Aturan Jual Beli Tenaga Listrik Dinilai Lebih Proporsional
Utama

Aturan Jual Beli Tenaga Listrik Dinilai Lebih Proporsional

Hanya saja, Permen ESDM 10/2017, PLN masih dibebaskan dari kewajiban pembayaran yang diperbolehkan tidak mengambil (membeli) tenaga listrik akibat bencana alam yang mengakibatkan kerusakan pada jaringan listrik PLN.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Kasubdit Harga Tenaga Listrik Kementerian ESDM Eri Nurcahyanto saat berbicara dalam diskusi Hukumonline bertema “Membedah Perkembangan Hukum Penerapan Power Purchase Agreement: Peluang Investasi dan Tantangan Hukum yang Perlu Diperhatikan” di Jakarta, Kamis (30/8). Foto: RES
Kasubdit Harga Tenaga Listrik Kementerian ESDM Eri Nurcahyanto saat berbicara dalam diskusi Hukumonline bertema “Membedah Perkembangan Hukum Penerapan Power Purchase Agreement: Peluang Investasi dan Tantangan Hukum yang Perlu Diperhatikan” di Jakarta, Kamis (30/8). Foto: RES

Pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 MW merupakan salah satu program pemerintah hingga 2019 mendatang. Demi menunjang pelaksanaan program tersebut, belum lama ini pemerintah menerbitkan regulasi terkait perjanjian jual beli tenaga listrik atau power purchase agreement (PPA). Aturan tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL).

 

Regulasi PJBTL yang diharapkan ramah investasi bagi independent power producer (IPP) atau perusahaan produsen tenaga listrik ini dalam perjalanannya mengalami sedikit perubahan. Belum lama Permen ESDM 10/2017 terbit, aturan tersebut mengalami perbaikan hingga dua kali melalui Permen ESDM Nomor 49/2017 dan Permen ESDM No. 10 Tahun 2018. Tujuannya agar arus investasi sektor ketenagalistrikan semakin besar masuk ke tanah air. Baca Juga: 3 Permen ESDM Terkait Jual Beli Listrik Terbit, Ini Detailnya

 

Kepala Sub Direktorat Harga Tenaga Listrik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Eri Nurcahyanto menjelaskan dengan penerbitan Permen 10/2017 tersebut menjadikan posisi antara PLN dengan IPP semakin setara (proporsional), khususnya dalam tanggungan risiko jual beli tenaga listrik.

 

“Dalam aturan itu, PLN dan IPP tidak lagi menanggung risiko akibat dari perubahan kebijakan atau regulasi pemerintah (goverment force majeur) yang mempengaruhi bisnis jual beli tenaga listrik,” ujar Eri Nurcahyo dalam diskusi Hukumonline bertajuk “Membedah Perkembangan Hukum Penerapan Power Purchase Agreement: Peluang Investasi dan Tantangan Hukum yang Perlu Diperhatikan” di Hotel Arya Duta Jakarta, Kamis (30/8/2018).    

 

Hanya saja, kata Eri, risiko yang ditanggung masing-masing pihak sebatas tanggung jawabnya dalam kegiatan bisnis jual beli tenaga listrik tersebut. Dalam aturan ini, risiko yang ditanggung PLN, misalnya, meliputi kebutuhan tenaga listrik/beban, kemampuan transmisi yang terbatas dan keadaan force majeur.

 

Sedangkan, risiko yang ditanggung IPP meliputi masalah pembebasan lahan, perizinan termasuk izin lingkungan, ketersediaan bahan bakar, ketepatan jadwal pembangunan, performa pembangkit dan keadaan force majeur.  

 

Dalam keadaan force majeur, misalnya, akibat bencana alam (natural force majeur) yang menyebabkan pembangkit listrik tidak bisa beroperasi, maka para pihak dibebaskan dari hak dan kewajibannya sesuai dengan kontrak antara PLN dengan IPP.   

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait