MK: Perempuan Boleh Jadi Gubernur Yogyakarta
Berita

MK: Perempuan Boleh Jadi Gubernur Yogyakarta

Melalui putusan ini, Indonesia dapat membuktikan bahwa sudah tidak ada lagi diskriminasi perempuan untuk menjadi raja, sultan atau apapun. Sebab, konstitusi sangat “mengharamkan” diskriminasi terhadap perempuan.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan HB X bersama Wakil Gubernur Yogyakarta Paku Alam X menghadiri sidang uji materi Undang-Undang tentang Keistimewaan DIY di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (17/11).
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan HB X bersama Wakil Gubernur Yogyakarta Paku Alam X menghadiri sidang uji materi Undang-Undang tentang Keistimewaan DIY di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (17/11).
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan pengujian Pasal 18 ayat (1) huruf mUU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (KDIY) terkait syarat menyerahkan daftar riwayat hidup dalam pemilihan gubernur DIY. Dalam amar putusannya,  Mahkamah menghapus frasa “yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak” dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY. Artinya, perempuan pun boleh mencalonkan diri sebagai gubernur atau wakil gubernur DIY.  

“Menyatakan frasa ‘yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak’ dalam Pasal 18 ayat (1) huuf m UU Keistimewaan DIY bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” ujar Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor No. 88/PUU-XIV/2016 di Gedung MK Jakarta, Kamis (31/8/2017).

Sebelumnya, Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY menyebutkan, “Calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat: m. menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.”

Permohonan ini diajukan 11 warga Yogyakarta yang terdiri dari aktivis perempuan, pengusaha kecil/menengah, dan Abdidalem Keraton Ngayogyakarta. Intinya, mereka menilai pasal itu bersifat diskriminasi terhadap kaum perempuan. Sebab, adanya kata “istri” ketika menyerahkan daftar riwayat hidup menimbulkan penafsiran seolah-olah harus laki-laki yang bisa menjadi calon gubernur dan wakil gubernur DIY. Hal ini menimbulkan tidak adanya kepastian hukum yang adil. (Baca Juga: Keistimewaan Suatu Daerah Harus Keinginan Masyarakat).

Bagi Para Pemohon, larangan diskriminasi terhadap wanita atau perempuan telah ditegaskan UU No. 7 Tahun 1984  tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Perempuan. Posisi negara seharusnya netral dan tidak terlalu jauh mencampuri proses internal Keraton. Para Pemohon meminta Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY, khususnya frasa “yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Mahkamah menilai adanya frasa “istri” dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan diskriminatif. Sebab, pasal tersebut bersifat akumulatif yang semua persyaratan yang ada dalam pasal itu harus terpenuhi.

“Rumusan Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY mengandung pembatasan terhadap pihak-pihak yang statusnya tidak memenuhi kualifikasi dalam norma a quo untuk menjadi calon gubernur atau calon wakil gubernur di DIY, yang di dalamnya termasuk perempuan.,” tutur Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna saat membacakan pertimbangan hukum putusan.  

Pasal 18 ayat (1) huruf c UU KDIY yang menyebut takhta Sultan Hamengku Buwono untuk calon gubernur dan takhta Adipati Paku Alam untuk calon wakil gubernur merupakan salah satu syarat. Karena itu, adanya kriteria tentang siapa yang berhak atau memenuhi syarat untuk jabatan tersebut merupakan urusan internal Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Paku Alam yang oleh UUD Tahun 1945 dan UU KDIY diakui sebagai bagian dari keistimewaan DIY.

“Mengenai siapa yang berhak atau memenuhi syarat sebagai Sultan Hamengku Buwono atau Adipati Paku Alam ditentukan oleh hukum yang berlaku dalam Kasultanan dan di Pakualaman,” tutur Palguna. (Baca juga: Pakar Hukum Ini Dukung Penghapusan Syarat Riwayat Hidup)

Bagi Mahkamah, masyarakat Indonesia yang demokratis, tidak ada gagasan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ataupun ketertiban umum yang terganggu atau terlanggar jika pihak-pihak yang disebutkan Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY, termasuk perempuan, menjadi calon gubernur atau calon wakil Gubernur di DIY.

Menurut Mahkamah pasal a quo justru merupakan bentuk campur tangan negara dalam kewenangan pemilihan pemimpin di Yogyakarta. Hal ini bertentangan dengan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan negara menghormati daerah khusus atau istimewa yang diatur dalam undang-undang.

“Adanya persyaratan penyerahan berkas riwayat hidup yang harus diserahkan saat menjadi calon gubernur justru sikap yang tidak menghormati keistimewaan Yogyakarta,” dalihnya. (Baca Juga: Sultan Yogyakarta Beri Penjelasan di Sidang MK)

Di sisi lain, aturan a quo, menurut Mahkamah tidak relevan untuk diterapkan. Sebab, kewajiban berkas riwayat hidup hanya cocok bagi daerah yang gubernurnya dipilih melalui mekanisme pilkada. “Adapun di Yogyakarta, sultan dipilih oleh internal keraton, bukan melalui pilkada.”

Di luar persidangan, Kuasa Hukum Para Pemohon, Irmanputra Sidin mengatakan putusan MK ini menjadi pesan penting bahwa perempuan bisa menjadi raja di DIY. “Saya rasa putusan MK ini sudah sangat tepat, mengingat konstitusi sangat ‘mengharamkan’ diskriminasi terhadap perempuan,” kata Irman di Gedung MK.

Karena itu, Irman berpendapat putusan ini menjadi pesan penting kepada seluruh dunia yang masih memperdebatkan dominasi kaum laki-laki seperti di negara Jepang dan lainnya. “(Lewat putusan ini) Indonesia dapat membuktikan bahwa sudah tidak ada lagi diskriminasi perempuan untuk menjadi raja, sultan, atau apapun,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait