Polemik Memasukkan Pidana Khusus ke dalam Rancangan KUHP
Berita

Polemik Memasukkan Pidana Khusus ke dalam Rancangan KUHP

Bisa menimbulkan ketidakpastian hukum.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Diskusi di KPK mengenai tindak pidana khusus dalam KUHP. Foto: RES
Diskusi di KPK mengenai tindak pidana khusus dalam KUHP. Foto: RES

Pemerintah, DPR dan Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mengadakan pertemuan untuk membahas pasal-pasal polemik dalam Rancangan KUHP. Namun hingga kini belum ada satu suara. KPK tetap menginginkan agar korupsi tidak diatur dalam RUU KUHP karena sudah ada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sifat extra ordinary crime korupsi akan hilang jika dimasukkan ke dalam KUHP (tindak pidana umum).

 

Pemerintah bersikeras bahwa Rancangan KUHP tidak akan melemahkan KPK, tetap mendahulukan UU khusus atau lex specialis. Sebagai buktinya, dalam Rancangan KUHP dicantumkan penegasan. Pasal 729 RUU KUHP menyebutkan “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan bab tentang tindak pidana khusus dalam Undang-Undang masing-masing tetap dilaksanakan berdasarkan kewenangan kelembagaan yang telah diatur dalam Undang-Undang masing-masing”.

 

Ketentuan ini, di satu sisi, dipandang sebagai payung hukum untuk penanganan kasus korupsi sebagai pidana khusus. Namun di sisi lain, KPK mengkhawatirkan pasal ini adalaj jebakan karena masih potensial menimbulkan ketidakpastian hukum. Wakil Ketua KPK,  Laode Muhammad Syarif mengatakan, ketentuan Pasal 729 ini tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya. “Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum,” tegasnya dalam diskusi media, Rabu (06/6), di kantor KPK.

 

Sebaliknya, Pemerintah berjanji tidak akan melemahkan kewenangan KPK. “Tidak ada niat pemerintah untuk melemahkan KPK,’’ tandas Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, seusai memanggil Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dan Panja Rancangan KUHP, Rabu (06/6).

 

(Baca juga: Tim Perumus RKUHP Bantah Lemahkan Kewenangan KPK)

 

Laode meyakini, proses penegakan hukum terhadap sejumlah tindak pidana khusus ke depan akan menemukan tantangan serius. Benar bahwa Pasal 729 Rancangan KUHP memastikan kewenangan lembaga sesuai UU khusus. Ini juga sejalan dengan asas hukum lex specialis derogate legi generalis, hukum yang bersifat mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Tetapi para penasihat hukum terdakwa korupsi bisa mendalilkan asas lain, yakni lex posteriori derogate legi anteriori, hukum yang baru (Rancangan KUHP) bisa mengesampingkan hukum yang lama (UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

 

Dijelaskan Laode, sejak awal pembahasan Rancangan KUHP, KPK telah menyampaikan agar tindak pidana korupsi tidak dimasukkan ke dalam RUU itu. Sebaliknya, Pemerintah dan DPR ngotot memasukkan pasal-pasal tekait tindak pidana korupsi meskipun hanya ketentuan pokok alias core crime. Laode menampik penjelasan Pemerintah. “Menurut kami semua pasal dalam UU Tipikor itu utama. Kami tidak mau masuk karena itu akan menghilangkan kekhususan dari tindak pidana korupsi. Dari dulu hal ini sudah dimasukkan dalam seruis crime,” terang Laode.

 

Laode juga menjelaskan persoalan lain yang akan muncul apabila ketentuan mengenai tindak pidana korupsi masuk dalam Rancangan KUHP. Ia mempertanyakan posisi dan peran lembaga KPK sebagai lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah untuk secara khusus menangani tindak pidana korupsi sebagaimana yang telah diatur dalam UU Tipikor. Menurut Laode, terkait hal ini pihaknya belum memperoleh penjelasan yang utuh dari Tim Perumus Pemerintah. “Dengan dimasukkan akan mempengaruihi pola kerja lembaga yang telah dibentuk Pemerintah. Bagaimana perannya kedepan? Kurang dijelaskan dengan baik.”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait