Kenali Mekanisme Penyelesaian Nonlitigasi Sengketa Norma Perundang-Undangan
Utama

Kenali Mekanisme Penyelesaian Nonlitigasi Sengketa Norma Perundang-Undangan

Menyelesaikan secara non-litigasi, majelis memeriksa norma perundang-undangan yang saling bertentangan.

Oleh:
Fitri N. Heriani
Bacaan 2 Menit
Kenali Mekanisme Penyelesaian Nonlitigasi Sengketa Norma Perundang-Undangan
Hukumonline

Jika menemukan pertentangan antar norma dalam peraturan perundang-undangan, mungkin selama ini Anda membawanya ke Mahkamah Konstitusi jika kesalahan norma itu ada di Undang-Undang, atau ke Mahkamah Agung jika norma dalam peraturan lebih rendah bertentangan dengan Undang-Undang. Lalu, bagaimana kalau pertentangan itu Anda temukan antara dua Peraturan Menteri?

Mekanisme terbilang baru ini layak Anda coba. Menyelesaikan sengketa antar norma di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Mekanismenya sudah diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) No. 32 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Perundang-Undangan Melalui Jalur Nonlitigasi. Ingat, mekanisme ini bersifat non-litigasi. Jadi, beda dengan sifat penyelesaian di Mahkamah Konstitusi atau di Mahkamah Agung.

Pasal 2 Permenkumham menyebutkan: “Peraturan perundang-undangan yang bertentangan baik secara vertikal maupun horizontal yang menyebabkan timbulnya konflik norma hukum, konflik kewenangan antarkementerian/lembaga dan pemerintah daerah, menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat dan pelaku usaha, serta menghambat iklim investasi, usaha, dan kegiatan ekonomi nasional dan daerah dapat diajukan permohonan sengketa melalui jalur nonlitigasi”.

Berdasarkan informasi yang diperoleh Hukumonline, dalam waktu tiga bulan sejak penerimaan perkara dibuka, sudah 25 perkara yang masuk. Sebanyak 6 dari 25 permohonan sudah diperiksa.

(Baca juga: MA Tunda Uji Materi Jika Ada Proses Pengujian Undang-Undang).

Pengajar pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti berpendapat maksud ‘nonlitigasi’ dalam Permenkumham No. 32 Tahun 2017 itu adalah upaya penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan. Sengketa bermakna konflik/pertentangan antar norma hukum, atau konflik kewenangan yang timbul karena berlakunya peraturan perundang-undangan. Bivitri termasuk yang ikut diundang mendiskusikan rancangan Permenkumham itu.

Menurut Bivitri, Permenkumham ini bukan mengenai “sengketa antarpihak”. Istilah ‘sengketa’ digunakan karena penyusun belum menemukan istilah lebih tepat untuk mengartikan conflicting norms. “Conflicting memang sepertinya hanya bisa diterjemahkan sebagai “sengketa” atau ‘konflik’ atau ‘pertentangan’, yang punya konotasi yang sama sebagai berantamnya dua pihak. Padahal tidak ada yang berantam atau berkonflik di sini. Hanya norma-norma hukum yang bertentangan,” kata Bivitri kepada hukumonline, Rabu (10/10).

Bivitri berpendapat penyelesaian sengketa melalui jalur nonlitigasi ini masih berada dalam wilayah kerja Kemenkumham. Namun, karena Kemenkumham tidak berlaku sebagai ‘pengadil’, dalam arti Kemenkumham tidak ‘memutus’, melainkan melakukan mediasi. “Kalau digambarkan, begini: karena ada norma yg bertentangan, Kementerian/Lembaga  terkait diminta duduk bareng, kemudian dimediasi oleh majelis pemeriksa, yang terdiri dari tiga orang pejabat Kemenkumham plus dua akademisi dari luar,” tambahnya.

Tags:

Berita Terkait