BI Hormati Upaya Uji Materi PBI e-Money
Berita

BI Hormati Upaya Uji Materi PBI e-Money

Ketentuan PBI Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Uang Elektronik dinilai bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Bank Indonesia. Foto: SGP
Bank Indonesia. Foto: SGP
Dua orang warga menggugat Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang uang elektronik (e-Money) ke Mahkamah Agung. Keduanya, Normansyah dan Tubagus Haryo Karbyanto resmi mendaftarkan hak uji materiil tersebut pada Selasa (10/10) siang kemarin. Bank Indonesia (BI) menilai upaya tersebut hal biasa yang perlu dihormati.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Agusman, mengatakan bahwa Bank Indonesia (BI) menghormati setiap proses uji materi atas PBI Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Perubahan Atas PBI Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money).

Di satu sisi, BI sangat menghargai upaya hukum yang diajukan oleh dua orang warga. Namun di sisi lain, BI memastikan bahwa pihaknya selalu menjalankan fungsinya sesuai dengan undang-undang baik sebagai otoritas moneter, sistem pembayaran, dan makroprudensial.

“Ini kan masih berproses. Prinsipnya hukum harus dihormati,” kata Agusman secara singkat kepada hukumonline, Selasa (10/10) malam.

Sekadar informasi, Normansyah dan Tubagus Haryo Karbyanto mengajukan hak uji materiil ke Mahkamah Agung (MA) lantaran aturan tersebut secara tidak langsung melarang warga melakukan bertransaksi secara tunai.

Kuasa hukum pemohon dari Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Azas Tigor Nainggolan menilai PBI Nomor 16/8/PBI/2014 bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang secara tidak langsung diartikan bahwa praktek penggunaan uang elektronik ilegal.

(Baca Juga: Peraturan BI Soal e-Money Digugat ke Mahkamah Agung)

“Pasalnya, semenjak berhembusnya peraturan ini, pelbagai fasilitas publik seperti Layanan Jalan Bebas Hambatan (tol). Layanan Transportasi Bus Transjakarta dan lain sebagainya menolak adanya transaksi pembayaran tunai. Praktik kebijakan ini telah mendiskriminasi warga yang hendak melakukan transaksi pembayaran dengan uang tunai,” kata Azas dalam keterangan tertulisnya, Selasa (10/10).
Pasal 23 ayat (1):
Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiahyang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah.
Pasal 33 ayat (2):
Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya diilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

*UU Nomor 7 Tahun 2011

Menurut Azas, fakta tersebut menimbulkan keresahan dan pertanyaan dalam masyarakat tentang keberadaan UU Mata Uang yang hanya mengatur rupiah dalam bentuk kertas dan logam lantaran masyarakat yang menggunakan rupiah untuk transaksi pembayaran, selain didiskriminasi juga dibuat bingung bahkan dipaksa tidak mengunakan uang rupiah. Padahal, UU Mata Uang jelas mengatur rupiah adalah mata uang resmi Indonesia, bukan uang elektronik.

“Jelas terbukti bahwa PBI Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Perubahan Atas PBI Nomor 11/12/PBI/2009 Tentang Uang Elektronik (Electronic Money) bertentangan dengan Undan-Undang Mata Uang yang belum/tidak mengakomodir adanya mata uang rupiah dalam bentuk rupiah elektronik (electronic money). Maka uang elektronik adalah uang illegal,” kata Azas.

Azas menyebut, penolakan terhadap transaksi tunai adalah sebuah pembangkangan terhadap undang-undang. Untuk itu warga sangat membutuhkan penjelasan agar adanya kepastian hukum terhadap hal–hal tersebut. dan tidak adanya diskriminasi terhadap masyarakat pengguna rupiah kertas maupun logam dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran.

(Baca Juga: David Tobing: Biaya Isi Ulang e-Money Rugikan Konsumen)

“Kami meminta agar Mahkamah Agung untuk menjatuhkan putusan dengan amar sebagai berikut: Pertama, menerima dan mengabulkan permohonan ini secara keseluruhan. Kedua, menyatakan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 Tentang Uang Elektronik (Electronic Money) tidak sah atau tidak berlaku secara umum,” kata Azas.

Sebelumnya, advokat yang peduli masalah-masalah konsumen, David ML mengadu ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) terkait dengan kebijakan e money ini. Menurutnya, aturan tersebut di satu sisi justru mencerminkan keberpihakan kepada pengusaha, dan di sisi lain merupakanpelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan. Aturan itu berpotensi menimbulkan ketidakadlilan dan diskriminasi bagi konsumen.

David menengarai kebijakan BI itu melanggar hak konsumen untuk melakukan pembayaran dengan mata uang rupiah kertas atau logam dan patut diduga sebagai tindak pidana, sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (2), 23 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (2) UU Mata Uang.

Tags:

Berita Terkait