Kemenkeu Masih Kaji Level Playing Field Platform e-Commerce
Berita

Kemenkeu Masih Kaji Level Playing Field Platform e-Commerce

Sedang dilakukan diskusi dengan para pihak terkait, terutama pelaku industri e-commerce di dalam negeri untuk mengetahui lebih jauh terkait seluk beluk e-commerce.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Foto: DAN
Foto: DAN
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik atau Road Map E-Commerce pada 21 Juli 2017 lalu. Dengan aturan tersebut, pemerintah berusaha membuat landasan untuk pengembangan bisnis jual beli online di tanah air hingga tahun 2019. Kementerian Keuangan merespons Perpres tersebut dengan melakukan pengkajian terhadap beberapa hal sebelum menyusun aturan teknis pelaksanaan bisnis e-commerce.

“Sebagai model bisnis yang baru tentu kita perlu memperhatikan level playing field, harus diciptakan pemerintah termasuk dalam hal perpajakannya,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara, dalam Konferensi Pers Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2018, Senin (21/8), di Kantor Kementrian Keuangan, Jakarta.

Menurut Suahasil, sebagai model bisnis yang baru, level cakupan bisnis e-commerce perlu diciptakan mengingat sebelumnya telah ada model bisnis konvensional yang selama ini menjadi lahan pemain lama. Selain itu, Kementerian Keuangan melalui BKF dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah melakukan pendalaman untuk menentukan mekanisme perpajakan terhadap e-commerce. Hal ini dilakukan untuk mendorong industri e-commerce.

“Karena itu kita mendorong bahwa ada pendalaman antara BKF dengan DJP untuk mengetahui cara memajak yang benar itu seperti apa untuk mendorong industrinya,” ujarnya.

Suahasil mensinyalir pertumbuhan dan potensi platform e-commerce cukup tinggi di Indonesia meskipun sebagian pihak mengatakan masih relatif kecil. Ia mencontohkan dengan adanya para pedagang yang selain menjual barangnya secara konvensional di toko-toko tapi juga melakukan penjualan secara online. (Baca Juga: ‘Aturan Turunan’ Road Map e-Commerce Jangan Sampai Hambat Pelaku Usaha)

“Artinya para pedagang ini melihat bahwa dengan berjualan secara online itu dia membuka pasarnya lebih jauh dari pada sekedar toko,” terang Suahasil. 

Terkait pembayaran pajaknya, Staf Ahli Kepatuhan Pajak, Suryo Utomo, mengatakan pihaknya sedang melakukan diskusi dengan para pihak terkait, terutama pelaku industri e-commerce di dalam negeri untuk mengetahui lebih jauh terkait seluk beluk e-commerce. “Pergerseran pola transaksi dari konvensinal menjadi E-Commerce merupakan konsen kami juga di Kementrian Keuangan,” ujar Suryo.

Ia berharap dalam waktu dekat mampu mendefinisikan lebih jauh terkait model transaksi e-commerce sehingga bisa menentukan tata cara perpajakannya. ”Mudah-mudahan akan lebih efisien dan kami juga akan berkomunikasi dengan BKF untuk menentikan skema pemajakan yang akan dilakukan,” katanya.

Baca Juga:
·    Mengintip Isi RPP E-Commerce
·    Peraturan BI Soal National Payment Gateway Terbit, Ini Poin-Poin Pentingnya

Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, metode transaksi e-commerce yang menggunakan perangkat elektronik sebenarnya lebih mudah dideteksi. Hal ini dikarenakan sistem pembukuan yang dilakukan dengan cara otomatis, sehingga menurutnya ketaatan pelaku industri e-commerce lebih mudah diidentifikasi.

“Sebetulnya dari sisi e-commerce semua transaksinya itu karena secara elektronik, itu jauh lebih bisa kita deteksi. Untuk UKM sebenarnya mereka juga pembukuannya secara otomatis bisa dari situ. Jadi teoritis dari sisi perpajakan mereka biasanya akan jauh lebih mudah ketaatannya,” terang Perempuan yang sering disapa Ani tersebut.

Sementara untuk pelaku industri e-commerce yang berada diluar negeri dan melakukan transaksi perdagangan dengan dengan orang di Indonesia, Ani mengatakan akan mendiskusikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan negara-negara anggota G20.

Menurut Ani, salah satu persoalan penting yang dihadapi oleh negara-negara adalah selain mendeteksi transaksi e-commerce, tapi juga tentang pengenaan pajak terhadap transaksi yang terjadi di tempat yang berbeda dengan tempat penjualan. 

“Pemajakan dari sisi bisnis yang basisnya digital ini bukan pada persoalan mendeteksinya tapi untuk negara yang cukup besar seperti di Indonesia, jualnya itu di Provinsi a kemudian yang membeli di Propinsi b maka pajaknya harusnya ada di mana. Nah itu kan beda sekali kalau kita memiliki toko, tokonya ada di situ,” ujarnya.

Ia memprediksi, perubahan dari sisi revenue sharing ini akan menjadi sesuatu yang sangat dinamis. Oleh karena itu perlu pembacaan mendalam oleh Kementerian Keuangan. “Jadi tim keuangan sekarang: BKF, Pajak, Bea cukai, sekarang melakukan pembacaan agar kita juga bisa meresponnya secara baik,” tuturnya.

Direktur Direktorat Jendereal Bea Cukai, Kementerian Keuangan, Heru Pambudi, menyatakan sebenarnya selama ini, sistem yang berlaku di beberapa provider e-commerce di Indonesia telah menunjang mekanisme kepabeanan di tanah air. Hal ini menurut Heru telah menaikkan transparansi dari pada nilai pabean atau harga impornya.

“Mereka sepenuhnya akan menyerahkan data transaksinya kalau ini ekspor impor tentunya kepada Bea cukai,” ujarnya.

Heru menilai, isu lain yang layak mendapat perhatian dari industri e-commerce mengenai keseimbangan perlakuan perpajakan antara model transaksi konvensional denagn model transaksi e-commerce. Hal ini agar nantinya tidak terjadi persoalan di kemudian hari.

Selain itu, isu keseimbangan atau harmonisasi antara transaksi yang tangible dan intangible. “Karena e-commerce juga bisa diberlakukan untuk objek yang intangible. Jadi kita beli barang yang sebenarnya biasa, secara fisik kita bisa lihat tetapi kita juga bisa beli barang yang bentuknya misalnya software, yang ini kita sebut intangible. Ini yang level playing fieldnya harus kita perhatikan dari sisi perpajakan termasuk di dalamnya adalah kepabeanan dan pajak impornya,” pungkas Heru. 

Tags:

Berita Terkait