Ragam Persoalan dalam Sengketa Pemilu
Sengketa Pemilu 2019:

Ragam Persoalan dalam Sengketa Pemilu

MK akan berupaya mengantisipasi segala masalah dalam pelaksanaan PHPU 2019. Mulai mengidentifikasi modus pelanggaran pemilu, keamanan, menjaga integritas, standar pemeriksaan bukti yang memiliki nilai pembuktian dalam sidang sengketa Pemilu 2019.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Untuk memenangkan kontestasi, peserta pemilu biasanya mencurahkan energinya untuk berkampanye guna meraih suara rakyat. Padahal, untuk memenangkan pemilu tak cukup hanya berkampanye, butuh upaya lebih guna mendulang perolehan suara. Salah satunya, mencegah terjadinya pelanggaran dan kecurangan bersifat terstruktur, sistematis, masif dalam setiap tahapan pemilu baik pemilu legislatif (pileg) maupun pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres).

 

Misalnya, dalam proses rekapitulasi penghitungan suara yang dilakukan secara bertahap dari tingkat TPS, PPS, PPK, hingga tingkat nasional (KPU). Pelanggaran pemilu yang tidak diselesaikan dengan baik dapat berujung sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK)

 

Ketua KoDe Inisiatif, Veri Junaidi menyebut ada 2 lembaga yang bertugas menangani sengketa pemilu yakni Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan MK. Bawaslu berwenang menyelesaikan sengketa yang sifatnya administratif dan prosedural.

 

Secara normatif, UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur putusan Bawaslu bersifat final dan mengikat, kecuali untuk sengketa yang berkaitan dengan 3 hal. Pertama, verifikasi partai politik peserta pemilu.Kedua, penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ketiga, penetapan pasangan calon. Jika dalam penyelesaian sengketa terkait 3 hal tersebut tidak diterima para pihak, maka para pihak dapat mengajukan upaya hukum ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).

 

Sedangkan, MK menangani sengketa hasil pemilu yang sudah ditetapkan secara nasional. Dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan sengketa proses pemilu meliputi sengketa yang terjadi antar peserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Permohonan penyelesaian sengketa pemilu itu disampaikan paling lama 3 hari kerja sejak tanggal penetapan keputusan KPU yang menjadi objek sengketa.

 

Veri melihat biasanya jenis sengketa berupa sengketa antar calon legislatif (caleg) di internal partai politik. Sengketa ini biasanya dipicu oleh masalah rekapitulasi suara berjenjang di setiap tahapan, sehingga terjadi jual beli suara. Misalnya, dalam satu partai politik ada caleg yang mendapat suara sedikit, kemudian suaranya itu dialihkan ke caleg lain yang perolehan suaranya lebih besar. Praktik jual beli suara ini bisa juga terjadi dalam persaingan antar partai politik. Modus kecurangan ini biasanya melibatkan penyelenggara pemilu.

 

“Potensi manipulasi suara dan jual beli suara akan terjadi. Misalnya partai politik yang jauh dari ambang batas, ada potensi transaksi politik disitu. Atau kandidat caleg yang mendapat suara sedikit, maka suaranya itu akan di lego,” kata Veri kepada Hukumonline di Jakarta, Selasa (12/2/2019). Baca Juga: Mengawal Sengketa Pemilu 2019 yang Berintegritas

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait