Tafsir ‘Kegentingan yang Memaksa’ Masih Bisa Berubah
Perppu:

Tafsir ‘Kegentingan yang Memaksa’ Masih Bisa Berubah

Dipengaruhi dinamika ketatanegaraan. Boleh sepanjang tidak melanggar asas dasar pendirian negara dan hak asasi manusia.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Suasana diskusi tentang kegentingan yang memaksa di kampus Unika Atma Jaya Jakarta, 8 Agustus 2017. Foto: EDWIN
Suasana diskusi tentang kegentingan yang memaksa di kampus Unika Atma Jaya Jakarta, 8 Agustus 2017. Foto: EDWIN
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dapat diterbitkan Presiden atas dasar hal ihwal ‘kegentingan yang memaksa’. Selama ini, subjektivitas Presiden sangat menentukan anasir kegentingan yang memaksa. Karena itu, sudah ada beberapa kali pengujian Perppu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Selama ini tak ada batasan yang jelas tentang ‘keadaan yang memaksa’. Akibatnya tidak ada tafsir tunggal penyebab lahirnya Perppu. Dalam konteks inilah lahir putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yang menetapkan tiga kategori kegentingan yang memaksa. Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut memerlukan kepastian untuk diselesaikan.

Namun dalam diskusi yang digelar Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) DKI Jakarta, Selasa (08/8), berkembang pemikiran bahwa tafsir kegentingan yang memaksa masih bisa berkembang. Jadi, kegentingan yang memaksa dalam Pasal 22 UUD 1945 masih mungkin berubah di masa mendatang.

(Baca juga: Perppu Sudah Berkali-Kali Diuji ke MK, Simak Ragkuman Putusannya).

Harjono, mantan hakim konstitusi yang menjadi salah satu perumus putusan MK no. 138/PUU-VII/2009 mengenang bahwa dulu  kesepakatan majelis hakim konstitusi menerima Perppu sebagai objek pengujian MK dimaksudkan untuk menutup celah sikap otoriter Presiden. Sebagai warisan rumusan asli UUD 1945 sebelum amandemen, Pasal 22 yang mengatur Perppu memang mengandung potensi sikap otoriter. Perppu merupakan alat yang sangat kuat bagi Presiden menuangkan kehendaknya secara serta merta tanpa persetujuan DPR. Apalagi saat itu kekuasaan Presiden termasuk pula membuat undang-undang untuk selanjutnya disetujui DPR.

(Baca juga: DPR Pertanyakan ‘Ihwal Kegentingan Memaksa’ Terbitnya Perppu 1/2017).

Perppu seolah menjadi jalan pintas Presiden untuk melewati prosedur musyawarah di DPR. “Kalau kemudian Perppu ini tidak menjadi objek dari pengujian yang dilakukan Mahkamah Konstitusi, sangat-sangat berbahaya,” kata Harjono.

Apalagi jika Perppu akan menetapkan pengambilalihan kewenangan seluruh lembaga negara terpusat di tangan Presiden. Misalnya Presiden mengambil alih kewenangan DPR sekaligus membubarkan DPR. Tentu Perppu macam ini pun tidak lagi membutuhkan persetujuan DPR. Harjono menambahkan bahwa persetujuan Perppu oleh DPR bukanlah judicial review substansi Perppu terhadap konstitusi namun kesepakatan politik untuk mengesahkannya menjadi undang-undang.

Sesuai putusan No. 138/PUU-VII/2009, Harjono menegaskan, MK membedakan antara “kegentingan yang memaksa” dalam Pasal 22 UUD 1945 dengan “negara dalam keadaan bahaya” dalam  Pasal 12 UUD 1945. Sehingga batasan “kegentingan yang memaksa” dipahami MK tidak saja hanya berkenaan negara dalam keadaan bahaya.

Kepada hukumonline, Harjono menjelaskan kriteria yang ditafsirkan MK masih terbatas pada kondisi apa yang dimaksud “kegentingan yang memaksa”. MK belum menafsirkan batasan materi muatan apa yang dapat dituangkan dalam Perppu. “Itu kan masih berkaitan dengan persoalan ‘kegentingan yang memaksa’, belum bicara tentang substansinya. Kalau nanti MK memutuskan lagi ya silakan,” katanya.

Pernyataan Harjono membuka kemungkinan penafsiran kegentingan yang memaksa dan materi muatan yang bisa dituangkan dalam Perppu. Dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, materi muatan Perppu disamakan dengan materi Undang-Undang.

Dosen Hukum Tata Negara Universita Padjadjaran Bandung, Susi Dwi Harijanti berpendapat bahwa pertimbangan dan amar putusan harus dilihat secara berbeda. Amar putusan MK dapat dikatakan sebagai bentuk positive legislative yang membentuk norma baru untuk dipatuhi sebagai hukum. Namun mengenai pertimbangan atas amar putusan MK, ia menilainya baru sebagai doktrin. “Pertimbangan itu kan dasar-dasar pemikiran sebetulnya, argumentasi-argumentasi, belum membentuk sebagai sebuah kaidah (norma), yang tadi Pak Harjono mengatakan lebih pada doktrin,” katanya kepada hukumonline.

Susi juga setuju pertimbangan MK yang berisi penafsiran atas suatu pasal konstitusi masih dapat berubah. Dalam peradilan konstitusi di sistem common law Amerika pun ada putusan-putusan judicial review yang mengubah penafsiran atas suatu pasal konstitusi. Padahal sistem common law dikenal taat preseden. Jadi, perubahan tafsir terhadap ‘kegentingan yang memaksa’ juga dimungkinkan. “Bisa, sepanjang ditemukan faktor-faktor yang berbeda,” jelasnya.

Menurut Susi, perubahan penafsiran itu hal yang biasa tergantung dengan keyakinan dan pandangan Hakim. Namun demikian, ia menambahkan tetap ada rambu-rambu batasan dimana tafsiran konstitusional yang dituangkan dalam pertimbangan putusan masih dapat berkembang, “Sepanjang putusan itu dibuat dalam rangka memperkuat sendi-sendi konstitusi, termasuk disitu memperkuat perlindungan hak asasi manusia, jadi tafsiran itu dalam rangka memperkokoh itu,” lanjutnya.

Oleh karena itu, Susi menilai tidak menutup kemungkinan bahwa penafsiran mengenai “kegentingan yang memaksa” oleh MK masih akan berubah di masa yang akan datang.

Pendapat ini pun diamini oleh Daniel Yusmic. Akademisi Unika Atma Jaya Jakarta yang menulis disertasi tentang Perppu berpendapat sepanjang putusan MK mengubah tafsir itu, maka perubahan dimungkinkan. Faktanya, sudah ada beberapa putusan MK yang menganulir putusan sebelumnya. “Yang menjadi dasar kita untuk pegangan MK apa? Ya, amar putusan kan,” tegasnya saat diwawancarai hukumonline.

(Baca juga: Berbincang Seputar Seluk Beluk Perppu dengan Daniel Yusmic).

Daniel  setuju bahwa penfasiran atas pasal-pasal konstitusi masih bisa mengikuti dinamika kehidupan ketatanegaraan. Begitu pula menganai penafsiran atas “kegentingan yang memaksa” dalam putusan MK. “Mungkin saja. Kalau menurut saya selama dia tidak menjadi amar putusan itu bisa ditafsirkan,” katanya lagi.
Tags:

Berita Terkait