Konstruksi Pidana untuk Menjerat Tindakan Delegitimasi Pemilu
Berita

Konstruksi Pidana untuk Menjerat Tindakan Delegitimasi Pemilu

Ada 2.218 temuan dugaan pelanggaran pemilu; dan sebanyak 531 berasal dari laporan masyarakat.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Diskusi tentang ancaman delegitimasi pemilu di Jakarta. Foto: DAN
Diskusi tentang ancaman delegitimasi pemilu di Jakarta. Foto: DAN

Semua pihak memiliki kepentingan yang sama untuk terselenggaranya Pemilihan Umum yang demokratis, jujur dan adil pada 17 April mendatang. Melalui penyelenggaraan Pemilu yang demokratis, jujur, dan adil, suara pemilih pada hari pemungutan berlangsung bisa disalurkan dengan cara yang benar kepada calon yang dipilih berdasarkan keputusan dan informasi yang benar dan akurat.

Lazim terjadi penyelenggaraan Pemilu penuh tantangan. Selalu ada persoalan yang muncul menyangkut pemilu. Di Indonesia, persoalan hukum sudah banyak terjadi sebagaimana terlihat dari laporan yang masuk ke badan pengawas pemilihan. Ancaman paling menakutkan adalah mereka yang berusaha agar proses dan hasil Pemilu menjadi terdelegitimasi. Ini tantangan serius bagi semua pemangku kepentingan penyelenggaraan Pemilu, terutama pihak penyelenggara. Ada beberapa indikasi yang menunjukkan upaya menggerus kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan Pemilu.

Penyebaran berita tidak benar (hoaks) terkait penyelenggara seperti kotak suara yang terbuat dari kardus, surat suara sebanyak tujuh kontainer yang telah lebih dulu dicoblos, tercecernya KPT elektronik di sejumlah daerah, video penyelenggara di salah satu daerah yang mencoblos surat suara, hanya sebagian contoh. Hoaks semacam itu tidak hanya meresahkan masyarakat tapi juga berdampak terhadap berkurangnya kepercayaan publik terhadap penyelenggara.

Upaya mendelegitimasi Pemilu dengan cara menggerus kepercayaan publik terhadap penyelenggara sehingga pada tahap berikutnya dapat pula mengurangi kepercayaan pubik terhadap hasil Pemilu dirasa perlu dicarikan jalan keluar. Salah satunya menggunakan pendekatan penegakan hukum pidana.

(Baca juga: Perhatikan Lima Produk Hukum Mahkamah Agung Ini Jelang Pemilu).

Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember Bayu Dwi Anggono membagi upaya delegitimasi Pemilu ke dalam dua hal berbeda. Pertama, upaya mendelegitimasi pemilu yang tidak bisa dikenakan sanksi pidana; dan kedua upaya delegitimasi pemilu yang bisa dikenakan sanksi pidana.

Untuk yang pertama, Bayu mencontohkan tindakan-tindakan sebagian kalangan yang menuduh terjadinya kecurangan tahapan atau hasil Pemilu. Ada pula tindakan menuduh penyelenggara yang tidak netral. Ini adalah contoh tindakan delegitimasi Pemilu yang tidak bisa dikenakan hukuman pidana. “Itu masih dianggap (tidak melanggar) batas toleransi,” ujar Bayu dalam sebuah diskusi mengenai delegitimasi pemilu dan masa depan demokrasi Indonesia, Rabu (6/3) di Jakarta.

Tidak ada satu pasal pun dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang secara tegas mengatur ancaman pidana bagi tindakan delegitimasi pemilu. Konstruksi pidana dalam UU Pemilu hanya mengatur sampai tindakan penetapan hasil seperti penetapan pemilih, verifikasi partai politik, kampanye, pemungutan suara, dan penetapan hasil pemilu. “Di situ tidak bicara soal pidana kalau ada siapapun itu yang coba mendeligitimasi pemilu dengan mengatakan pemilu itu curang,” terang Bayu.

Tags:

Berita Terkait