Hakim Perlu Berhati-Hati Menerapkan Perluasan Makna KTUN
Utama

Hakim Perlu Berhati-Hati Menerapkan Perluasan Makna KTUN

Ada dua istilah dalam UU Administrasi Pemerintahan yang perlu diperjelas agar tidak salah tafsir di lapangan.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Gedung Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Foto: HOL
Gedung Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Foto: HOL
Undang-Undang (UU) No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah memperluas cakupan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). KTUN atau Keputusan Administrasi Pemerintahan merupakan ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Perluasan itu bisa dibaca dari Pasal 87 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UUAP). Menurut pasal ini, KTUN sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009) harus dimaknai dalam beberapa cakupan.

Pertama, penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual. Kedua, Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya. Ketiga,  berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Keempat, bersifat final dalam arti lebih luas. Kelima, keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum. Keenam, keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.

(Baca juga: Menguji Asas Presumptio Iustae Causa di Lingkungan Tata Usaha Negara).

Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) bersama Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) dan Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika) telah melakukan penelitian terhadap penerapan Pasal 87 UUAP tersebut di pengadilan. “Perluasan makna telah mempengaruhi putusan pengadilan,” kata peneliti LeIP, Alfeus Jebabun.

Salah satu yang menjadi pusat perhatian tim peneliti adalah sifat ‘final’ suatu rekomendasi. Rekomendasi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) telah menjadi objek gugatan di PTUN. Majelis hakim PTU Bandar Lampung mengabulkan gugatan dengan alasan rekomendasi mengikat bagi para penjabat yang diberikan rekomendasi.

Bahkan Mahkamah Agung sendiri tampaknya sudah mulai berubah sikap. Selama ini Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tak dianggap sebagai KTUN. Tetapi dalam putusan MA No. 482K/TUN/2016, majelis hakim agung mengabulkan kasasi dengan alasan antara lain istilah final harus dimaknai sudah menimbulkan akibat hukum bagi pihak yang dikenai keputusan. Majelis juga mendasarkan pertimbangannya pada makna futuristik UUAP.

(Baca juga: Gunakan Dalil Fiktif Positif, LBH Padang Gugat Gubernur).

Dua istilah
Peneliti menduga perubahan sikap hakim ini tak lepas dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. SEMA ini mendefinisikan frasa ‘final dalam arti luas’ yang terdapat dalam Pasal 87 UUAP sebagai keputusan yang sudah menimbulkan akibat hukum meskipun masih memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain. Misalnya, izin lingkungan, dan izin penanaman modal dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Tetapi tim peneliti berpendapat definisi SEMA tentang ‘final dalam arti luas’ tak sejalan dengan maksud UUAP. Menurut UUAP, maksud frasa itu mencakup keputusan yang diambil alih oleh atasan pejabat yang berwenang. Ini adalah istilah pertama yang dapat menimbulkan masalah di lapangan.

(Baca juga: Buruh Persoalkan Objek dan Subjek TUN).

Istilah kedua adalah ‘berpotensi menimbulkan akibat hukum’. Penelitian LeIP menemukan fakta perluasan paling signifikan makna KTUN setelah UUAP terdapat pada istilah kedua ini. Penilaian anasir ini, menurut LeIP, perlu dilihat kasus per kasus (kasuistik). Salah satunya dalam kasus putusan PTUN atas rekomendasi KASN. LeIP berpendapat rekomendasi KASN belum memenuhi indikator ‘potensi’ menimbulkan akibat hukum. Kalaupun rekomendasi KASN ingin dianggap sebagai KTUN, maka rekomendasi itu harus sudah diambil alih oleh atasan pejabat yang berwenang. Dengan kata lain, jika rekomendasi KASN belum diambil alih oleh atasan pejabat yang berwenang, maka rekomendasi belum memenuhi unsur final dalam arti luas sebagai KTUN.  

LeIP memandang perlu adanya kehati-hatian dalam menerapkan istilah ‘final dalam arti luas’ dan istilah ‘berpotensi menimbulkan akibat hukum’. Untuk menghindari kesalahan penerapan kedua istilah lebih jauh, LeIP meminta Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang menyempurnakan definisi istilah ‘final dalam arti luas’ yang sejalan dengan spirit UUAP. Selain itu, Mahkamah Agung perlu merumuskan acuan atau indikator istilah ‘berpotensi menimbulkan akibat hukum’ dalam Pasal 87 huruf f UUAP agar penerapannya konsisten, tidak menghambat administrasi pemerintahan, dan tidak kontraproduktif dengan pembentukan UUAP.
Tags:

Berita Terkait