Aksi Saling Lapor, Kampanye Substansial Terabaikan
Berita

Aksi Saling Lapor, Kampanye Substansial Terabaikan

Jika janji-janji politik ini di bawah ke ranah pidana, maka proses pemilu kita akan rentan terhadap penegakan hukum.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kampanye. Ilustrator: BAS dkk
Ilustrasi kampanye. Ilustrator: BAS dkk

Dua bulan sudah masa kampanye Pemilu 2019 berjalan. Ruang publik riuh dengan aksi elit politik pendukung kedua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Sejumlah kalangan menilai upaya yang dilakukan oleh elit kedua kubu masih belum serius seperti terkesan dari minimnya upaya kedua pasangan untuk memperkenalkan visi misi dan program kepada masyarakat. Perdebatan yang muncul di ruang publik sebatas saling nyinyir. Lebih jauh, publik dipertontonkan aksi saling lapor dari kedua kubu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

Analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto menyitir gejala yang tengah terjadi dalam masa kampanye pemilu 2019 ini dengan istilah politik olok-olok. Arif mengalamatkan istilah ini kepada langkah elit politk yang lebih sering mengeksploitasi emosi publik lewat pernyataan-pernyataan menohok ketimbang mengeksplorasi keunggulan tawaran program yang mereka bawa lima tahun ke depan. Menurut Arif, gejala yang muncul di masa kampanye ini tidak hanya mengesakan adanya kedangkalan gagasan politik yang dibawa oleh elit, tapi juga cenderung membodohi dan memecah belah.

UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan ‘kampanye Pemilu adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak yang ditunjuk  oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/ataucitra diri Peserta Pemilu’.

Berdasarkan rumusan itu, pasangan calon harus mampu menderivasi program mereka dengan baik. Problem hari ini, kedua pasangan calon beserta elit politik tidak mampu menyampaikan visi misi, program, atau citra diri secara substansial. “Ingat, ada kewajiban elit untuk mencerdaskan pemilih dengan kampanye. Bukan membodohi pemilih dengan asumsi pemilih kita masih irasional. Itu tidak benar,” ujar Arief dalam sebuah diskusi yang  mengangkat tema Kampanye Nyinyir dan Gugat-Menggugat di di Tahun Politik”, Rabu (21/11), di Jakarta.

(Baca juga: Bawaslu: Iklan Jokowi-Ma’ruf di Media Indonesia Kampanye di Luar Jadwal).

Arif menyinggung cara pasangan calon dan elit politik dalam menyampaikan pesan-pesan mereka yang superfisial, tidak substansial, dan mengada-ada. Statemen kedua calon presiden winter is coming dan make Indonesia great again adalah contoh dari pesan yang superfisial, tidak substansial, dan cenderung mengada-ada. Namun inilah yang ditangkap oleh pers dan publik dan menjadi diskusi yang berkepanjangan.

Selain itu, dalam menyampaikan kritik, seringkali berangkat dari data yang tidak akurat dan bertujuan sekedar “memukul” lawan. Dalam menyampaikan pesan, elit politik bahkan pasangan calon masih mengedepankan diksi yang menunjukkan kegeraman bahkan mengarah kepada agitasi. Seperti yang dilakukan oleh calon wakil presiden pasangan nomor urut 01 yang mengidentifikasi lawannya dengan diksi kelompok difabel tertentu.

Hal lain yang bisa dilihat sebagi politik olek-olok yang dilakukan pasangan calon dan elit politik adalh seperti seloroh tentang sontoloyo dan genderuwo. Hal ini termasuk dalam tindakan insinuasi yang menyinggung lewat pesan-pesan yang sumir dan multitafsir. Hal-hal seperti ini menurut Arif sebagai dampak dari ketidak mampuan dalam menangkap persoalan dan jawaban dari masalah sebenarnya, minim terobosan bagi kampanye cerdas dan kreatif serta masih maraknya persoalan SARA menjebak politik nasional. Khusus terkait politik SARA, Arif menilai hal ini sebagai dampak intrumentalisasi hukum untuk perebutan kekuasaan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait