Mengawal Sengketa Pemilu 2019 yang Berintegritas
Sengketa Pemilu 2019:

Mengawal Sengketa Pemilu 2019 yang Berintegritas

Sebagai lembaga peradilan, MK juga memiliki peran sentral menjaga iklim demokrasi di Indonesia melalui putusan sengketa pileg ataupun pilpres yang adil dan berkualitas.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Dalam beberapa bulan ke depan, bakal menjadi momen pertama bagi Mahkamah Konstitusi (MK) menangani perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) 2019 baik legislatif (pileg) ataupun presiden serta wakil presiden (pilpres) yang digelar serentak. Sebab, pelaksanaan Pemilu 2019 disebut-sebut sebagai pemilu paling rumit dan kompleks sekaligus eksperimental lantaran pelaksanaan pileg dan pilpres dilaksanakan secara bersamaan.

 

Nantinya, dalam penyelenggaraan Pemilu 2019 ini, para pemilih memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden; calon anggota DPR; calon anggota DPD; calon anggota DPRD provinsi; dan calon anggota DPRD kabupaten/kota secara bersamaan yang diikuti 16 partai politik (parpol) nasional dan beberapa parpol lokal di Aceh. Atau lazim disebut pemilu lima kotak (lima surat suara), kecuali pelaksanaan pemilu di DKI Jakarta dengan empat kotak/empat surat suara karena DKI Jakarta hanya ada DPRD provinsi.  

 

Momen ini menjadi tantangan bagi MK sebagai benteng terakhir mencari keadilan bagi para calon wakil rakyat dan pemimpin negara dalam lima tahun ke depan. Meski berpengalaman mengadili dan memutus perkara sengketa pemilu dalam tiga kali musim pemilu yakni sengketa hasil Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014. Namun, MK mesti lebih siap dan cermat mengidentifikasi beragam modus kecurangan pemilu yang muncul saat mengadili perkara sengketa Pemilu 2019 ini.

 

Dalam Raker MK bertajuk “Dukungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK dalam Mewujudkan Keadilan Pemilu Serentak Tahun 2019” pada Kamis (21/2), Ketua MK Anwar Usman mengungkapkan beberapa antisipasi menghadapi Pemilu Serentak Tahun 2019, dapat dimulai menginventarisasi potensi bentuk-bentuk kecurangan yang terjadi agar dapat memutus sengketa pemilu dengan tepat.  

 

Anwar mengurai beberapa potensi bentuk kecurangan tersebut. Pertama, pembagian sisa surat undangan untuk memilih yang dibagikan kepada mereka yang tidak berhak. Kedua, memindahkan suara calon legislator yang satu kepada calon legislator lain dalam satu partai atau memasukkan suara partai ke calon legislator tertentu. Ketiga, jual beli rekapitulasi suara (politik uang), terutama bagi partai yang tidak lolos parliamentary threshold. Baca Juga: Gelar Raker, MK Identifikasi Modus Kecurangan Sengketa Pemilu

 

Dari sisi regulasi, aturan main penyelenggaraan Pemilu 2019 termasuk sengketa pilpres hanya diatur UU No. 7 Tahun 2017 (kodifikasi) dan beberapa Peraturan MK Tahun 2018. Sementara, penyelesaian sengketa pemilu sebelumnya diatur di berbagai undang-undang (UU). Seperti, UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu; UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD (Pileg); UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres, dan beberapa Peraturan MK Tahun 2014.

 

Sejumlah aturan itu, diantaranya mengatur jangka waktu pengajuan permohonan sengketa pileg dan pilpres sejak penetapan caleg/DPD dan paslon presiden dan wakil presiden terpilih oleh KPU; syarat batas selisih suara mengajukan permohonan sengketa pileg dan pilpres; jangka waktu penanganan sidang perkara sengketa pileg dan pilpres; dan lain-lain.

Tags:

Berita Terkait