Putusan Korupsi e-KTP, “Serupa Tapi Tak Sama”
Utama

Putusan Korupsi e-KTP, “Serupa Tapi Tak Sama”

Meski menganulir sejumlah aliran dana ke anggota DPR dan peran “bersama-sama” Setya Novanto, majelis hakim mengakui adanya fakta pertemuan-pertemuan para terdakwa dengan Setya Novanto.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Irman dan Sugiharto masing-masing divonis 7 tahun dan 5 tahun penjara karena dinilai terbukti melakukan korupsi dalam pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
Irman dan Sugiharto masing-masing divonis 7 tahun dan 5 tahun penjara karena dinilai terbukti melakukan korupsi dalam pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
Majelis hakim yang diketuai Jhon Halasan Butar Butar menyatakan Irman dan Sugiharto terbukti bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama dalam proses pembahasan anggaran dan pelaksanaan proyek penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) secara nasional atau KTP elektronik (e-KTP) tahun 2011-2013 sebagaimana Pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

"Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa I Irman selama tujuh tahun dan denda RP500 juta subsidair enam bulan kurungan. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa II Sugiharto selama lima tahun dan denda Rp400 juta subsidair enam bulan kurungan," kata Jhon saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/7/2017).

Selain itu, Irman dihukum membayar uang pengganti sejumlah AS$500 ribu dikurangi AS$300 ribu dan Rp50 juta yang telah dititipkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)untuk dirampas oleh negara. Sementara, Sugihartodihukum membayar uang pengganti sejumlah AS$50 ribu dikurangi AS$30 ribu dan satu unit mobil Honda Jazz senilai Rp150 juta yang telah dititipkan kepada KPK untuk dirampas oleh negara.

Kedua terdakwa diwajibkan membayar uang pengganti selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Apabila dalam jangka waktu tersebut uang pengganti tidak dibayar, harta benda Irman dan Sugiharto akan disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti.

Dalam hal Irman dan Sugiharto tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka Irman dipidana dengan pidana penjara selama dua tahun, sedangkan Sugiharto dipidana dengan pidana penjara selama satu tahun.

Apabila melihat strafmaat atau berat ringan hukuman, putusan majelis “serupa” dengan tuntutan penuntut umum. Besaran uang pengganti pun tidak berbeda jauh dengan tuntutan penuntut umum. Perbedaan mencolok justru terdapat dalam pertimbangan putusan majelis. Baca Juga: Sesal Terdakwa Korupsi e-KTP Tak Goyahkan Keyakinan Jaksa

Banyak nama “besar” yang disebut penuntut umum menerima aliran uang e-KTP, "hilang" dalam pertimbangan majelis. Mengacu surat tuntutan, terdapat 41 pihak yang diuntungkan dari korupsi proyek e-KTP, termasuk Irman dan Sugiharto. Namun, dalam putusan, jumlah pihak yang diuntungkan “menyusut” hampir setengahnya.

Dari unsur DPR, hanya terdapat tiga nama yang dianggap majelis terbukti menerima aliran dana e-KTP. Pertama, politikus Partai Hanura yang juga mantan anggota Komisi II DPR Miryam S Haryani. Kedua, politikus Partai Golkar yang ketika itu juga duduk sebagai anggota Komisi II, Markus Nari. Ketiga, politikus Partai Golkar Ade Komarudin.

Tak hanya nama sebagian besar anggota DPR yang “lenyap”, dana sejumlah Rp50 juta dan AS$4,5 juta yang disebut penuntut umum mengalir ke mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi juga “dianulir” majelis. Berikut perbandingan penerima aliran dana versi penuntut umum dan majelis:
Tuntutan Putusan Keterangan
No Nama Nilai Nama Nilai
1 Irman AS$573,7 ribu, Rp2,298 miliar, dan Sing$6000 Irman AS$500 ribu Uang-uang itu diterima Irman dari Andi Agustinus alias Andi Narogong, Sugiharto, serta uang Irman yang dikelola Suciati. Dimana, ada sebagian uang yang dikelola Suciati diserahkan kepada Diah dan Gamawan.

Mengingat uang-uang tersebut digunakan untuk kepentingan Irman, maka sebesar itu pula keuntungan yang dinikmati Irman.
2 Sugiharto AS$450 ribu dan Rp460 juta Sugiharto AS$50 ribu Dalam surat tuntutan disebutkan, seluruh uang yang diterima berjumlah AS$2,35 juta dan Rp460 juta. Uang itu bersumber dari Andi dan Johannes Marliem, masing-masing diterima Sugiharto melalui Yosep Sumartono dan Husni Fahmi, serta dari Paulus Tannos. Namun, tidak semua uang digunakan untuk kepentingan Sugiharto. Sebagian uang, sebesar Rp1,9 miliar, atas perintah Irman, diberikan kepada beberapa orang, yakni Miryam S Haryani, Ade Komaruddin, Markus Nari.

Uang yang dianggap menjadi keuntungan Sugiharto hanya AS$450 ribu dan Rp460 juta. Apabila dirinci, terdiri dari : uang AS$30 ribu dari Paulus, AS$400 ribu dari Paulus dan Johannes yang digunakan untuk membayar jasa advokat Hotma Sitompoel guna memberikan bantuan hukum kepada Sugiharto atas laporan Handika Honggowongso di Polda Metro Jaya, AS$20 ribu dari Johannes yang kemudian dibelikan mobil Honda Jazz seharga Rp150 juta, sedangkan sisanya Rp40 juta digunakan untuk kepentingan Sugiharto, serta uang Rp460 juta yang bersumber dari DIPA Ditjen Dukcapil dibagi-bagikan ke sejumlah pihak.

Sejumlah pihak dimaksud adalah Wulung (auditor Badan Pemeriksa Keuangan), Dwi Satuti Lilik, Ruddy Indrato Raden, Bistok Simbolon (Deputi Bidang Politik dan Keamanan pada Sekretariat Kabinet), Wisnu Wibowo, dan pihak-pihak lain terkait dengan perencanaan, penganggaran, review, dan pelaksaan pekerjaan proyek e-KTP.

Sementara, dalam putusan, Sugiharto hanya dibebankan uang pengganti AS$50 ribu karena uang AS$400 ribu telah diserahkan kepada Hotma Sitompel melalui Mario Cornelio Bernardo untuk membayar jasa advokat. Oleh karena itu, Hotma disebut majelis sebagai salah satu pihak yang diuntungkan.
3 Gamawan Fauzi Rp50 juta dan AS$4,5 juta X X Dalam tuntutan disebutkan uang sejumlah AS$4,5 juta diberikan secara bertahap sebanyak dua kali melalui Afdal Noverman atau Asmin Aulia. Sementara, uang Rp50 juta merupakan pemberian Irman yang bersumber dari uang yang diterima Irman dan dikelola Suciati.
4 Diah Anggraini AS$500 ribu dan Rp22,5 juta Diah Anggraini AS$500 ribu Dahulu Diah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kemendagri. Dalam pertimbangan putusan, Diah disebut menerima uang dari Andi Narogong sejumlah AS$200ribu. Selain itu, Diah jugamenerima uang dari Irman sebesar AS$300ribu,sehingga seluruhnya berjumlah AS$500ribu.
5 Drajat Wisnu Setyawan AS$40 ribu dan Rp25 juta Drajat Wisnu Setyawan AS$40ribu dan Rp25juta Ketua Panitia Pengadaan proyek e-KTP
6 Panitia lelang Rp60 juta Panitia lelang Rp60 juta Uang diberikan kepada enam orang panitia lelang e-KTP, masing-masing Rp10 juta
7 Husni Fahmi AS$20 ribu dan Rp10 juta Husni Fahmi AS$20 ribu dan Rp10 juta Ketua Tim Teknis proyek e-KTP
8 Anas Urbaningrum AS$5,5 juta X X Dalam surat tuntutan disebutkan uang sejumlah AS$500 ribu itu disebut diberikan melalui Eva Ompita Soraya. Pemberian AS$500 ribu merupakan kelanjutan dari pemberian pada April 2010 sejumlah AS$2 juta yang diberikan melalui Fahmi Yandri.

Sebagian uang digunakan untuk membayar akomodasi kongres Partai Demokrat di Bandung. Sebagian lagi, AS$400 ribu diberikan kepada Khatibul Umam Wiranu selaku anggota Komisi II DPR dan AS$100 ribu diberikan kepada Jafar Hafsah (Ketua Fraksi Partai Demokrat menggantikan Anas pasca terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat) yang kemudian dibelikan mobil Toyota Land Cruiser. Pada Oktober 2010, Andikembali memberikan uang sejumlah AS$3 juta kepada Anas.
9 Melcias Marchus Mekeng AS$1,4 juta X X Ketua Badan Anggaran DPR
10 Olly Dondokambey AS$1,2 juta X X Wakil Ketua Banggar DPR
11 Tamsil Linrung AS$700 ribu X X Wakil Ketua Banggar DPR
12 Mirwan Amir AS$1,2 juta X X Wakil Ketua Banggar DPR
13 Arief Wibowo AS$108ribu X X Anggota Komisi II DPR
14 Chaeruman Harahap AS$584ribu dan Rp20 juta X X Ketua Komisi II DPR
15 Ganjar Pranowo AS$520 ribu X X Wakil Ketua Komisi II DPR
16 Agun Gunanjar Sudarsa AS$1,047 juta X X Wakil Ketua Komisi II DPR. Setelah itu, Agun menggantikan Chaeruman sebagai Ketua Komisi II DPR
17 Mustoko Weni AS$408ribu X X Anggota Komisi II DPR
18 Ignatius Mulyono AS$258ribu X X Anggota Komisi II DPR
19 Taufik Effendi AS$103 ribu Wakil Ketua Komisi II DPR
20 Teguh Djuwarno AS$167ribu X X Wakil Ketua komisi II DPR
21 Miryam S Haryani AS$23 ribu Miryam S Haryani AS$1,2 juta Miryam merupakan anggota Komisi II DPR. Dalam putusan disebutkan bahwa uang AS$1,2 juta yang diserahkan Sugiharto kepada Miryam berasal dari Andi.
22 Rindoko, Nu'man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz, dan Jazuli Juwaini AS$185 ribu X X Dalam surat tuntutan disebutkan uang diberikan kepada lima orang selaku Kapoksi pada Komisi II DPR dengan besaran masing-masing AS$37 ribu
23 Markus Nari AS$13 ribu dan Rp4 miliar Markus Nari AS$400 ribu atau Rp4 miliar Markus adalah anggota Komisi II DPR. Dalam putusan disebutkan, Sugiharto menerima uang AS$1,5 juta dari Vidi Gunawan (adik kandung Andi) melalui Yosep dan AS$300 ribu dari Paulus Tannos melalui Yosep.

Dari uang yang diterima Sugiharto, AS$400diserahkan kepada Markus. Sebab, ketika itu, Markus datang ke kantor Irman, dimana ada pula Sugiharto, meminta uang Rp5miliar. Atas permintaan Markus, Sugiharto meminta uang kepadaAnang S Sudihardjo(Direktur Utama PT Quadra Solution),lalu Anang meminta Vidi menyerahkan uang kepada Sugiharto.

Meski jumlah tidak sesuai dengan permintaan Markus, yakni AS$400 ribu atau Rp4 miliar, Markus tetap menerima dengan menjawab, “Iya, nggak apa-apa”.
24 Yasonna Laoly AS$84 ribu X X Anggota Komisi II DPR
25 Khatibul Umam Wiranu AS$400 ribu X X Anggota Komisi II DPR
26 M Jafar Hapsah AS$100 ribu X X Anggota DPR
27 Ade Komarudin AS$100 ribu Ade Komarudin AS$100 ribu Ade merupakan anggota DPR. Dalam putusan disebutkan, Sugiharto menyerahkan titipan uang dari Andi kepada Irman, Diah, dan dirinya sendiri, masing-masing sejumlah AS$300ribu, AS$300 ribu, dan AS$100 ribu.

Selanjutnya, Sugiharto menyerahkan uang AS$100 ribu yang diterimanya kepada Ade melalui Drajat Wisnu Setyawan.
28 Abraham Mose, Agus Iswanto, Andra Agusalam, dan Darma Mapangara Rp6 miliar
Abraham Mose, Agus Iswanto, Andra Agusalam, dan Darma Mapangara Rp6 miliar
Para Direksi PT LEN Industri, masing-masing menerima Rp1 miliar, serta untuk kepentingan gathering dan SBU, masing-masing Rp1 miliar, sehingga seluruhnya berjumlah Rp6 miliar
29 Wahyudin Bagenda Rp2 miliar X X Direktur Utama PT LEN Industri
30 Marzuki Ali Rp20 miliar X X Ketua DPR
31 Johanes Marliem AS$14,88 juta dan Rp25,242 miliar Vendor penyedia barang merek L-1
32 37 anggota Komisi II lain X X Dalam surat tuntutan disebutkan, masing-masing mendapatkan uang berkisar antara AS$13 ribu sampai AS$18 ribu
33 Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi, dan Kurniawan Rp420 juta
Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi, dan Kurniawan Rp420 juta Para anggota Tim Fatmawati, masing-masing menerima Rp60 juta
34 Mahmud Toha Rp3 juta
Mahmud Toha Rp3 juta
Auditor BPKP. Sebelum konsorsium PNRI ditetapkan sebagai pemenang proyek e-KTP, seluruh rangkaian pelaksanaan lelang terlebih dahulu dilakukan review oleh BPKP. Namun, review tersebut hanya terkait dengan formalitas dari proses pelelangan. Atas review itu, Irman melalui Drajat memberikan Rp3 juta kepada Mahmud Toha.
35 Manajemen Bersama Konsorsium PNRI Rp137,989 miliar
Manajemen Bersama Konsorsium PNRI Rp137,989 miliar
Manajemen bersama menampung potongan sebesar 2-3 persen dari jumlah pembayaran proyek e-KTP yang diterima Konsorsium PNRI.
36 Perum PNRI Rp107,71 miliar Perum PNRI Rp107,71 miliar Konsorsium pemenang proyek e-KTP
37 PT Sandipala Artha Putra Rp145,851 miliar PT Sandipala Artha Putra Rp145,851 miliar Konsorsium pemenang proyek e-KTP
38 PT Mega Lestari Unggul Rp148,863 miliar PT Mega Lestari Unggul Rp148,863 miliar Bahwa selain dibayarkan pada anggota konsorsium, terdapat pula pembayaran kepada Bank Artha Graha untuk pembayaran hutang perusahaan yang bukan anggota konsorsium dan tidak terkait dengan pelaksanaan proyek e-KTP, yakni PT Mega Lestari Unggul yang merupakan holding company PT Sandipala Artha Putra sejumlah Rp148,863 miliar
39 PT LEN Industri Rp3,415 miliar PT LEN Industri Rp3,415 miliar Konsorsium pemenang proyek e-KTP
40 PT Sucofindo Rp8,231 miliar PT Sucofindo Rp8,231 miliar Konsorsium pemenang proyek e-KTP
41 PT Quadra Solution Rp79 miliar PT Quadra Solution Rp79 miliar Konsorsium pemenang proyek e-KTP

Salah satu penyebab “hilangnya” sejumlah nama penerima aliran duit e-KTP adalah karena majelis tidak menemukan cukup bukti mengenai realisasi pembagian uang-uang tersebut. Terlebih lagi, Miryam, di persidangan, mencabut keterangannya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidikan, serta membantah menerima dan membagi-bagikan uang.

Jhon menyatakan, meski penuntut umum menganggap pencabutan BAP Miryam tidak berdasar dan masih mempergunakan keterangan Miryam dalam BAP sebagai dasar untuk menyusun surat tuntutan, majelis berpendapat keterangan saksi dalam BAP di tingkat penyidikan tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti.

“BAP di tingkat penyidikan pada hakikatnya hanya merupakan pedoman untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara, bukan sebagai alat bukti keterangan saksi. Keterangan saksi yang dapat berfungsi sebagai alat bukti yang sah adalah keterangan yang diberikan oleh saksi di persidangan,” ujarnya.

Oleh karena itu, sambung Jhon, keterangan saksi Miryam yang dipergunakan sebagai alat bukti adalah keterangan yang diberikan di persidangan. Walau begitu, majelis tidak menampik adanya fakta-fakta hukum mengenai keterlibatan anggota DPR dan beberapa pihak lain dalam proses penganggaran dan pelaksanaan proyek e-KTP.

Aliran Dana ke DPR dan “Kendali” Setya Novanto yang Tak Terbukti
Hakim anggota Frangki Tambuwun menguraikan, terkait pembahasan anggaran proyek e-KTP, Irman selaku Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sempat dipanggil oleh Ketua Komisi II DPR Burhanudin Napitupulu atau biasa disapa “Burnap”.

“Burnap menyatakan mendukung, ‘Tapi sayadi sini bukan kepala, saya ketua. Untuk mengajak teman-temanini perlu perhatian’. Waktu itu, terdakwa I (Irman) langsung menangkap kata-kata perlu perhatian sebagai perlu uang untuk kawan-kawan di Komisi II DPR,” ucapnya.

Menanggapi pernyataan Burnap, Irman menyatakan tidak sanggup. Namun, Burnap menyampaikan bahwa Irman tidak akan dibebani permasalahan uang. Sebab, sudah ada seseorang bernama Andi Narogong yang akan memfasilitasi dan hal tersebut sudah disetujui Diah Anggraini.

Benar saja, sehari setelah pertemuan dengan Burnap, Diah menelepon Irman. Bahkan, Diah menginformasikan, Andi akan menghubungi Irman beberapa hari lagi dan meminta Irman menerima Andi dengan baik. Lantas, Andi datang ke ruang kerja Irman di Kemendagri dan Irman mengenalkan Andi kepada Sugiharto.

Irman menyarankan kepada Andi agar bergabung dengan pemenang proyek uji petik e-KTP, Winata Cahyadi (Direktur Utama PT Karsa Wira Utama). Setelah Andi bertemu Winata, ternyata tidak terjadi kesepakatan antara keduanya untuk secara bersama-sama bergabung dalam proyek e-KTP.

Dalam pertemuan itu, Andi juga menawarkan kepada Irman dan Sugiharto untuk dipertemukan dengan Setya Novanto. Berdasarkan penyampaian Andi kepada Irman, Andi menyebutkan “kunci” anggaran bukan di Komisi II, melainkan Setya Novanto.

Frangki melanjutkan, beberapa hari kemudian, sekitar pukul 06.00 WIB, para terdakwa bersama-sama Andi dan Diah melakukan pertemuan dengan Setya Novanto di Hotel Gran Melia. Saat itu, Setya Novanto yang sekarang menjabat sebagai Ketua DPR adalah Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR.

“Terdakwa I dan Andi Narogong kembali menemui Setya Novanto di ruangannya di lantai12 DPR RI. Dalam pertemuan, terdakwa I dan Andi Narogong meminta kepastian kesiapan anggaran untuk proyek e-KTP. Atas pertanyaan tersebut, Setya Novanto menyatakan bahwa ia akan berkoordinasi dengan pimpinan fraksi lainnya,” tuturnya.

Setelah itu, terjadi beberapa pertemuan, antara lain pertemuan di Hotel Sultan yang dihadiri Irman, Sugiharto, Ketua Tim Teknis e-KTP Husni Fahmi, Andi, dan Johanes Richard Tanjaya (rekanan Kemendagri dalam proyek SIAK TA 2009). Pertemuan ini disebut sebagai awal mula terbentuknya “Tim Fatmawati”.

Sekitar Oktober 2010, para terdakwa melakukan pertemuan dengan Diah, Andi, Husni, Chaeruman Harahap, dan Johannes Marliem. Irman dan Sugiharto diperkenalkan dengan Johannes selaku provider produk AFIS merek L-1 yang akan dipergunakan dalam proyek e-KTP. Atas arahan itu, para terdakwa menyetujui. Irman mengarahkan Johannes untuk langsung berhubungan dengan Ketua Tim Teknis e-KTP, Husni.

Pasca persetujuan anggaran Komisi II DPR, Andi menggelontorkan uang sejumlah AS$200 ribu kepada Diah. Selain uang AS$200 ribu, Diah juga menerima uang dari Irman sejumlah AS$300 ribu, sehingga jumlah total uang yang diterima Diah sebesar AS$500 ribu.

Kemudian, pada 21 Desember 2010, Mendagri Gamawan Fauzi mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan Agus Martowadjojo yang pada pokoknya meminta izin proyek e-KTP dilaksanakan secara tahun jamak (multiyears) dengan anggaran sejumlah Rp5,952 triliun. Permohonan itu merupakan permohonan kedua setelah permohonan pertama pada 25 Oktober 2010 ditolak Agus. Alhasil, permohonan Gamawan pun disetujui Kementerian Keuangan.

Frangki mengungkapkan, pada akhir 2011, Sugiharto mendatangi ruang kerja Irman. Di ruang kerja itu, hanya ada Irman dan Sugiharto. Lalu, Sugiharto memperlihatkan kepada Irman secarik kertas berisi catatan yang menurut Sugiharto berasal dari Andi. Isinya, antara lain rencana pemberian uang dari Andi kepada Setya Novanto, Anas Urbaningrum, Marzuki Ali, Chaeruman, dan Komisi II DPR RI.

“Mengenai realisasi rencana pemberian uang kepada pihak-pihak yang membantu, dari laporan terdakwa II, dimana terdakwa II mendapat informasi dari Andi Narogong bahwa untuk termin I, II, III, dan IV, Anang S Sudihardjosudah menyerahkan kepada Andi Narogong untuk disalurkan kepada pihak-pihak di DPR. Akan tetapi, apakah Andi Narogong sudah menyalurkan secara langsung kepada pihak-pihak di DPR, terdakwa I tidak mengetahuinya,” terangnya.

Terkait dengan penyerahan uang kepada pihak DPR, majelis hanya mendapatkan fakta mengenai adanya penyerahan uang kepada Miryam, Markus Nari, dan Ade Komarudin. Frangki mengatakan, penyerahan uang kepada Miryam dan Markus, sesuai dengan keterangan para terdakwa yang didukung oleh saksi Diah, Ahmad Fauzi, dan Yosep Sumartono.

Berdasarkan fakta hukum di persidangan, majelis berpendapat, uang yang diserahkan kepada Miryam seluruhnya berjumlah AS$1,2 juta. Uang itu diberikan dalam empat tahap. Pertama dilakukan melalui Yosep sebanyak AS$100ribu, sedangkan sisanya diberikan secara langsung oleh Sugiharto dalam tiga kali penyerahan kepada Miryam melalui ibunya yang bertempat di rumah Miryam.

Sementara, untuk pemberian uang AS$400 ribu atau Rp4 miliar kepada Markus, diserahkan secara langsung oleh Sugiharto kepada Markus di sebuah gedung tua dekat gedung TVRI, Senayan. Ketiga, uang AS$100 ribu untuk Ade Komarudin, diserahkan Sugiharto melalui Drajat Wisnu Setyawan.

Selain meyakini pemberian uang kepada tiga anggota DPR, majelis dalam pertimbangannya menyakini terdapat "kongkalikong" antara kedua terdakwa dengan sejumlah pihak dalam proses penganggaran dan pelaksanaan pengadaan e-KTP. Akan tetapi, pihak yang dianggap melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan para terdakwa, berbeda dengan penuntut umum.

Bila penuntut umum menilai perbuatan korupsi Irman dan Sugiharto yang merugikan keuangan negara sebesar Rp2,314 triliun itu dilakukan bersama-sama Setya Novanto, Diah Anggraini, Drajat Wisnu Setyawan, Andi Narogong, dan Ketua Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Isnu Edhi Wijaya, lain halnya dengan majelis.

Majelis hanya menyebut terjadi kolusi antara Irman, Sugiharto, Diah, Andi, dan calon peserta lelang untuk memenangkan konsorsium tertentu dengan cara yang tidak benar. Konsorsium dimaksud adalah Konsorsium PNRI yang terdiri dari Perum PNRI, PT Sandipala Artha Putra, PT LEN Industri, PT Sucofindo, dan PT Quadra Solution.

Meski pertimbangan majelis tak “serupa” dengan dalil yang dikemukan penuntut umum, tetapi majelis berkesimpulan semua unsur dalam dakwaan kedua, Pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP telah terpenuhi. Majelis pun menjatuhkan hukuman kepada Irman dan Sugiharto setelah mempertimbangkan sejumlah hal memberatkan dan meringankan.

Beberapa hal memberatkan, antara lain perbuatan kedua sangat merugikan negara dan masyarakat karena proyek e-KTP merupakan program nasional yang sangat strategis dan penting. Akibat perbuatan para terdakwa yang bersifat masif berdampak pada kedaulatan pengelolaan data kependudukan nasional, serta masih dirasakan hingga kini dengan banyaknya masyarakat yang belum memiliki e-KTP.

Di samping itu, hal-hal meringankan yang menjadi pertimbangan majelis adalah kedua terdakwa belum pernah dihukum, mengakui, dan menyesali perbuatannya. Kedua terdakwa juga telah mengembalikan sebagian uang yang diperolehnya dan telah ditetapkan sebagai justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama.

Dua catatan jaksa
Menanggapi putusan majelis, pengacara Irman dan Sugiharto, Soesilo Aribowo mengatakan pihaknya masih pikir-pikir untuk menentukan sikap. Ia belum bisa memastikan apakah kedua terdakwa akan menerima putusan atau mengajukan banding. Kendati demikian, ia menganggap putusan majelis sangat berat.

“Mengenai putusan tadi cukup berat ya, karena ternyata majelis hakim me-reconfirm apa yang dituntut oleh jaksa. Walau, di satu sisi, mengenai uang pengganti juga sesuai dengan yang kami minta dalam pembelaan. Tetapi, mengenai hukuman penjara tujuh tahun ini cukup berat ya. Harapan kami seharusnya kurang dari tujuh maupun lima tahun,” katanya.

Selanjutnya, Soesilo menyebutkan, ada fakta-fakta yang tidak terungkap di persidangan. Seperti, soal kelanjutan pemberian uang kepada Miryam dan Markus yang tidak diketahui bagaimana akhirnya. Ia menegaskan, kedua kliennya telah mengungkapkan semua fakta yang mereka ketahui di persidangan.

“(Aliran uang ke sejumlah anggota DPR lain) Itu menjadi salah satu yang kami tidak menemukan jawaban dalam putusan ini. (Pencabutan BAP Miryam) Justru itu menjadi pertanyaan saya. Pemberian pada Bu Miryam dan Pak Markus kelanjutannya seperti apa. Itu tidak ada dalam pertimbangan putusan. Kami akan berpikir ke situ,” ujarnya.

Di lain pihak, penuntut umum KPK, Irene Putrie juga menyatakan masih pikir-pikir untuk mengajukan banding. Namun, ia memberikan dua catatan atas putusan majelis. Pertama, majelis mengakui adanya korupsi dan kolusi sejak proses penganggaran proyek e-KTP di DPR. Kedua, majelis juga meyakini adanya pihak-pihak lain yang berperan mewujudkan tindak pidana korupsi tersebut sejak proses penganggaran.

Mengenai “menyusutnya” jumlah anggota DPR yang menerima aliran dana, Irene mengaku akan menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan sikap selanjutnya. Begitu pula dengan pertimbangan majelis yang tidak menggunakan BAP penyidikan Miryam. Menurutnya, majelis tidak menolak BAP Miryam, tetapi hanya tidak sependapat dengan penuntut umum yang menggunakan keterangan BAP Miryam sebagai salah satu dasar tuntutan.

Terkait Setya Novanto yang tidak lagi disebut majelis dalam pertimbangan unsur “bersama-sama” atau Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Irene masih optimistis. Sebab, majelis, dalam putusannya menguraikan adanya keterlibatan pihak-pihak lain dalam mewujudkan tindak pidana dan pertemuan-pertemuan dengan Setya Novanto. Baca Juga: Jadi Tersangka, Ada Peran Setnov dalam Penganggaran-Pengadaan Proyek e-KTP

“(Tapi) Ada fakta-fakta yang menurut kami kalau misalnya hakim sudah meyakini (korupsi dan kolusi) sejak proses penganggaran, maka harusnya ada fakta-fakta yang kemudian juga sebagaimana tuntutan kami, bagaimana kami uraikan fakta-fakta korupsi dan kolusinya sejak penganggaran. Itu yang menurut kami belum diuraikan,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait