Skema Ponzi, Jerat Penipuan Investasi dengan Korban Bernilai Triliunan
Lipsus Waspada Investasi Ilegal:

Skema Ponzi, Jerat Penipuan Investasi dengan Korban Bernilai Triliunan

Law enforcement perlu memanfaatkan UU No.7 Tahun 2014 untuk melindungi masyarakat dan melindungi roda perekonomian negara terus berputar sebagaimana mestinya.

Oleh:
M DANI PRATAMA HUZAINI
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Charles Ponzi: BAS
Ilustrasi Charles Ponzi: BAS
Namanya Charles Ponzi. Pria kelahiran Parma, Italia, 1881, sangat populer lantaran konsep bisnisnya yang berbau kriminal. Dengan menjanjikan keuntungan fantastis, ia berhasil mengumpulkan investor untuk bergabung dengan bisnis investasi yang ia jalankan saat itu. Kepada para investor, Ponzi mengiming-imingi keuntungan 50% dalam 45 hari atau 100% dalam 90 hari.

Tanpa diketahui, keuntungan yang dibayarkan kepada para investor tersebut bukanlah laba dari usaha yang dijalankan, melainkan dana dari investor baru yang juga tertarik dengan iming-iming keuntungan besar yang ditawarkan dalam waktu singkat. Akibat menjalankan konsep investasi tersebut, Ponzi mampu meraup AS$250 ribu perhari, hingga sanggup membeli rumah mewah di Lexington, Massachusetts, Amerika Serikat.

Demikian latar belakang modus penipuan berkedok investasi yang saat ini dikenal dengan Skema Ponzi yang sangat masyhur tersebut. Masyarakat sering diperhadapkan dengan tawaran investasi yang beragam bentuknya, yang paling sering ditemui misalnya tabungan jangka panjang, arisan, investasi emas, asuransi, dan lain sebagainya. Namun seiring menjamurnya praktik investasi di masyarakat, ada saja sejumlah orang yang mengambil manfaat dari hal tersebut untuk melakukan penipuan.

Masyarakat peserta bisnis investasi biasanya tidak menyadari akan bahaya praktik investasi yang sedang mereka jalani. Sampai pada waktu tertentu, iming-iming keuntungan yang dijanjikan tidak lagi diperoleh,baru mereka menyadari telah menjadi korban penipuan berkedok praktik investasi.

(Baca Juga: Non-Conviction Based Asset Forfeiture untuk Buru Aset Pelaku Investasi Ilegal)

Deputi Pelayanan Penanaman Modal, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Indah Lestari, mengatakan hal utama yang mesti diperhatikan dari maraknya fenomena penipuan berkedok investasi yang menjamur dimasyarakat adalah kecenderungan masyarakat yang ingin memperoleh keuntungan instan dari praktik investasi yang ditawarkan.

Keinginan tersebut yang mengakibatkan munculnyapraktik-praktik investasi bodong. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya melakukan pencegahan kepada masyarakat agar tidak mudah terjebak kedalam praktik penipuan berkedok investasi. Langkah pencegahan yang dimaksud menurut Indah dimulai dengan memberikan pemahaman kepada masyarkat mengenai investasi.

“Sarannya buat masyarakat adalah yang pasti harus mendapatkan edukasi dulu,” terang Indah dalam acara seminar yang diselenggarakan oleh Asosiasi Penjualan Langsung Indoensia (APLI), beberapa waktu lalu.

Indah menekankan aspek pencegahan melalui langkah edukasi mengingat begitu besar dampak yang langsung dirasakan masyarakat akibat terjerumus dalam jebakan praktik investasi bodong. Tidak jarang masyarakat peserta invetstasi bodong menjual sejumlah asetnya hanya untuk bisa mengikuti program investasi yang ditawarkan agar lebih cepat memperoleh keuntungan yang lebih besar. Bisa dibayangkan dampak yang dialami oleh peserta investasi dikemudian hari apabila ternyata bisnis investasi yang mereka ikuti  adalah modus penipuan?

Di Albania, tahun 1996–1997, terdapat 10 perusahaan yang menjalankan penipuan berkedok investasi dengan menggunakan skema ponzi. Jumlah uang yang terkumpul bahkan mencapai 50 % Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Albania. Korban dari praktik skema Ponzi bahkan mencapai 2/3 dari total penduduk Albania. Hal ini mengakibatkan kelumpuhan roda pemerintahan di Albania. Erin Skarda dalam media lokal mencatat kerusuhan saat itu mengakibatkan tewasnya 2.000 orang Albania dan nyaris memulai perang saudara di negara tersebut.

(Baca Juga: Belajar dari Kasus Pandawa, Mari Kenali Kriteria Perusahaan Investasi Ilegal)

Di Rusia, tahun 1990-1994, Sergie Mavrodi menerapkan skema ponzi dengan menggunakan baju social financing network. Komunitas pendanaan bersama atau het help ini memakan korban 10-20 juta orang. Rata-rata korban tersebut langsung jatuh miskin dan 50 korbannya melakukan bunuh diri secarra masal karena depresi.

Sergie Mavrodi kemudian dipenjara 4 tahun (2003-2007). Setelah keluar penjara, ia melanjutkan bisnisnya di India pada 2011 yang kemudian ditutup oleh Pemerintah India setahun  berselang. Sementara di Amerika Serikat, Mantan CEO Nasdaq, Bernard Madoff mendirikan sebuah Hedge Fund bernama Bernard L. Madoff Investmen Securities. Madoff Investment kemudian bangkrut pada 2008 sehingga memakan kerugian AS$ 65 M, Madoff kemudian divonis penjara 150 tahun.

Hukumonline.com

Bagaimana di Indonesia? Majalah Network News, 2016, memaparkan sederet kasus Skema Ponzi telah terjadi di tanah air. Yayasan Koperasi Adil Makmur (YKAM), Promail, Probest, Higam Net, Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Pinrang di Sulawesi Selatan, PT. Banyumas Mulya Abadi (BMA), New Era 21, PT. Pohonmas Mapan Sejahtera, PT. Gee Cosmos Indonesia (GCI), adalah sejumlah perusahaan yang pernah menerapkan Skema Ponzi di Indonesia.

Data APLI mencatat, selama 4 Dasawarsa (1975-2015), uang yang berhasil dihimpun oleh bisnis haram tersebut senilai Rp126 Triliun. Jumlah ini bisa digunakan untuk membangun sekitar 360 bangunan Sekolah Dasar di tanah air, dengan asumsi Rp 350 Juta per sekolah. APLI juga mencatat selama 4 Dasawarsa tersebut, sekitar 1,3 juta penduduk Indonesia yang menjadi korbannya. Ada ibu rumah tangga, guru, mahasiswa, pengusaha, karyawan/PNS, selebriti, politisi, bahkan jenderal sekalipun.

(Baca Juga: Mendudukkan ‘Si Pemberi Testimoni’ ke Kursi Pesakitan)

Kasus Dressel Investment LTD, yang merupakan lembaga investasi yang didirikan di British Virgin Islan, Karibia, Amerika Selatan. Dressel Investment masuk ke Indonesia sejak 1977. Investasi ini memberikan janji menggiurkan: bunga sebesar 24-28 persen per tahun, melebihi bunga deposito dolar yang kisarannya hanya 3-4 persen pertahun. Sedangkan dana yang digelontorkan nasabah minimal 5000 dolar (sekitar Rp 45,5 Juta).

Akibat bunga yang sedemikian, banyak orang yang tertarik menanamkan uangnya di Dressel. Selama 10 tahun berkiprah, 1997-2007, terdapat 10 ribu member yang terdaftar. Dana yang dihimpun mencapai Rp3,5 triliyun. Namun saat Polisi menyelidiki saldo di berbagai rekening milik Dressel, sebagian besar nol, paling besar hanya Rp 1 Juta.

Tempo saat itu mencatat, korban dari Dressel bukanlah orang-orang sembarangan. Politisi senior sekaligus pengusaha, Agung Laksono, telah mengucurkan dananya sekitar Rp. 10 miliar. Lalu Mira Lesmana (produser film), Sandi Harun (selebritis/mantan model), Sukamdani Sahid (pengusaha), Andi Mattalata (mantan Menteri Kehakiman dan HAM), dan sebagainya.

Selain Dressel, masih ada contoh praktik penipuan berkedok investasi di tanah air. Misalnya Koperasi Langit Biru yang tekenal karena kasusnya itu. Koperasi Langit Biru menggunakan modus investasi sembako, termasuk kepemilikan pasar swalayan yang dibangun berhektar-hektar. Koperasi yang kantor pusatnya berkedudukan diTangerang, banten ini mematok setoran nasabah sebesar Rp 3,5 Juta dengan iming-iming bunga sebesar Rp 526 rib perbulan selama 2 tahun. Selain itu, kepada nasabah diberikan pula sejumlah sembako, yang membuat investasi ini semakin menarik.

Dari praktik investasi bodong ini, Koperasi Langit Biru berhasil menggaet sekitar 115 ribu member dengan dana yang terkumpul cukup fantastik, Rp6 Triliun. Namun, lantaran beban bunga yang ditanggung tidak sebanding dengan member yang masuk, akhirnya koperasi itupun kesulitan. Pemilik koperasi, Jaya Komara, ditangkap polisi kemudian meninggal di tahanan sehingga kasusnya dihentikan sampai saat ini.

Jerat Hukum Terhadap Pelaku
Banyaknya praktik investasi bodong di masayarakat berikut jumlah kerugian yang ditimbulkan akibat praktik tesebut,ternyata masih diikuti dengan proses penegakan hukum yang belum memenuhi harapan para korban penipuan investasi bodong. Di kalangan aparat penegak hukum, seringkali terjadi pebedaan persepsi sehingga pelaku hanya dijerat oleh pasal-pasal pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) secara konvensional dengan ancaman pidana yang rendah.

Hal ini tentu saja tidak menimbulkan efek jera terhadap para pelaku, bahkan tidak jarang yang lolos dari jeratan hukum. Secara paktis hukum di Indonesia belum mampu maksimal untuk mencegah timbulnya penipuan investasi ilegal semacam ini. dalam kenyataanya, jika kemudian timbul kerugian, belum tentu aparat penegak hukum dapat segera mengambil langkah-langkah hukum yang cepat dan efektif.

Terdapat beberapa alasan yang secara prosedur menghambat berjalannya proses hukum. Antara lain, bila korban tidak melapor atau saat melapor, namun tidak membawa saksi. Oleh karena itu, dalam penyelesaian kasus-kasus penipuan investasi ini, nasabah merasa perlu menggunakan jasa penagih sehingga pada prosesnya, upaya hukum hanya menjadi pilihan terakhir.

Selain itu, paya penegakan hukum dalam penyelesaian permasalahan ini masih juga masih jauh dari manfaat yan diharapkan masyarakat. Hal ini dikerenakan belum adanya aturan hukum yang jelas yang mengatur tentang pemulihan kerugian korban. Saat ini telah ada UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang mengatur dan menjerat pelaku skema piramida dengan sanksi pidana penjara dan denda yang sangat berat, namun UU ini tidak bisa digunakan untuk pelaku skema ponzi, karena antara keduanya adalah dua hal yang berbeda secara hukum.

Sekilas, terdapat kemiripan antara skema ponzi dengan skema piramida, yang mana sama-sama mengumpulkan uang masyarakat melalui rekruitment member baru secara turun temurun. Hanya saja skema piramida sering dibungkus dalam bentuk jual beli barang atau jasa. Untuk lebih jauh memahami skema piramida, stukturnya sebagai berikut,

Struktur Skema Piramida
 
Skema Piramid dan skema Ponzi dikenal dengan istilah money game karena praktiknya merupakan perputaran uang yang dikumpulkan dari hasil partisipasi orang yang bergabung untuk dibayarkan kepada orang-orang yang merekrutnya. Misal :

•      Skemanya menggunakan 1:5, maka untuk membayar bonus 1 orang menggunakan hasil uang yang terkumpul dari biaya bergabung 5 orang baru.
•      Kemudian untuk bayar bonus 5 orang, dari 25 orang baru; bonus 25 orang dari 125 orang baru, begitu seterusnya sehingga ada titik dimana orang yang bergabung tidak mencukupi untuk membayar orang-orang yang sudah jatuh tempo untuk mendapat bonus.
•      Kondisi inilah yang disebut sebagai bom waktu yang akan sewaktu-waktu meledak, dimana pelaku sudah tidak mampu membayar bonus, dan saat itu banyak upaya untuk mengulur-ulur pembayaran sampai dititik buntu yang berakhir dengan kaburnya sang penanggung jawab perusahaan Money Game.

 

Pasal 9
“Pelaku Usaha Distribusi dilarang menerapkan sistem skema piramida dalam mendistribusikan Barang.
Pasal 105
Pelaku Usaha Distribusi yang menerapkan sistem skema piramida dalam mendistribusikan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda palingbanyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
 
“Yang dimaksud dengan skema piramida adalah istilah/nama kegiatan usaha yang bukan dari hasil kegiatan penjualan barang. Kegiatan usaha itu memanfaatkan peluang keikutsertaan mitra usaha untuk memperoleh imbalan atau pendapatan terutama dari biaya partisipasi orang lain yang bergabung kemudian atau setelah bergabungnya mitra usaha tersebut,” terang Ketua APLI, Joko Komara.

Menurut Joko, UU perdagangan telah mengatur tentang larangan Skema Piramida sehingga Kepolisian tidak perlu menggunakan delik aduan bila menindak perusahaan yang menjalankan Skema Piramida. Ini berarti, dalam pelaksanaanya, aparat tidak mesti menunggu adanya jatuh korban untuk menindak pelaku skema piramida. 

Selanjutnya Joko memaparkan bahwa dengan adanya UU Perdangngan mendatangkan manfaat yang sangat besar. Menurut Joko, terhadap bahaya skema piramida yang akan hancur karena sistemnya tidak akan mampu membayar pada titik tertentu maka diperlukan pencegahan sebelum sampai ke titik tersebut.

Sebelum ada UU No.7 Tahun2014 maka untuk menjerat pelaku skema piramida melalui delik aduan, dimana sifat skema piramida awalnya masih bisa membayar bonus-bonus maka belum ada yang dirugikan.

“Ibarat kanker belum menunjukan gejala bahayanya, sehingga praktek terus berjalan mengembungkan dana dan memperbesar calon korban, sehingga pada saat sistemnya sudah sampai ke titik dimana tidak bisa membayar maka pelaku usaha sudah kabur dahulu, dan ini terus berulang-ulang bertahun-tahun,” terang Joko.

Dengan adanya UU Perdagangan maka pemerintah dapat melakukan pencegahan sehingga mampu menindak sebelum sistemnya hancur dan tidak mampu bayar, sehingga masyarakat di selamatkan.

Menurut Joko, bahkan dalam UU Perdagangan, pengertian pelaku usaha dapat orang per orangan sehingga mampu menjerat bukan hanya pemilik perusahaan namun juga pemain-pemain (leader-leader) di Indonesia sehingga dapat memberikan efek jera. Hal ini diperlukan karena banyak pemilik usaha skema piramida yang memang menjalankan usahanya dari luar Indonesia dan praktek transaksi dan operasionalnya melalui e-commerce.

“Law enforcement perlu memanfaatkan UU No.7 Tahun2014 untuk melindungi masyarakat dan melindungi roda perekonomian negara terus berputar sebagaimana mestinya,” pungkas Joko.


Tags:

Berita Terkait