Sengketa Pemilu Dulu dan Sekarang
Sengketa Pemilu 2019:

Sengketa Pemilu Dulu dan Sekarang

MK sebagai garda terdepan penjaga keadilan pemilu dengan pengalamannya harus transparan, akuntabel, dan mempu menjadi penetralisir ketegangan, pertanyaan yang tidak bersayap, dan ketokan palunya dapat mengendalikan dan meredakan segala ketegangan.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2019 memilih calon anggota legislatif dan presiden-wakil presiden menandai sejarah demokrasi elektoral di Indonesia. Pelaksanaan Pemilu yang dijadwalkan pada 17 April 2019 ini menggabungkan pelaksanaan pemilihan calon anggota legislatif (pileg): calon anggota DPR, calon anggota DPD, calon anggota DPRD provinsi; dan calon anggota DPRD kabupaten/kota, dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (pilpres) secara serentak di seluruh Indonesia.

 

Pemilu model seperti ini lazim disebut dengan pemilu lima kotak (lima surat suara) sesuai UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, kecuali pelaksanaan pemilu di DKI Jakarta dengan empat kotak/empat surat suara karena DKI Jakarta hanya ada DPRD provinsi. Pemilu legislatif ini diikuti 16 partai politik (parpol) nasional dan beberapa parpol lokal di Aceh dengan ribuan caleg DPR/DPRD dan DPD. Misalnya, caleg untuk pemilu DPR tercatat sekitar 7.968 orang dan caleg DPD sebanyak 807 orang. Jumlah ini belum termasuk caleg DPRD provinsi, kabupaten/kota yang diperkirakan mencapai ratusan ribu caleg.  

 

Tak heran, Pemilu Serentak 2019 ini disebut-sebut sebagai pemilu eksperimental, paling kompleks, rumit dan kompetitif. Pemilu kali ini agak berbeda dengan sistem penyelenggaraan Pemilu 2014. Misalnya, pelaksanaan pileg dan pilpres dilaksanakan secara bersamaan; ambang batas lebih ketat baik ambang batas pencalonan anggota legislatif maupun pencalonan presiden; dan partai politik peserta pemilu lebih banyak.

 

Kerumitan dan kompleksitas ini pun berimbas pada cara penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) baik pemilu legislatif maupun pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelumnya, pada sengketa Pemilu 2014, terdapat 903 perkara PHPU yang diajukan oleh 14 parpol dan partai lokal, 34 perkara PHPU yang diajukan perseorangan calon anggota DPD, dan 1 perkara PHPU pilpres yang diajukan pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

 

Juru Bicara MK, Fajar Laksono Suroso mengatakan prosedur penanganan penyelesaian PHPU 2019 tidak jauh berbeda dengan PHPU 2014. “Proses penyelesaian sengketa Pemilu 2014 dengan Pemilu 2019 sama saja, tidak banyak berubah. Hanya bedanya saat ini ‘Pemilu Serentak’. Imbasnya mana yang akan diselesaikan lebih dahulu, (sengketa) pileg atau pilpres dulu,” ujar Fajar kepada Hukumonline di Gedung MK, belum lama ini. Baca Juga: Taktik ‘Terhormat’ Menangkan Sengketa Pemilu

 

Dia menerangkan secara umum prosedur/proses penanganan penyelesaian sengketa Pileg 2014 dan Pileg 2019 tidak banyak perbedaan. Hanya regulasinya saja yang berbeda. Misalnya, pada sengketa Pileg 2014 diatur UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD; UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu; Peraturan MK (PMK) No. 1 Tahun 2014 jo PMK No. 3 Tahun 2014 tentang Pedoman Beracara dalam PHPU Anggota DPR, DPD dan DPRD.

 

Sementara sengketa Pileg 2019 diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017;  PMK No. 2 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam PHPU Anggota DPR dan DPRD; PMK No. 3 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam PHPU Anggota DPD. Dan, PMK No. 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Permohonan Pemohon, Jawaban Termohon, Keterangan Pihak Terkait dan Keterangan Bawaslu dalam Perkara PHPU Anggota DPD, DPD, dan DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden.

Tags:

Berita Terkait