OTT Kepala Daerah, Bukti Longgarnya Pengawasan Pemerintah Pusat
Utama

OTT Kepala Daerah, Bukti Longgarnya Pengawasan Pemerintah Pusat

Sebab yang dilakukan pemerintah pusat hanyalah pengawasan prosedural. Setidaknya dari awal tahun hingga September 2017 terdapat lima orang pejabat kepala daerah tersandung kasus korupsi.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: BAS
Ilustrator: BAS
Kepala daerah sejatinya memajukan daerah yang dipimpinnya dengan menonjolkan berbagai program yang pro rakyat. Sebaliknya, fenomena tertangkapnya kepala daerah melalui operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berbanding terbalik dengan harapan masyarakat di daerah. Pemerintah pusat pun memiliki tanggung jawab dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap kepala daerah di berbagai wilayah.

Anggota Komisi II  DPR Achmad Baidowimengatakan, banyaknya kepala daerah yang tertangkap operasi KPK sebagai fenomena negatif dalam pemerintahan daerah yang bersih. Terlebih modus yang digunakan kepala daerah kebanyakan relatif seragam, yakni, praktik suap dalam rangka memutuskan sebuah program.

Namun demikian, semakin banyaknya kepala daerah yang tertangkap menunjukkan keseriusan KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. “Namun di sisi lain menunjukkan bahwa praktik korupsi sudah akut,” ujar Baidowi, Senin (25/9). (Baca Juga: Kala Dugaan Suap Wali Kota “Berkedok” CSR Klub Sepak Bola)

Penyebabnya, betapa longgarnya pengawasan dan pembinaan dari pemerintah pusat akibat dampak dari pelaksanaan otonomi daerah. Menurut Baidowi, dengan sistem desentralisasi, kepala daerah memiliki otonomi kewenangan dalam mengatur teritorialnya. Walhasil, yang dilakukan pemerintah pusat hanyalah pengawasan prosedural. Begitu pula dengan partai politik pengusungnya tak mampu melakukan kontrol penuh.

Pasalnya sejak dilantik sebagai kepala daerah, pejabat kepala daerah memiliki otonomi kebijakan yang sulit dipantau. Penyebabnya, tingginya kasus korupsi akibat biaya politik cukup tingi dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada). Akibatnya, seseorang dipaksa mengumpulkan dana dengan berbagai cara, meski menabrak ketentuan hukum.

Atas dasar itulah politisi Partai Persatuan Pembangunan itu menyarankan, pola pengawasan dan pembinaan kepala daerah mesti dibenahi dari hulu hingga ke hilir. Tak hanya itu, model Pilkada yang berbiaya murah dan tidak menjadi beban logistik bagi calon mesti dipikirkan. Antara lain dengan melakukan pemilihan kepala daerah melalui DPRD layak dipertimbangkan kembali.

“Mengingat mudharat Pilkada langsung lebih besar. Toh, dalam Pancasila sila keempat secara jelas diatur permusyawaratan perwakilan,” ujarnya.

(Baca Juga: OTT, Sang Bupati ‘Independen’ Pertama Hingga Pengurus Ikatan Alumni FH USU)

Berdasarkan penelusuran, sepanjang 2017 hingga kini misalnya, sebanyak lima orang kepala daerah terjaring OTT KPK dengan dugaan tindak pidana korupsi. Sedangkan di periode 2016 terdapat delapan kepala daerah yang tersandung kasus korupsi. Dari kelima kepala daerah yang tertangkap KPK hingga September 2017 antara lain:
Nama Pejabat Kepala DaerahUraian singkat kasus
Walikota Batu Eddy Rumpoko Eddy resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap proyek belanja modal dan mesin pengadaan meubelair di Pemkot Batu, Malang periode anggaran 2017 senilai Rp5,26 miliar. Proyek tersebut dimenangkan oleh PT Dailbana Prima. Dalam proyek tersebut, Eddy diduga menerima fee sebesar Rp500 juta atau 10 persen dari nilai proyek.
Bupati Batubara, OK Arya Zulkarnain Zulkarnain ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Kamis (14/9) lalu setelah dilakukan penangkapan. Zulkarnain, ditengarai menerima fee dalam kasus pengerjaan pembangunan infrastruktur di Kabupaten Batubara periode 2017. Fee sebesar Rp4,4 miliar terdiri dari tiga proyek. Pertama, Rp4 miliar dari pembangunan jembatan Sentang, jembatan Sei dan proyek betinisasi jalan Kecamatan Talawi.
Walikota Tegal, Siti Masitha Soeparno Mashita dicokok KPK pada  Selasa (29/8) di rumah dinasnya di Komplek Balaikota, Tegal. Mashita ditetapkan sebagai tersangka  dalam kasus dugaan suap pengelolaan dana jasa pelayanan RSUD Kardinah Kota Tegal periode 2017 serta pengadaan barang dan jasa di periode tahun yang sama. Diduga, Masitha menerima suap sebesar Rp5,1 miliar.
Bupati Pemakasan, Achmad Syafii Syafii ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu (2/8) oleh KPK dalam kasus dugaan suap menghentikan penanganan kasus korupsi penyelewenangan dana desa. Mulanya, laporan sejumlah LSM tekait adanya dugaan penyimpangan anggaran dalam proyek infrastruktur senilai Rp100 juta yang menggunakan dana desa. Lapora tersebut dilayangkan ke Kejari Pamekasan. Belakangan adanya upaya penghentian kasus melalui Syafii ke pihak Kejari Pamekasan.
Gubernur Bengkulu, Ridwan Mukti KPK menetapkan tersangka Ridwan pada 22 Juli lalu di Gedung KPK. Penetapan tersangka terkait denan OTT yang dilakukan KPK selang sehari sebelum penetapan tersangka atas kasus dugaan suap proyek peningkatan jala TES-Muara Aman serta proyek peningkatan jalan Curug Air Dingin Kabupaten Rejang Lebong. Ridwan ditengarai mendapat commitment fee sebesar Rp4,6 miliar dari proyek tersebut.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo  mengamini kerja KPK  yang membantu dalam mewujudkan pemerintahan daerah yang bersih, agar mempercepat birokrasi pelayanan masyarakat yang cepat dan memperkuat otonomi daerah. Namun aspek negatifnya, janji dan sumpah kepala daerah ketika dilantik diabaikan.

Sejauh ini sudah adanya sistem e-government, e-planning, e-budgeting hingga persoalan perizinan menggunakan e-permit yang sudah berjalan. Faktanya, beberapa kepala daerah yang tertangkap mengabaikan sistem tersebut. Sedari awal, Tjahjo secara pribadi berulang kali mengingatkan internal Kemendagri, dan pemerintah daerah untuk memahami detail area  rawan korupsi. Mulai perencanaan anggaran, dana bansos, retribusi, pajak, belanja barang dan jasa serta jual beli jabatan.

Tak hanya itu, pasca dilantiknya kepala daerah dan pejabat kepala daerah perlu dilakukan pendidikan dan latihan oleh pemerintah pusat. Kendati demikian, Tjahjo tak berpikir bakal mengumpulkan kepala daerah. Pihaknya pun terus mengingatkan para pejabat kepala daerah dengan melayangkan surat perihal persoalan area rawan korupsi. Bahkan surat yang dilayangkan Kemendagri ke masing-masing pejabat kepala daerah hingga mencapai 5 sampai dengan 6 kali surat.

(Baca Juga: APIP Sang Pengawas, Bukan Bagian Mata Rantai Korupsi!)

Yang pasti, kata mantan anggota DPR dari Fraksi PDIP periode 2009-2014 itu, mekanisme penguatan pengawasan internal pemerintah sudah dilakukan pembahasan bersama dengan KPK dan BPKP. Bahkan kepala daerah pun sudah dilakukan penataran oleh BPKP secara bertahap. Sejauh ini, KPK pun fokus di 22 provinsi dan 350 kabupaten kota.

“Jadi untuk fungsi pencegahan, pengawasan melekatnya bersama Irjen Depdagri dan BPKP, di daerah juga penindakan sering,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait