Lima Fokus Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Berita

Lima Fokus Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Mulai bentuk kekerasan seksual, sistem pembuktian yang memperhatikan korban, pelayanan terpadu dan terintegrasi, pengakuan dan jaminan hak korban, hingga perubahan kultur masyarakat memandang kekerasan seksual.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Andi Komara, Ratna Batara Munti dan Riska Carolina (tengah) dan Inayah Wahid saat konperensi pers 'Melawan Hoax RUU Penghapusan Kekerasan Seksual' di Kantor LBH Jakarta, Rabu (6/2). Foto: RES
Andi Komara, Ratna Batara Munti dan Riska Carolina (tengah) dan Inayah Wahid saat konperensi pers 'Melawan Hoax RUU Penghapusan Kekerasan Seksual' di Kantor LBH Jakarta, Rabu (6/2). Foto: RES

Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) masih terus bergulir di DPR. RUU inisiatif DPR ini mendapat beragam tanggapan masyarakat, ada yang pro dan kontra terutama setelah munculnya isu menyebarnya petisi online penolakan RUU PKS ini lantaran memuat klausul seolah membuka peluang seks bebas; pengakuan lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT), dan dibolehkannya perilaku aborsi di kalangan remaja. Namun, belakangan isu ini dianggap hoaks alias berita bohong. 

 

Untuk itu, sejumlah organisasi masyarakat sipil meminta agar pembahasan RUU PKS dilanjutkan seraya  mendesak pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU ini demi melindungi kaum perempuan dan anak-anak yang selama ini kerap menjadi korban kekerasan seksual.   

 

Koordinator Jaringan kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3), Ratna Batara Munti, mengatakan RUU ini lahir dari pengalaman korban yang mengalami penderitaan berkepanjangan tanpa mendapat keadilan dan pemulihan karena selama ini belum ada payung hukum yang memadai. Ratna mencatat sedikitnya ada 5 poin penting yang perlu menjadi fokus perhatian pemerintah dan DPR dalam membahas RUU ini.

 

Pertama, bermacam bentuk kekerasan seksual yang selama ini tidak diakui oleh hukum. Ratna mengatakan dalam draft yang dibahas di DPR ada 9 bentuk kekerasan seksual yaitu pelecehan seksual; eksploitasi seksual; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan aborsi; perkosaan. Kemudian pemaksaan perkawinan; pemaksaan pelacuran; perbudakan seksual; dan penyiksaan seksual.

 

Kedua, memuat prosedur hukum termasuk sistem pembuktian yang sensitif dan memperhitungkan pengalaman korban. Ratna menjelaskan selama ini hak-hak perempuan korban kekerasan seksual sering diabaikan. Laporan korban sering tidak dipercaya dan aparat menuntut saksi di luar korban yang mengetahui atau menyaksikan kekerasan seksual. Kesaksian korban tidak dijadikan sebagai alat bukti utama. Peran jaksa juga tidak maksimal dalam penuntutan dan absen ganti kerugian serta kompensasi dari negara.

 

Menurut Ratna, selama ini aparat tidak maksimal menggali situasi dan kondisi korban. Tidak mempertimbangkan dampak psikis dalam setiap kasus kekerasan fisik dan tidak melibatkan pendamping, psikolog, atau konselor. Begitu pula dengan keterangan psikolog dan tidak ada keterangan ahli dalam persidangan.

 

Akibatnya, korban cenderung mengalami kriminalisasi, seperti kasus WA di Jambi yang dikriminalkan karena melakukan aborsi. Hal serupa dialami BN di NTB, korban pelecehan oleh atasannya, tapi divonis bersalah karena dituduh menyebarkan bukti pelecehan seksual tersebut.

Tags:

Berita Terkait