh dalam melakukan penegakan hukum sesuai dengan hukum acara pidana.

Ia menyebut kasus penyebutan nama Amien Rais, misalnya, dalam tuntutan di persidangan kasus dugaan korupsi alat kesehatan dengan terdakwa Siti Fadillah Supari. Menurutnya penyebutan nama Amien Rais tanpa terlebih dahulu meminta keterangan kemudian menyebutkan dalam surat tuntutan adalah pelanggaran hukum acara pidana.

Sholeh berpendapat requisitor -surat tuntutan- bersifat otentik dan pro justicia. Sedangkan hukum acara mengandung asas legalitas. Karena itu, KPK mestinya selain patuh terhadap hukum acara pidana juga mengedepankan asas kehati-hatian. Sebab penyebutan nama tanpa adanya check and cross check sama halnya melakukan pembunuhan karakter seseorang.

“Pencantuman nama seseorang sebelum diperiksa sebelum dimintai konfirmasi, itu melanggar hukum acara pidana. Untuk itu, amandemen terhadap UU (Tipikor dan KPK)  menjadi penting,” katanya.

Tak lagi on the track
Lebih jauh, Romli melanjutkan strategi pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK tak lagi on the track. Menurutnya KPK mestinya menyadari berbagai kekurangan dalam rangka pemberantasan korupsi. Itu sebabnya diperlukan perbaikan dan pembenahan sistem di KPK.  Mulai dari internal KPK sendiri hingga revisi UU Pemberantasan Tipikor dan UU No. 20 Tahun 2002 tentang KPK.

Dikatakan Romli, kritik-kritik yang kerap dilontarkannya terhadap KPK semata untuk perbaikan terhadap KPK dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi. “Jangan sampai pemberantasan korupsi justru melanggar aturan,” kritiknya.

Romli yang juga menjabat Direktur Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik (LPIKP) menilai berdasarkan penelitian yang dilakukan lembaganya, perlu ada perubahan cara pandang terhadap penyelesaian tindak pidana korupsi. Menurutnya melihat fakta yang ada saat ini, tindak pidana korupsi seolah tak akan pernah selesai. Namun, korupsi dapat menurun dengan sendirinya apabila tercipta keadilan sosial.

Dia menambahkan kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK pun diakui Romli melanggar hak asasi manusia. Sebab, kewenangan penyadapan yang dilakukan KPK tanpa melalui izin pengadilan. Namun begitu, tujuan penyadapan agar KPK mengedepankan asas kehati-hatian. “Tapi memang harus ada evaluasi perbaikan, bukan melemahkan atau membubarkan,” katanya.
Tags:

Berita Terkait